Hal ini tak lepas dari konstruk pendidikan dewasa ini yang terlalu berorientasi pragmatis yang hanya terpaku pada menjawab kebutuhan pasar ketimbang pembentukan kepribadian manusia secara holistik. Model pendidikan seperti ini mengabaikan esensi utama dari pendidikan itu sendiri yakni bagaimana pendidikan dapat menjadi wahana dalam mengaktualisasikan potensi dirinya agar mampu menjadi individu yang dapat memberikan perubahan bagi lingkungan sekitar.
Selain itu, praktik kapitalisasi pendidikan hanya akan melahirkan kesenjangan antar kelas di tengah masyarakat. Ini dibuktikan dengan lembaga pendidikan swasta yang biasanya mematok tarif lebih tinggi cenderung mendapatkan kualitas pendidikan yang lebih baik daripada lembaga pendidikan negeri atau yang disubsidi oleh pemerintah.
Hal ini, membuat ketimpangan antara masyarakat dengan kelas ekonomi diatas rata-rata yang biasanya diwakili oleh kaum menengah keatas dengan masyarakat dengan kelas ekonominya standar atau bahkan menengah kebawah dalam memperoleh layanan pendidikan yang layak.
Praktik yang membuat pendidikan seperti jasa yang diperjualbelikan ini sebenarnya tak lepas dari peran institusi negara selaku pemangku kebijakan lewat kementerian terkait. Salah satunya ialah kebijakan Perguruan Tinggi Nasional-Badan Hukum (PTN-BH) yang membuat banyak pro dan kontra dibalik kebijakan tersebut.
Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) merupakan perguruan tinggi yang memiliki otonomi penuh baik akademik dan non akademik untuk mengelola perguruan tinggi sendiri. Istilah PTN BH awal pertama muncul tertuang di UU No. 12 Tahun 2012 pasal 65 ayat 1 menyatakan bahwa penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan Pendidikan yang bermutu (Khanan, 2023).
Kebijakan PTN-BH ini sering disalahgunakan untuk menaikkan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) kepada para mahasiswa secara sewenang-wenang yang berdampak cukup memberatkan kepada kalangan mahasiswa yang notabene berasal dari kelas ekonomi menengah kebawah. Kebijakan yang penuh kontroversial ini di beberapa kampus, tetap dipertahankan dengan dalih biaya pembangunan dan lain sebagainya. Namun sebenarnya, kebijakan yang tetap dipertahankan ini hanya akan melahirkan ketimpangan bagi para mahasiswa dalam mendapatkan akses pendidikan tinggi yang berkualitas.
Masalah terkait biaya pendidikan yang semakin mahal bukan hanya dirasakan pada sektor pendidikan tinggi saja karena pada sektor pendidikan dasar dan menengah pun juga ikut merasakan dampak dari kebijakan kapitalisasi pendidikan ini. Ini menunjukkan, bahwa pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan masih belum serius dalam menjalankan salah satu amanat konstitusi yakni mewujudkan pendidikan inklusif yang terbuka bagi semua orang (education for all). Padahal, jika kita lihat lagi, pendidikan adalah salah satu hak manusia yang harus dipenuhi dalam rangka meningkatkan kualitas diri.
Oleh sebabnya, pendidikan harus bersifat inklusif, artinya pendidikan harus bisa didapatkan oleh setiap manusia tanpa terkecuali. Setiap individu terlepas dari latar belakang identitas yang berbeda baik itu suku, agama, ras, gender, kelas sosial dan kondisi tertentu, semuanya harus mendapatkan kualitas pendidikan yang berkeadilan.
Selain faktor biaya pendidikan yang semakin meningkat, ada faktor lain yang membuat pendidikan inklusif agaknya cukup sulit untuk digapai yakni pemerataan akses fasilitas pendidikan yang persebarannya belum merata. Fasilitas pendidikan adalah hal yang cukup urgen dalam rangka sebagai penunjang bagi peserta didik mendapatkan pendidikan.
Data menyebutkan di tahun ajaran (TA) 2023-2024, terdapat 121.011 ruang kelas SD yang rusak berat, 27.121 ruang kelas SMP yang rusak berat, 10.692 ruang kelas SMA dan 5.690 ruang kelas SMK yang rusak berat (Kemendikbud). Data ini mengungkapkan terkait dengan fasilitas pendidikan yang kurang mendukung.
Namun, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad (2023) menjelaskan bahwa fasilitas pendidikan yang kurang mendukung, berpengaruh kurang baik terhadap semangat dan motivasi peserta didik dalam mengenyam bangku pendidikan. Hal ini menjadikan faktor sarana pendidikan menjadi salah satu faktor krusial yang harus diperhatikan dalam rangka memastikan layanan pendidikan bisa terjangkau dengan baik oleh semua orang. Sarana pendidikan yang memadai juga merupakan salah satu aspek dari pendidikan inklusif yang harus mampu untuk terpenuhi.