Â
Watuliandu, 23/01/2015
Â
Â
Â
Sajak Permulaan Dari Watuliandu
matahari sudah tenggelam
matahari sudah tak lagi bisa bicara
matahari sudah terlelap pada gelap malam
disini saja aku menikam sunyi
disini saja aku berlari pada batas bukit kebun cengkeh
disini saja aku mengukir seribu nama kawan dan lawan
lihatlah namamu pada kontak blackberry
juga update statusmu setiap hari
lihatlah foto narsisme yang kau pajang
dari sini aku menyendiri menikmati gelisahÂ
cerita makin panjang
dari tutup tahun dan buka tahun 365 hari
kini kau telah menjadi tulisan dan judul besar koran pagi di kota ini
dirimu telah pergi dibatas kota itu
dirimu bertukar peran pengganti jadi peran utama
di sinetron persahabatan bukan tukang bubur naik haji
yang jadi candu ibu-ibu yang kehilangan prabot rumah tangganya
yang tak mampu memiliki seperangkat kosmetik mahal
dan para suami yang tak pernah bermimpi mandi susu pakai kucing
disini aku ingin menulis sajak permulaan
tentang perjalanan yang tak pernah dimengerti
berselubung kabut pagi di kaki bukit watuliandu
kita pernah bersetubuh darah dan air mata
kita pernah bersulam keperihan di Kota Jakarta.Â
kita pernah berbagi air mata duka
dan waktu kini telah berjarak 100 kilometer dalam hati
disini di ruang sunyi
aku menyelipkan harapan padamuÂ
dan kamu seperti batu yang tak lagi bisa berkilau
semua harus kuhapus pada catatan perjalanan
semua harus kulepaskan menjadi angin
menjadi hujan
menjadi puisi yang tak kau mengerti
bahwa kita pernah disini menyulam derita
membaca peta kehidupan sendiri
dan malam ini aku percaya dirimu terlelap
dengan mimpi yang kau beli tadi siang
dan lupa membalas bbmku.
dan menutup pintu untuk pengemis
juga seorang anak kecil yang menangis
karena kedua orang tuanya tak bisa lagi membeli seliter beras
disini aku lihat dirimu menjadi etalase kemewahan
disini aku lihat dirimu penuh angkuh atas nama tuhanmu
disini aku menjadi saksi
pada sinar matahari yang melupakan bumi ini.
Watuliandu, 22/01/2015
Sajak Permulaan di Pantai Mandra
Â
aku baru belajar menulis kata-kata yang kau sebut itu puisi
di tengah kegelisahan yang tak berujung
seperti garis Pantai Mandra yang setiap sore jadi ruang pamer
seperti Pulau Lemo yang sudah tergadai untuk birahi
juga Pomalaa yang tak lagi jadi tanah kelahiranmu
juga Tamborasi yang tak lagi tersenyumÂ
di pertemuan pusar laut dan tebing batu kapur
tak ada lagi kapal-kapal berlabuh membawa tanah merah
tak ada lagi lalu-lalang dum truk roda sepuluh di atas bukit itu
di sajak permulaan ini aku tulis saja sajak ini
pada kebun-kebun sawit di ujung tanah yang sejengkal dari langit
menjadi petaka kemanusiaan
bertukar peradaban yang luhur jadi hedonisme
bertukar sampah indomie instan
bertukar mimpi buruk para petani yang miskin
bertukar nyawa dengan segelas red wine di ujung kampung eropa
disini kita melarat atas nama ekonomi kerakyatan
disini kita terjajah di negeri gemah ripah lo jinawi
aku melihat antrian panjang di jalan
disaat harga menjulang
disaat harga terjun bebas
semrawut bicara para wakil rakyat
tak jelas berjuang untuk siapa
karena suara rakyat bertukar barang usangÂ
terjual bebas atas nama demokrasi dan pasar
kita kehilangan suara hati