Mohon tunggu...
Ridhosiahaan
Ridhosiahaan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Maritim Raja Ali Haju

Mahasiswa hukum Universitas Maritim Raja Ali Haji

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pengungsi Rohingya, dalam konteks tanggung jawab global dan peran hukum Internasional

16 Desember 2024   03:15 Diperbarui: 16 Desember 2024   02:47 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendahuluan

Isu kemanusiaan Rohingya merupakan salah satu tragedi kemanusiaan paling kompleks dan mendalam di era modern. Rohingya, sebuah kelompok etnis Muslim minoritas yang secara historis mendiami wilayah Rakhine di Myanmar Barat, telah mengalami serangkaian diskriminasi sistematis yang memakan korban nyawa dan martabat kemanusiaan selama beberapa dekade terakhir, yang memuat kompleksitas mendalam terkait konflik etnis, pelanggaran hak asasi manusia, dan kegagalan masyarakat internasional dalam melindungi kelompok minoritas yang rentan dalam suatu negara. 

Komunitas Rohing di Myanmar menghadapi konflik yang mengancam hak mereka. Sejak tahun 1982, pemerintah Myanmar secara resmi menghilangkan status kewarganegaraan Rohingya, menganggap mereka sebagai pendatang ilegal dari Bangladesh, meskipun mereka telah tinggal di sana selama berabad-abad. Pembatasan gerak, diskriminasi sosial, dan kekerasan struktural adalah beberapa jenis penganiayaan yang muncul sebagai akibat dari tindakan ini. Militer Myanmar telah melakukan diskriminasi terhadap orang Rohingya sejak tahun 1970, dan krisis terburuk terjadi pada tahun 2017, ketika orang Rohingya diusir dari tanah leluhur mereka. Rezim militer Myanmar melakukan pembunuhan massal, pemerkosaan, pembakaran pemukiman, dan pengusiran paksa secara sistematis, menyebabkan salah satu krisis pengungsi terburuk pada abad ke-21.

Pelanggaran HAM yang dialami oleh etnis Rohingnya membuat mereka melakukan perjalanan jauh, meninggalkan negara Myanmar dan menuju negara tetangga seperti, Malaysia, Bangladesh, dan Indonesia; dalam hal ini, penegakan hukum ICC hingga saat ini masih belum mengadili pihak yang bersalah terhadap Genosida pada 740,000 orang etnis rohingnya, belum lagi kepastian hukum pada etnis rohingnya Yang memasuki negara-negara tanpa izin yang membuat kepastian akan hidup mereka semakin sempit. 

Krisis ini tidak hanya sekadar persoalan nasional Myanmar, melainkan tantangan global yang memerlukan respons komprehensif dari masyarakat internasional. Pengungsian massal Rohingya menghadirkan pertanyaan mendasar tentang tanggung jawab etis, hukum internasional, dan komitmen kemanusiaan dunia dalam melindungi kelompok yang mengalami diskriminasi, penganiayaan, dan pembersihan etnis.

Peran organisasi Internasional 

Peran organisasi internasional dalam kasus Rohingya sangat beragam dan mencakup bantuan kemanusiaan, advokasi hak asasi manusia, tekanan diplomatik, serta upaya untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran internasional.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

Melalui berbagai badan dan agen, memainkan peran penting dalam menangani krisis Rohingya. Peran utama PBB dalam kasus ini meliputi:

Bantuan Kemanusiaan:

UNHCR (Badan PBB untuk Pengungsi) memberikan perlindungan dan bantuan kepada pengungsi Rohingya yang melarikan diri ke negara tetangga, seperti Bangladesh. UNHCR menyediakan tempat tinggal, makanan, perawatan medis, dan dukungan psikososial untuk pengungsi.

WFP (World Food Programme) mendistribusikan makanan dan bahan pokok lainnya untuk pengungsi Rohingya yang berada di kamp-kamp pengungsi.

UNICEF juga memberikan dukungan khusus kepada anak-anak Rohingya, termasuk pendidikan, air bersih, dan fasilitas sanitasi.

Dukungan Politik dan Diplomatik:

PBB, melalui Dewan Keamanan PBB, menyuarakan keprihatinan tentang pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan terhadap Rohingya dan menyerukan penghentian kekerasan. Meskipun tidak ada tindakan yang sangat konkret dari Dewan Keamanan karena veto dari beberapa anggota tetap (terutama China dan Rusia), PBB terus mendesak pemerintah Myanmar untuk menghormati hak-hak Rohingya.

2. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)

WHO juga memainkan peran penting dalam memberikan bantuan kesehatan di kamp-kamp pengungsi. Mereka membantu menangani wabah penyakit, menyediakan fasilitas medis, serta mendukung pengungsi dalam mengakses layanan kesehatan yang memadai.

3. Komunitas Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN)

Bantuan Kemanusiaan: Negara-negara ASEAN, terutama Malaysia, Thailand, dan Indonesia, telah memberikan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi Rohingya yang masuk ke negara mereka.

Diplomasi dan Tekanan: Beberapa negara ASEAN seperti Indonesia telah berusaha mendiplomasikan Myanmar untuk menghentikan kekerasan dan mencari solusi damai. Namun, dalam konteks ASEAN, penyelesaian masalah ini sering kali terhambat oleh prinsip non-intervensi dalam urusan domestik negara anggota.

Komunitas internasional dihadapkan pada ujian moral yang signifikan, mereka telah menjalankan tanggung jawab global dengan berupaya mengambil langkah konkret untuk menghentikan penderitaan dan memberikan perlindungan substantif bagi mereka yang kehilangan identitas, rumah, dan masa depan

Upaya Hukum Internasional

Upaya hukum internasional untuk menangani krisis Rohingya dimulai dengan serangkaian tindakan hukum yang kompleks dan berkelanjutan. Pada 11 November 2019, Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) menerima gugatan resmi dari Republik Gambia atas tuduhan genosida yang dilakukan Myanmar terhadap etnis Rohingya. Gugatan ini didasarkan pada Konvensi Pencegahan dan Penindakan Kejahatan Genosida tahun 1948;

Berdasarkan Pasal 41 Statuta Mahkamah Internasional, pada 23 Januari 2020, ICJ mengeluarkan putusan sementara yang memerintahkan Myanmar untuk mengambil semua tindakan yang mungkin untuk mencegah terjadinya tindakan genosida. Putusan ini mencakup larangan keras terhadap pembunuhan, perusakan fisik dan mental, serta pembatasan kondisi hidup yang bertujuan menghancurkan kelompok etnis Rohingya secara keseluruhan atau sebagian.

Meskipun berbagai upaya hukum internasional telah dilakukan untuk mengatasi krisis Rohingya, kenyataannya masih terlihat lemahnya implementasi dan penegakan hukum terhadap pelanggaran berat yang terjadi. Meskipun ada mekanisme seperti Pengadilan Internasional (ICJ) dan laporan-laporan dari Komisi Hak Asasi Manusia PBB, hambatan politik dan diplomatik seringkali menghalangi proses keadilan yang efektif. Ketidakmampuan komunitas internasional untuk mengambil tindakan tegas dan konsisten menunjukkan keterbatasan dalam upaya hukum internasional untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia yang bersifat sistematis dan meluas.

Sampai saat ini, hasil akhir dari upaya hukum ini belum mencapai penyelesaian yang lengkap. Sangat sedikit ruang untuk pelaksanaan putusan ICJ yang meminta Myanmar untuk menghentikan genosida. Pemerintah Myanmar secara resmi menolak tuduhan dan tidak melakukan investigasi internal atau memberikan pertanggungjawaban hukum. 

Opini Penulis

Pendapat yang dikemukakan oleh filsuf hukum Inggris, John Austin, memberikan perspektif yang relevan dalam memahami kelemahan hukum internasional ini. Austin berpendapat bahwa hukum internasional bukanlah hukum yang sesungguhnya karena tidak ada otoritas yang berdaulat yang memiliki kekuatan untuk memaksa kepatuhan negara-negara. Menurut Austin, hukum yang sah hanya dapat diterapkan oleh otoritas yang memiliki kekuasaan untuk memberikan perintah dan sanksi, seperti dalam hukum domestik. Dengan demikian, dalam konteks krisis Rohingya, peran hukum internasional sering kali terhalang oleh keterbatasan wewenang yang ada, sehingga tidak dapat menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapi oleh kelompok-kelompok yang terpinggirkan, seperti Rohingya.

Melalui Kasus ini kita melihat bahwa, hukum internasional tidak dapat menyelesaikan persoalan hukum yang meskipun telah diatur dalam perjanjian internasional, seperti Konvensi Genosida dan pengadilan internasional seperti ICJ. Faktor politik, kekuatan negara besar, dan ketidak mampuan untuk membuat keputusan yang memaksa sering menghalangi proses tersebut. Ini menunjukkan bahwa, meskipun ada dasar yang kuat, hukum internasional seringkali tidak dijalankan dengan benar.

Hukum internasional menunjukkan kelemahan yang signifikan dalam memberikan solusi yang efektif terhadap krisis global, hukum internasional tidak dapat memberikan keputusan yang bersifat mengikat dan memaksa. Tanpa adanya otoritas yang memiliki kekuasaan untuk menegakkan keputusan secara tegas, negara-negara sering kali dapat mengabaikan atau menghindari kewajiban internasional mereka. Hal ini menggarisbawahi betapa lemahnya hukum internasional dalam menangani persoalan-persoalan besar yang membutuhkan tindakan yang cepat dan efektif untuk melindungi hak asasi manusia.

Simpulan

Kesimpulannya, meskipun tanggung jawab global telah dilakukan untuk mengatasi krisis Rohingya, seperti bantuan kemanusiaan dan proses hukum internasional, hasil yang dicapai tidak memberikan titik terang. Karena hukum internasional tidak dapat memberikan kepastian hukum pada persoalan ini. Yang dengan tegas memberikan sanksi yang mengikat dan memaksa, pada para pihak yang terbukti melanggar perjanjian Internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun