Sajak Permulaan Melawan Takut !
aku disini saja
menulis kata-kata yang tak sempat ditulis wartawan
aku disini saja
berbicara tanpa suara
karena kepala ini penuh batu-batu
karena darah tak bisa mengalir
karena air mata sudah kering
karena jalan tak dilewati !
karena perut lapar !
karena menjadi sampah !
menjadi dusta di antara kita !
kita menjadi takut !
pada statistik kemiskinan  Â
menyalahkan siapa
atau jadi kambing hitam
slogan-slogan politik
tak bisa lagi !
tak bisa bicara !
dan penjaga ruang itu
menjadi musuh siang-malam
aku jadi pemberontak pikiran kotor penguasa
garis terputus di ujung pena
di atas kertas rencana-rencana usang
yang dibeli tak pantas
atas nama derita rakyat
tetapi rakyat dan bangsa mana lagi !
ini sajak prematur dari ruang sunyi Â
Â
Watuliandu, masih pagi 23/01/2015
Â
 Sajak Permulaan Minum Kata-Kata
satu dua kata menjadi tamu di pagi ini
satu dua kalimat panjang harus minum kopi pahit
satu dua hentakan telunjuk pada tuts keyboard laptop
meleleh dibakar api dalam jiwa itu
perlahan terasa rasa lapar itu
dan menjadi badai puting beliung mengoyak rumah kayu
inilah dingin beku
masuklah dengan tenang di jiwa ini
masuklah di jendela pikiran ini
duduklah sejenak sebelum kita nikmati segelas racun
aku pilih dirimu menjadi buku yang tak sempat lagi dibaca
disini !
biarkan aku bersetebuh dengan tanah
biarkan aku menjadi liar
disini !
aku jadi tiang gantung
dan satu dua kalimat ditikam
satu dua kata memberontak
lalu diam !
lalu pergi !
Â
Watuliandu, 23/01/2015
Â
Â
Â
Sajak Permulaan Dari Watuliandu
matahari sudah tenggelam
matahari sudah tak lagi bisa bicara
matahari sudah terlelap pada gelap malam
disini saja aku menikam sunyi
disini saja aku berlari pada batas bukit kebun cengkeh
disini saja aku mengukir seribu nama kawan dan lawan
lihatlah namamu pada kontak blackberry
juga update statusmu setiap hari
lihatlah foto narsisme yang kau pajang
dari sini aku menyendiri menikmati gelisahÂ
cerita makin panjang
dari tutup tahun dan buka tahun 365 hari
kini kau telah menjadi tulisan dan judul besar koran pagi di kota ini
dirimu telah pergi dibatas kota itu
dirimu bertukar peran pengganti jadi peran utama
di sinetron persahabatan bukan tukang bubur naik haji
yang jadi candu ibu-ibu yang kehilangan prabot rumah tangganya
yang tak mampu memiliki seperangkat kosmetik mahal
dan para suami yang tak pernah bermimpi mandi susu pakai kucing
disini aku ingin menulis sajak permulaan
tentang perjalanan yang tak pernah dimengerti
berselubung kabut pagi di kaki bukit watuliandu
kita pernah bersetubuh darah dan air mata
kita pernah bersulam keperihan di Kota Jakarta.Â
kita pernah berbagi air mata duka
dan waktu kini telah berjarak 100 kilometer dalam hati
disini di ruang sunyi
aku menyelipkan harapan padamuÂ
dan kamu seperti batu yang tak lagi bisa berkilau
semua harus kuhapus pada catatan perjalanan
semua harus kulepaskan menjadi angin
menjadi hujan
menjadi puisi yang tak kau mengerti
bahwa kita pernah disini menyulam derita
membaca peta kehidupan sendiri
dan malam ini aku percaya dirimu terlelap
dengan mimpi yang kau beli tadi siang
dan lupa membalas bbmku.
dan menutup pintu untuk pengemis
juga seorang anak kecil yang menangis
karena kedua orang tuanya tak bisa lagi membeli seliter beras
disini aku lihat dirimu menjadi etalase kemewahan
disini aku lihat dirimu penuh angkuh atas nama tuhanmu
disini aku menjadi saksi
pada sinar matahari yang melupakan bumi ini.
Watuliandu, 22/01/2015
Sajak Permulaan di Pantai Mandra
Â
aku baru belajar menulis kata-kata yang kau sebut itu puisi
di tengah kegelisahan yang tak berujung
seperti garis Pantai Mandra yang setiap sore jadi ruang pamer
seperti Pulau Lemo yang sudah tergadai untuk birahi
juga Pomalaa yang tak lagi jadi tanah kelahiranmu
juga Tamborasi yang tak lagi tersenyumÂ
di pertemuan pusar laut dan tebing batu kapur
tak ada lagi kapal-kapal berlabuh membawa tanah merah
tak ada lagi lalu-lalang dum truk roda sepuluh di atas bukit itu
di sajak permulaan ini aku tulis saja sajak ini
pada kebun-kebun sawit di ujung tanah yang sejengkal dari langit
menjadi petaka kemanusiaan
bertukar peradaban yang luhur jadi hedonisme
bertukar sampah indomie instan
bertukar mimpi buruk para petani yang miskin
bertukar nyawa dengan segelas red wine di ujung kampung eropa
disini kita melarat atas nama ekonomi kerakyatan
disini kita terjajah di negeri gemah ripah lo jinawi
aku melihat antrian panjang di jalan
disaat harga menjulang
disaat harga terjun bebas
semrawut bicara para wakil rakyat
tak jelas berjuang untuk siapa
karena suara rakyat bertukar barang usangÂ
terjual bebas atas nama demokrasi dan pasar
kita kehilangan suara hati
disini saja aku ingin menulis sajak yang bukan puisi biasa.
Watuliandu 22/01/2015
Â
Â
Sajak Permulaan di Kota KolakaÂ
kepada teman diskusi Almisbach Ramly
Â
kutulis ini karena kegelisihan menjadi kuburanÂ
aku menulis ini setelahÂ
berjalan dari titik menjadi garis kematian
di sudut kota iniÂ
di garis pantai kota ini
membuka bongkahan kemiskinan
menjadi belati yang akan menikam dirimu sendiriÂ
kau sebut dirimu dalam cerita sejarah kota ini
tapi kamu dan tetangga mati terlantar di laut
mati terlantar di rumah sakit yang hanya melayani orang kaya
di ujung jalan kota kecil ini kulihat orang-orang laut makin terasing
tanpa pendidikan dibiarkan jadi mega proyek juga megakorupsi
kutulis sajak ini lantaran matahari tak lagi terbit di timur
kini matahari telah digadaikan dengan birahiÂ
kita serakah makan bangkai berdarah
aku tulis ini karena kita binatangÂ
kita berubah setelah orgasme di lipatan uang
kita bertukar menjadi pelacurÂ
kita tak kehabisan air mata
disini kamu menjual harga diri
disini kamu kehabisan kata-kata
dan kegelisahan yang tak terbayar
dengan kelaparan
dengan topeng pembangunan
muka penuh dusta
dengan apa aku harus melawan
kata-kata yang basi
dengan kalimat yang tak punya makna
di ujung senja di kota ini
aku kehilangan seribu batu permata
dan kita serasa tak berdayaÂ
membuka pintu dan jendela
dan melihat dirimu di ruang dan waktu
juga melihatmu masih berdiri 1000 tahun
di kolaka yang jadi kota mati.
Â
dari jalan sunu, Kolaka 22/01/2015
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H