Saat aku berada di pemakaman Kirana, air mataku tidak henti mengalir. Aku merasa sesak dan penuh penyesalan. Kenapa aku tidak mengungkapkan perasaanku padanya sebelumnya? Kenapa aku terlalu takut untuk mengambil risiko? Sekarang, sudah terlambat. Aku harus hidup dengan penyesalan ini untuk selamanya.
Dalam doa terakhirku untuk Kirana, aku berjanji akan selalu mengingat dan mencintainya. Meskipun aku tidak bisa mengatakannya padanya saat dia masih ada di sini, namun aku berharap dia tahu bahwa aku selalu memiliki perasaan khusus padanya. Dan dari situlah, aku belajar bahwa hidup terlalu singkat untuk menyimpan perasaan dalam hati.
***
Hari-hari setelah kepergian Kirana terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Aku masih merasa terdampar dalam reruntuhan perasaan, terperangkap dalam labirin kesedihan yang tak berujung.
Kembali ke sekolah setelah pemakaman Kirana adalah pengalaman yang menyakitkan. Setiap sudut koridor, setiap kursi di kelas, semuanya mengingatkanku padanya. Namun, lebih dari itu, ada perasaan bersalah yang menghantui pikiranku.
Kenapa aku tidak mengatakan padanya sebelumnya? Kenapa aku terlalu takut untuk mengambil langkah? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui diriku setiap saat. Aku tahu bahwa tak ada yang bisa kuhadapi sekarang kecuali rasa sesal yang terlalu terlambat.
Di perpustakaan, tempat di mana kami sering berbagi cerita dan tertawa, aku duduk sendiri. Buku-buku di depanku tak berarti apa-apa, karena pikiranku melayang ke masa lalu yang penuh dengan kenangan tentang Kirana. Kini, itu semua hanya tinggal kenangan.
Tiba-tiba, seseorang duduk di sebelahku. Aku mendongak dan kaget melihatnya. Itu Kirana. Atau setidaknya, itu yang kukira Kirana. Aku mengusap mataku, mencoba memastikan bahwa aku tidak sedang berhalusinasi.
"Tidak, ini bukan khayalanmu," katanya dengan senyum lembut.
Aku terdiam. Apakah ini mungkin? Apakah Kirana kembali dari kematian?
"Tidak, aku bukan Kirana," lanjutnya, seolah membaca pikiranku. "Aku adik perempuannya, Lena."