Mohon tunggu...
Ridho Ilahi
Ridho Ilahi Mohon Tunggu... Penulis - Fungsional Statistisi Badan Pusat Statistik (BPS)

Membaca dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Peran Diplomatis Indonesia di Semenanjung Korea

14 September 2024   21:22 Diperbarui: 14 September 2024   21:27 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ancaman nuklir dari Korea Utara tidak bisa dianggap remeh. Negara tersebut telah menunjukkan ketidakpedulian terhadap peringatan dan sanksi internasional, serta secara konsisten melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB. Pengembangan senjata nuklir oleh Korea Utara tidak hanya menciptakan ketidakstabilan regional, tetapi juga memicu perlombaan senjata di kawasan tersebut. Negara-negara tetangga seperti Korea Selatan dan Jepang, juga terdorong untuk meningkatkan kemampuan militer sehingga memperburuk ketegangan dan menimbulkan risiko konfrontasi militer.

Pada 15 Juli 2024 Federasi Ilmuwan Amerika (FAS) telah merilis Nuclear Notebook edisi Korea Utara yang diterbitkan di Bulletin of the Atomic Scientists. Dalam tulisan tersebut diperkirakan Korea Utara telah memproduksi bahan fissile yang mampu menghasilkan 90 hulu ledak nuklir. FAS juga merilis bahwa Korea Utara telah mengembangkan kekuatan rudal yang sangat beragam dalam semua kategori jarak tempuh.

Ancaman nuklir di Semenanjung Korea memperlihatkan kegagalan diplomasi internasional dalam menghentikan proliferasi senjata nuklir. Berbagai upaya diplomatik telah dilakukan termasuk pertemuan puncak antara pemimpin Korea Utara dan Amerika Serikat. Namun, akibat ketidakpastian serta tidak adanya kesepakatan menciptakan risiko eskalasi militer.

Korea Utara merupakan salah satu masyarakat termiskin dan paling tertutup di dunia, sedangkan Korea Selatan, yang resmi bernama Republik Korea (RK) merupakan negara dengan perekonomian paling dinamis dan makmur di dunia. Antara tahun 2003 dan 2009, China menjadi tuan rumah diplomasi Enam Pihak yang melibatkan Amerika Serikat, China, Korea Utara, Korea Selatan, Rusia, dan Jepang dalam upaya denuklirisasi multilateral. Sayangnya, pembicaraan enam pihak (Six-Party Talks) gagal mencapai perkembangan substantif. Setelah Kim Jong-un berkuasa, Korea Utara mempercepat program nuklirnya. Pada awal 2018, Korea Utara telah melakukan enam uji coba nuklir dan puluhan uji coba rudal.

Program nuklir memiliki banyak tujuan bagi Korea Utara. Program ini merupakan penangkal ancaman eksternal serta membantu kelangsungan hidup rezim. Program nuklir menjadi alat tawar-menawar yang digunakan Korea Utara untuk memperoleh konsesi ekonomi dan diplomatik dari komunitas internasional. Di dalam negeri, program nuklir membantu meningkatkan nasionalisme dan loyalitas. Propaganda resmi terus menggambarkan Amerika Serikat sebagai kekuatan imperialis yang bertekad untuk menghancurkan Korea Utara. Latihan militer gabungan AS-RK secara rutin di dekat Korea Utara sebagai pengingat bagi rakyat Korea Utara bahwa mereka hidup di bawah ancaman yang terus menerus, dan hanya Korea Utara yang bersenjata nuklir yang dipimpin oleh Marsekal Kim Jong-un yang dapat mempertahankan negara itu dari agresi.

Negara-negara lain melihat program nuklir Korea Utara sebagai tantangan serius bagi keamanan regional dan internasional. Baik Amerika Serikat dan China juga mengkhawatirkan proliferasi nuklir di Asia Timur. Hingga saat ini, Amerika Serikat dan China belum secara serius membahas peta jalan untuk semenanjung Korea. Ketidakpercayaan antara Amerika Serikat dan China mencegah kerja sama dalam mengatasi ancaman nuklir ini.

Pertemuan antara Kim Jong-un dan Donald Trump membuka pintu diskusi untuk menciptakan perubahan. Namun, diplomasi harus dilakukan hati-hati dan disertai konsesi yang realistis. Pyongyang cenderung berdialog untuk memperoleh keuntungan tanpa berniat menghentikan program nuklirnya.

Solusi jangka panjangnya perlu kombinasi dari diplomasi multilateral dan bilateral, serta insentif yang cukup untuk mempengaruhi Pyongyang agar bersedia berkompromi. Diplomasi bisa menawarkan prospek stabilitas yang berkelanjutan meskipun perlu waktu yang panjang. Diplomasi multilateral memberikan ruang untuk membangun konsensus dan berbagi tanggung jawab dalam menekan Korea Utara secara kolektif.

Pelibatan China dan Rusia dalam diplomasi berdampak signifikan terhadap Korea Utara untuk menghentikan program nuklirnya. Diplomasi membuka peluang pemberian insentif kepada Korea Utara seperti bantuan ekonomi atau pengakuan diplomatik sebagai imbalan komitmen Korea Utara membekukan atau mengurangi program nuklirnya. Pendekatan ini tidak hanya bersifat koersif, tetapi juga menguntungkan Korea Utara untuk berkompromi menghentikan aktivitas nuklirnya.

Insentif ekonomi bisa menjadi alat yang efektif untuk mempengaruhi perilaku Korea Utara. Insentif seperti bantuan kemanusiaan, investasi infrastruktur, atau integrasi ekonomi regional dapat ditawarkan sebagai imbalan bagi penghentian program nuklir. Dialog langsung antara Korea Utara dan Amerika Serikat dapat menciptakan peluang untuk mencapai kesepakatan bilateral yang lebih konkret. Diplomasi personal seperti pertemuan antara Kim Jong-un dan Donald Trump menunjukkan bahwa keterlibatan langsung bisa menjadi pendekatan yang lebih fleksibel dan pragmatis.

Peran Diplomatis Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun