Mohon tunggu...
Muhammad NoerRidwan
Muhammad NoerRidwan Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar SMAN 28

SMAN 28 kelas XI MIPA 2

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Koin Emas Sang Pangeran

29 November 2020   17:43 Diperbarui: 29 November 2020   17:50 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Revan! Bersihkan kamarmu!" Mamaku berteriak dari dapur. Aku yang tadi sedang asyik-asyik bermain Mobile Legends langsung berhenti. "Huh, padahal sedikit lagi bisa menang." Ketusku di dalam hati. Terpaksa, aku pun mematikan HPku, dan dengan berat menyeret kakiku ke tumpukan sampah  berserakan yang paling dekat.

Perkenalkan, namaku Revan. Tahun ini aku baru masuk kelas 5 SD. Karena tahun ini adaa pandemi, aku dan teman-temanku harus belajar dari rumah. Karena ini juga, keluargaku jadi jarang keluar dari rumah. Oh, kecuali ayahku. Ayahku tetap harus kerja meski sedang lockdown. Jadi setiap hari hanya mama dan aku saja di rumah.

Setelah membuang semua sampah di tempat, Aku kembali bergeletaak di kasur, ingin lanjut main game yang tadi terganggu. Baru saja aku memegang HP, terdengar lagi suara dari dapur. "Revan! Tolong pergi ke warung dong, beli garam! Sudah mau habis, nih!". Aku menghela napas kencang-kencang, sengaja agar Mama bisa dengar, "Ah, tapi Aku malas, Ma!" Belum sampai sedetik sudah ada balasan, "Jangan malas-malasan! Kamu tidak mau makan, Revan? Mama taruh uangnya di meja makan!". "Ah! Mama yang malas!" Balasku dengan ketus sambil mengambil jaket.

Dengan buru-buru aku mengambil uang di meja makan dan lari ke pintu. "Hati-hati ya! Jangan lupa masker!". "Iya, iya! Mama bawel!" Teriakku sambil membanting pintunya tutup. "Brak!" Suaranya sangat kencang, hampir mengagetkan diriku sendiri. Tapi aku tidak peduli. 'Biarin biar Mama tahu perasaanku' pikirku.

Aku pun mulai berjalan ke warung. Warung itu tidak jauh, hanya perlu beberapa menit untuk sampai.

Di tengah jalan, aku melihat sesuatu emas berkelap-kelip. 'Wah, apa itu?' Penasaran, aku mendekatinya. Saat lebih dekat, ternyata benda itu sebuah koin emas. Tapi, aku menyadari sesuatu aneh. Koin ini tidak punya cetakan atau jumlah uang di kedua sisinya. Benar-benar hanya emas datar yang mirip koin.

Aku celingak-celinguk di sekitarku. Tidak ada orang. Koin ini punya siapa? Apakah ada yang punya? Namun sesaat, suatu pikiran muncul di kepalaku. Mungkin koin ini bisa dijual? Kalau koin ini benar-benar emas, aku bisa mendapat uang! Dan uang itu bisa aku pakai untuk beli Skin Mobile Legends!

Dengan pikiran yang menggiurkan, aku mengulurkan tangan untuk mengambil koin itu.

Namun, saat aku baru menyentuh permukaan koin itu, kepalaku terasa pusing, dan mataku seolah langsung menutup dengan sendirinya. Detik-detik sebelum aku pingsan, aku merasakan tubuhku membentur aspal jalan yang keras.

Aku tidak tahu berapa lama aku pingsan. Saat aku membuka mata, aku menyadari aku tidak di tengah jalan, namun di sebuah tempat yang gelap dan tidak ada ujung-ujungnya. Dimanapun aku melihat hanya hitam yang tidak berhenti.

Aku mulai merasa takut. Baru saja aku mau teriak tolong, "Bum!" Tiba-tiba asap muncul di depanku. Sambil terbatuk-batuk aku mengibaskan tangan untuk menghilangkan asap itu.

Ternyata di balik asap itu, muncul koin emas di tengah jalan tadi! Namun sekarang koin itu jauh lebih besar, bahkan lebih besar dari diriku sendiri. Dan di sisi koin itu ada gambar seorang laki-laki seumuran denganku memakai baju yang sangat mewah. Di kepalanya ada sebuah mahkota. Laki itu sedang membungkuk dan matanya tertutup. Sepertinya ini gambar seorang pangeran.

"Tapi, kenapa ada gambar pangeran di koin itu sekarang?" Gumamku. Namun tiba-tiba, pangeran di koin itu mengangkat kepalanya dan menatapku dengan mata bercahaya. "Ah!" Teriakku kaget sambil mundur beberapa langkah.

"Hei, jangan takut! Aku tidak akan menyakitimu!" Pangeran itu bahkan bisa berbicara! "Siapa kamu?" Tanyaku. Pangeran itu tersenyum, dan ia menjelaskan, "Rakyatku memanggilku Yang Terhormat Pangeran Revan. Namun, karena kamu temanku, kamu bisa memanggilku Pangeran Revan. Namamu sama sepertiku, kan? Aku punya tawaran untukmu."

Tawaran apa yang bisa ditawarkan sebuah gambar pangeran dalam koin raksasa? Tapi, karena aku penasaran, aku tanyakan hal itu kepadanya. Pangeran Revan tertawa, ia pun menjawab, "Ayo kita bertukar tempat! Tidakkah kamu lelah disuruh-suruh oleh ibumu? Bosankah kamu tinggal di rumah saja dan tidak bisa kemana-mana? Jika kamu datang ke duniaku, kau bisa mendapatkan apapun yang kamu mau!" Aku melihatnya dengan mata terkagum-kagum, "Apapun?".

"Ya, apapun yang kau mau! Keluargaku bukan keluarga yang miskin. Baik harta atau barang apapun yang kau mau bisa kau peroleh disana!" Sebuah koin tiba-tiba muncul di hadapanku. Koin itu jauh lebih kecil dari koin Pangeran Revan, seukuran koin biasa, dan warnanya silver.

Sambil menunjuk ke koin silver itu, Pangeran Revan berkata, "Aku tidak berbohong! Jika kau masih ragu, aku bisa membuktikannya padamu. Cukup sentuh koin itu, dan kau akan merasakan bagaimana rasanya jadi diriku untuk sehari!"

Aku melihat koin silver itu. Menjadi pangeran, bagaimana kira-kira rasanya? Tentu saja aku penasaran, tapi aku masih ragu. "Apakah aku bisa kembali jika aku ke duniamu?" Tanyaku pada Pangeran Revan.

Sepintas, aku kira aku melihat Pangeran Revan cemberut. Namun senyum lebarnya itu segera kembali. "Jika kau tidak puas - suatu hal yang aku yakin kamu tidak mungkin rasakan - kau cukup menyentuh koin itu sambil memikirkan tentang duniamu sendiri, dan kau akan kembali ke rumahmu. Tapi, aku rasa kau tidak perlu melakukan itu," jelas Pangeran Revan.

Aku mengangguk kepala dan kembali mengamati koin silver itu. Untuk dimanjakan dan hidup seperti pangeran? Siapa yang tidak mau?

Dengan tekad yang bulat, aku mengulurkan tangan untuk menyentuh koin silver itu.

Lagi-lagi, kepalaku kembali pusing dan badanku tidak bisa menahan bebanku saat aku jatuh. Namun, sebelum aku menatap mata, aku kira aku melihat Pangeran Revan menyeringai dengan... licik.

Namun, aku tidak sempat memikirkan hal itu, karena begitu aku membuka mata, aku hampir dibutakan dengan cahaya yang terang.

"Pangeran Revan! Pangeran Revan!" Sambil mengedipkan mata, aku menoleh ke suara yang memanggilku. Suara itu berasal dari seorang wanita berpakaian seperti pembantu, yang sedang berdiri di samping kananku.

"Pangeran! Apakah kau tidak apa-apa?" Aku melihat sekitarku. Aku sedang duduk di sebuah tahta dalam ruangan yang luas dan mewah. Seluruh inci ruangan ini berwarna emas, dihiasi dengan lilin-lilin api dan lampu gantung yang indah. Bajuku jiga berubah, mirip seperti pakaian yang dipakai Pangeran Revan dalam koin emas itu, bahkan mahkotanha juga ada.

Namun, aku tidak lama melamun, karena pembantu itu masih menunggu jawabanku. "Iya, aku tidak apa-apa," kataku kepada pembantu itu.

"Oh, baguslah! Aku khawatir Pangeran Revan sakit," katanya sambil menghela napas. Aku mengamati pembantu itu. Bajunya berwarna hitam dan putih, dan desain pakaiannya terlihat sangat rapi. Dia terlihat seperti pembantu kerajaan asli.

'Jadi ini bukan mimpi?' pikirku dalam hati. Untuk mengetes kebenaran hal itu, aku bertanya pada pembantu itu, "Apakah aku bisa meminta apapun yang aku mau disini?".

Pembantu itu menoleh kepadaku kebingunan. "Oh? Tentu saja! Semua keinginan Pangeran akan dikabulkan sesuai perintah Raja! Apa yang Pangeran Revan inginkan?" Aku berpikir sesaat. Tentunya aku tidak bisa meminta hal yang modern, karena keliatannya dunia ini masih di abad pertengahan. Tapi, sebuah kerajaan pasti punya harta, kan?

"Boleh aku melihat harta kita?" Pembantu itu mengangguk dengan semangat. "Tentu! Tolong ikut aku, Pangeran!".

Aku pun mengikuti pembantu itu melewati sejumlah koridor dan pintu. Sambil berjalan, aku mulai menyadari bahwa kastil ini sangat luas. Sudah tidak terhitung berapa lekukan dan jalan yang kita lewati, dan hampir semua koridor ini identik.

Setelah cukup lama berjalan, kita sampai di depan sebuah pintu besi yang dijaga dua ksatria berzirah baja. "Di belakang ini adalah ruang harta. Atas permohonan Pangeran Revan, Ksatria terhormat, tolong bukakan pintunya!" Kedua ksatria itu tidak menjawab, namun dengan sigap mereka membuka pintu besi tersebut.

Saat aku dan pembantu itu masuk ke dalam pintu itu, aku sangat kaget. Ruangan ini jauh lebih luas dari ruangan tahta sebelumnya - sepertinya seluas lapangan basket, atau mungkin lebih - dan ruangan ini penuh dengan tumpukan koin-koin emas diselilingi harta karun yang tidak kalah mengagumkan.

'Andaikan Mama menyuruhku membersihkan tumpukan emas ini,' kataku dalam hati. Sejauh yang mataku dapat lihat, semua benda di ruangan ini seolah-olah dapat mengeluarkan cahaya sendiri.

"Bagaimana mungkin kita punya harta sebanyak ini?" gumamku dengan suara kecil. Namun, aku tidak menduga pembantu itu mendengarnya. Dengan senang hati ia menjelaskan, "Tentu saja mungkin! Semua harta di ruangan ini adalah semua harta yang telah dikumpulkan dari generasi ke generasi oleh keluarga Pangeran sebelumnya! Itulah kehebatan keluarga Pangeran!" Pembantu itu terlihat sangat bangga saat menjelaskan, entah kenapa aku jadi tersipu malu.

Pantas, dengan harta sebanyak ini, kastil ini terlihat sangat mewah. Seperti tidak ada habisnya.

Namun tiba-tiba, perutku mengeluarkan suara yang lantang. Aku memegang perutku. Benar, daritadi aku belum makan.

Tentu saja pembantu itu juga mendengarnya. "Oh, apakah Pangeran belum makan? Itu tidak baik! Ayo, ikut aku!" Kata pembantu itu dengan tegas.

Setelah melewati koridor-koridor identik yang tidak ada hentinya, kita pun sampai di depan sebuah ruangan luas. Penampilannya mirip sepwrti ruang tahta, namun bedanya ditengah-tengah ruangan ada sebuah meja yang sangat panjang. Di ujung meja ada sebuah kursi kayu yang terlihat lebih mewah dari kursi lainnya di meja itu.

Pembantu itu menuntunku duduk di kursi kayu yang mewah. "Tolong Pangeran tunggu disini. Saya akan menyuruh koki-koki kerajaan untuk membuat makanan," katanya dengan cepat, lalu menghilang dibalik sebuah pintu.

Pembantu itu tidak hilang dengan lama, karena tidak lama kemudian, muncullah pembantu itu bersama puluhan pembantu wanita di belakangnya, masing-masing membawa piring berisi makanan yang terlihat unik dan berbeda satu sama lain.

Sesaat kemudian, meja makan yang besar itu penuh dengan bermacam-macam makanan, dari daging hingga sayuran dan buah-buahan, aku lihat hampir semua jenis makanan yang aku tahu ada disitu.

Aku kembali tercengang, "Ini banyak sekali. Aku tidak mungkin menghabiskan ini semua!" Protesku pada sang pembantu. Namun pembantu itu menjawab, "Tidak perlu khawatirkan itu. Pangeran hanya perlu makan apa yang Pangeran sukai!".

Aku mencoba membujuk pembantu itu untuk mengembalikan piring-piring makanan tersebut, namun pembantu itu menolak dengan keras, dan memintaku untuk segera makan.

Pembantu itu sangat keras kepala. Aku pun hanya bisa menyerah dan perlahan mulai makan.

Meskipun banyak macam makanan warna-warni di depanku, anehnya aku tidak merasa senang melihatnya. Seolah-olah seperti aku sedang melupakan, mengabaikan sesuatu. Apa itu? Apa yang aku lupakan?

Aku hampir tersedak saat jawabannya muncul di pikiranku! Mama!

Tadi Mama menyuruhku untuk beli garam di warung, dan sekarang aku sedang dimanjakan di sebuah kerajaan yang bahkan aku sendiri tidak tahu.

Ratusan pikiran mulai muncul di kepalaku. Apakah Mama menyadari aku hilang? Apakah Mama akan panik? Ya, tentu saja! Mama pasti khawatir.

Jika aku tinggal disini, bagaimana dengan teman-temanku? Sekolahku? Keluargaku? Bagaimana dengan Mama? Bagaimana dengan Ayah? Apa yang mereka akan rasakan jika tahu anaknya menghilang begitu saja? Menghilang dari dunia?

Kalau aku benar-benar tinggal disini, mungkin aku tidak bisa kembali.

Seketika, aku sadar aku tidak ingin tinggal disini lagi. Aku harus kembali.

Tapi, saat itu baru saja aku sadar sesuatu. Koin silver itu dimana? Dengan panik aku mulai merogoh saku-saku pakaianku. Tidak ada apapun.

Sepertinya pembantu itu mulai menyadari kepanikanku. "Ada apa, Pangeran? Apakah ada yang Pangeran tidak sukai?" Aku menoleh padanya. Mungkin ia tahu? "Apakah kau pernah melihat koin silver disini?".

Pembantu itu terlihat kebingungan. Setelah beberapa saat berpikir, ia menggeleng kepalanya. "Tidak ada, Pangeran. Aku tidak mengingat pernah melihat sebuah koin silver." Rasa cemas ku pun makin bertambah. "Kalau begitu, tolong tanyakan pembantu lainnya! Tolong carikan aku koin silver itu!"

Pembantu itu menggeleng kepalanya kembali, "Tapi, Pangeran, kastil ini sangat luas! Bagaimana mungkin kita dapat mencari sebuah koin kecil-".

"Ada masalah apa ini?" Sebuah suara baru yang tegas menggema di dalam ruangan. Aku menoleh ke belakang, dan melihat sesosok pria tua dengan pakaian yang mirip denganku, namun lebih mewah.

Seketika, pembantu di sampingku berlutut. "Yang Mulia Baginda Raja! Mohon maafkan Hambamu ini!" Katanya dengan suara gemetar. Sang Raja mengabaikannya, dan malah melihat ke diriku.

"Kau bilang... kau mencari koin silver?" Tatapan Sang Raja sangat tajam membuatku sedikit menggigil. Saking takutnya, aku hanya bisa mengangguk pelan.

Raja itu tidak melepaskan tatapannya. Lalu ia ucapkan perintah, "Pergi." Aku tidak mengerti maksudnya, namun tiba-tiba pembantu itu berdiri tegak. "Siap, Yang Mulia!" Katanya sambil berbalik badan dan setengah lari keluar ruangan.

Dengan pembantu itu hilang, hanya ada Sang Raja dan aku disini. Dengan agak takut aku kembali melihat ke Sang Raja.

Tiba-tiba, Sang Raja menghela napas. "Kau bukan anakku. Apakah itu benar?" Aku menelan ludah. "Bukan..." kataku dengan lirih. Sang Raja mengangguk, dan mengambil sesuatu dari kantung di pakaiannya. "Aku tidak tahu kenapa, Revan tidak pernah suka dengan warna selain warna emas. Tetapi, aku tidak menduga bahwa suatu saat emas itulah yang membawa petaka baginya," jelasnya sambil mengulurkan tangannya kepadaku.

Ia membuka genggamannya, dan di tengahnya adalah... koin silver! "Ambillah, dan kembalilah ke duniamu. Akan kupastikan bahwa Revan tidak akan pernah menganggumu atau duniamu lagi." Aku menatap Sang Raja, lalu mengangguk.

Sebelum menyentuh koin silver itu, aku berpikir tentang duniaku, rumahku, teman dan keluargaku dengan keras-keras. "Aku ingin kembali!"

Benar saja, saat menyentuh koin itu, rasa pusing yang familiar itu kembali. Sebelum menutup mata, aku terakhir melihat senyum lega Sang Raja.

"Cih... Baru kali ini aku gagal."

Saat aku membuka mataku, lingkunganku terlihat normal. Aku sedang tergeletak di sisi jalan. Aku segera berdiri dan membersihkan diriku dari debu dan tanah. Bajuku telah kembali normal. Untung saja tidak ada orang.

Dengan buru-buru aku berlari ke warung. Aku tidak tahu berapa lama waktu yang sudah lewat. Aku tidak ingin membuat Mama khawatir.

Sebelum meninggalkan jalan, aku melihat ke belakang. Koin emas itu sudah hilang. Aku menghela napas.

Sekarang aku sadar bahwa sebagus apapun ilusi dunia yang bisa memberikanku apapun yang aku mau, aku lebih memilih realita kehidupan sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun