Mohon tunggu...
Nurul Hasanah
Nurul Hasanah Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis dengan latar belakang pelukis

peneliti

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sajak dari Kampung

2 Februari 2016   11:54 Diperbarui: 2 Februari 2016   12:26 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sajak Permulaan Melawan Takut !

aku disini saja

menulis kata-kata yang tak sempat ditulis wartawan

aku disini saja

berbicara tanpa suara

karena kepala ini penuh batu-batu

karena darah tak bisa mengalir

karena air mata sudah kering

karena jalan tak dilewati !

karena perut lapar !

karena menjadi sampah !

menjadi dusta di antara kita !

kita menjadi takut !

pada statistik kemiskinan   

menyalahkan siapa

atau jadi kambing hitam

slogan-slogan politik

tak bisa lagi !

tak bisa bicara !

dan penjaga ruang itu

menjadi musuh siang-malam

aku jadi pemberontak pikiran kotor penguasa

garis terputus di ujung pena

di atas kertas rencana-rencana usang

yang dibeli tak pantas

atas nama derita rakyat

tetapi rakyat dan bangsa mana lagi !

ini sajak prematur dari ruang sunyi  

 

Watuliandu, masih pagi 23/01/2015

 

 Sajak Permulaan Minum Kata-Kata

satu dua kata menjadi tamu di pagi ini
satu dua kalimat panjang harus minum kopi pahit
satu dua hentakan telunjuk pada tuts keyboard laptop
meleleh dibakar api dalam jiwa itu
perlahan terasa rasa lapar itu
dan menjadi badai puting beliung mengoyak rumah kayu
inilah dingin beku
masuklah dengan tenang di jiwa ini
masuklah di jendela pikiran ini
duduklah sejenak sebelum kita nikmati segelas racun
aku pilih dirimu menjadi buku yang tak sempat lagi dibaca
disini !
biarkan aku bersetebuh dengan tanah
biarkan aku menjadi liar
disini !
aku jadi tiang gantung
dan satu dua kalimat ditikam
satu dua kata memberontak
lalu diam !
lalu pergi !

 

Watuliandu, 23/01/2015

 

 

 

Sajak Permulaan Dari Watuliandu

matahari sudah tenggelam
matahari sudah tak lagi bisa bicara
matahari sudah terlelap pada gelap malam
disini saja aku menikam sunyi
disini saja aku berlari pada batas bukit kebun cengkeh
disini saja aku mengukir seribu nama kawan dan lawan
lihatlah namamu pada kontak blackberry
juga update statusmu setiap hari
lihatlah foto narsisme yang kau pajang
dari sini aku menyendiri menikmati gelisah 
cerita makin panjang
dari tutup tahun dan buka tahun 365 hari
kini kau telah menjadi tulisan dan judul besar koran pagi di kota ini
dirimu telah pergi dibatas kota itu
dirimu bertukar peran pengganti jadi peran utama
di sinetron persahabatan bukan tukang bubur naik haji
yang jadi candu ibu-ibu yang kehilangan prabot rumah tangganya
yang tak mampu memiliki seperangkat kosmetik mahal
dan para suami yang tak pernah bermimpi mandi susu pakai kucing
disini aku ingin menulis sajak permulaan
tentang perjalanan yang tak pernah dimengerti
berselubung kabut pagi di kaki bukit watuliandu
kita pernah bersetubuh darah dan air mata
kita pernah bersulam keperihan di Kota Jakarta. 
kita pernah berbagi air mata duka
dan waktu kini telah berjarak 100 kilometer dalam hati
disini di ruang sunyi
aku menyelipkan harapan padamu 
dan kamu seperti batu yang tak lagi bisa berkilau
semua harus kuhapus pada catatan perjalanan
semua harus kulepaskan menjadi angin
menjadi hujan
menjadi puisi yang tak kau mengerti
bahwa kita pernah disini menyulam derita
membaca peta kehidupan sendiri
dan malam ini aku percaya dirimu terlelap
dengan mimpi yang kau beli tadi siang
dan lupa membalas bbmku.
dan menutup pintu untuk pengemis
juga seorang anak kecil yang menangis
karena kedua orang tuanya tak bisa lagi membeli seliter beras
disini aku lihat dirimu menjadi etalase kemewahan
disini aku lihat dirimu penuh angkuh atas nama tuhanmu
disini aku menjadi saksi
pada sinar matahari yang melupakan bumi ini.

Watuliandu, 22/01/2015

Sajak Permulaan di Pantai Mandra

 

aku baru belajar menulis kata-kata yang kau sebut itu puisi
di tengah kegelisahan yang tak berujung
seperti garis Pantai Mandra yang setiap sore jadi ruang pamer
seperti Pulau Lemo yang sudah tergadai untuk birahi
juga Pomalaa yang tak lagi jadi tanah kelahiranmu
juga Tamborasi yang tak lagi tersenyum 
di pertemuan pusar laut dan tebing batu kapur
tak ada lagi kapal-kapal berlabuh membawa tanah merah
tak ada lagi lalu-lalang dum truk roda sepuluh di atas bukit itu
di sajak permulaan ini aku tulis saja sajak ini
pada kebun-kebun sawit di ujung tanah yang sejengkal dari langit
menjadi petaka kemanusiaan
bertukar peradaban yang luhur jadi hedonisme
bertukar sampah indomie instan
bertukar mimpi buruk para petani yang miskin
bertukar nyawa dengan segelas red wine di ujung kampung eropa
disini kita melarat atas nama ekonomi kerakyatan
disini kita terjajah di negeri gemah ripah lo jinawi
aku melihat antrian panjang di jalan
disaat harga menjulang
disaat harga terjun bebas
semrawut bicara para wakil rakyat
tak jelas berjuang untuk siapa
karena suara rakyat bertukar barang usang 
terjual bebas atas nama demokrasi dan pasar
kita kehilangan suara hati

disini saja aku ingin menulis sajak yang bukan puisi biasa.

Watuliandu 22/01/2015

 

 

Sajak Permulaan di Kota Kolaka 
kepada teman diskusi Almisbach Ramly

 

kutulis ini karena kegelisihan menjadi kuburan 
aku menulis ini setelah 
berjalan dari titik menjadi garis kematian
di sudut kota ini 
di garis pantai kota ini
membuka bongkahan kemiskinan
menjadi belati yang akan menikam dirimu sendiri 
kau sebut dirimu dalam cerita sejarah kota ini
tapi kamu dan tetangga mati terlantar di laut
mati terlantar di rumah sakit yang hanya melayani orang kaya
di ujung jalan kota kecil ini kulihat orang-orang laut makin terasing
tanpa pendidikan dibiarkan jadi mega proyek juga megakorupsi
kutulis sajak ini lantaran matahari tak lagi terbit di timur
kini matahari telah digadaikan dengan birahi 
kita serakah makan bangkai berdarah
aku tulis ini karena kita binatang 
kita berubah setelah orgasme di lipatan uang
kita bertukar menjadi pelacur 
kita tak kehabisan air mata
disini kamu menjual harga diri
disini kamu kehabisan kata-kata
dan kegelisahan yang tak terbayar
dengan kelaparan
dengan topeng pembangunan
muka penuh dusta
dengan apa aku harus melawan
kata-kata yang basi
dengan kalimat yang tak punya makna
di ujung senja di kota ini
aku kehilangan seribu batu permata
dan kita serasa tak berdaya 
membuka pintu dan jendela
dan melihat dirimu di ruang dan waktu
juga melihatmu masih berdiri 1000 tahun
di kolaka yang jadi kota mati.

 

dari jalan sunu, Kolaka 22/01/2015

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun