Ancaman nuklir dari Korea Utara tidak bisa dianggap remeh. Negara tersebut telah menunjukkan ketidakpedulian terhadap peringatan dan sanksi internasional, serta secara konsisten melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB. Pengembangan senjata nuklir oleh Korea Utara tidak hanya menciptakan ketidakstabilan regional, tetapi juga memicu perlombaan senjata di kawasan tersebut. Negara-negara tetangga seperti Korea Selatan dan Jepang, juga terdorong untuk meningkatkan kemampuan militer sehingga memperburuk ketegangan dan menimbulkan risiko konfrontasi militer.
Pada 15 Juli 2024 Federasi Ilmuwan Amerika (FAS) telah merilis Nuclear Notebook edisi Korea Utara yang diterbitkan di Bulletin of the Atomic Scientists. Dalam tulisan tersebut diperkirakan Korea Utara telah memproduksi bahan fissile yang mampu menghasilkan 90 hulu ledak nuklir. FAS juga merilis bahwa Korea Utara telah mengembangkan kekuatan rudal yang sangat beragam dalam semua kategori jarak tempuh.
Ancaman nuklir di Semenanjung Korea memperlihatkan kegagalan diplomasi internasional dalam menghentikan proliferasi senjata nuklir. Berbagai upaya diplomatik telah dilakukan termasuk pertemuan puncak antara pemimpin Korea Utara dan Amerika Serikat. Namun, akibat ketidakpastian serta tidak adanya kesepakatan menciptakan risiko eskalasi militer.
Korea Utara merupakan salah satu masyarakat termiskin dan paling tertutup di dunia, sedangkan Korea Selatan, yang resmi bernama Republik Korea (RK) merupakan negara dengan perekonomian paling dinamis dan makmur di dunia. Antara tahun 2003 dan 2009, China menjadi tuan rumah diplomasi Enam Pihak yang melibatkan Amerika Serikat, China, Korea Utara, Korea Selatan, Rusia, dan Jepang dalam upaya denuklirisasi multilateral. Sayangnya, pembicaraan enam pihak (Six-Party Talks) gagal mencapai perkembangan substantif. Setelah Kim Jong-un berkuasa, Korea Utara mempercepat program nuklirnya. Pada awal 2018, Korea Utara telah melakukan enam uji coba nuklir dan puluhan uji coba rudal.
Program nuklir memiliki banyak tujuan bagi Korea Utara. Program ini merupakan penangkal ancaman eksternal serta membantu kelangsungan hidup rezim. Program nuklir menjadi alat tawar-menawar yang digunakan Korea Utara untuk memperoleh konsesi ekonomi dan diplomatik dari komunitas internasional. Di dalam negeri, program nuklir membantu meningkatkan nasionalisme dan loyalitas. Propaganda resmi terus menggambarkan Amerika Serikat sebagai kekuatan imperialis yang bertekad untuk menghancurkan Korea Utara. Latihan militer gabungan AS-RK secara rutin di dekat Korea Utara sebagai pengingat bagi rakyat Korea Utara bahwa mereka hidup di bawah ancaman yang terus menerus, dan hanya Korea Utara yang bersenjata nuklir yang dipimpin oleh Marsekal Kim Jong-un yang dapat mempertahankan negara itu dari agresi.
Negara-negara lain melihat program nuklir Korea Utara sebagai tantangan serius bagi keamanan regional dan internasional. Baik Amerika Serikat dan China juga mengkhawatirkan proliferasi nuklir di Asia Timur. Hingga saat ini, Amerika Serikat dan China belum secara serius membahas peta jalan untuk semenanjung Korea. Ketidakpercayaan antara Amerika Serikat dan China mencegah kerja sama dalam mengatasi ancaman nuklir ini.
Pertemuan antara Kim Jong-un dan Donald Trump membuka pintu diskusi untuk menciptakan perubahan. Namun, diplomasi harus dilakukan hati-hati dan disertai konsesi yang realistis. Pyongyang cenderung berdialog untuk memperoleh keuntungan tanpa berniat menghentikan program nuklirnya.
Solusi jangka panjangnya perlu kombinasi dari diplomasi multilateral dan bilateral, serta insentif yang cukup untuk mempengaruhi Pyongyang agar bersedia berkompromi. Diplomasi bisa menawarkan prospek stabilitas yang berkelanjutan meskipun perlu waktu yang panjang. Diplomasi multilateral memberikan ruang untuk membangun konsensus dan berbagi tanggung jawab dalam menekan Korea Utara secara kolektif.
Pelibatan China dan Rusia dalam diplomasi berdampak signifikan terhadap Korea Utara untuk menghentikan program nuklirnya. Diplomasi membuka peluang pemberian insentif kepada Korea Utara seperti bantuan ekonomi atau pengakuan diplomatik sebagai imbalan komitmen Korea Utara membekukan atau mengurangi program nuklirnya. Pendekatan ini tidak hanya bersifat koersif, tetapi juga menguntungkan Korea Utara untuk berkompromi menghentikan aktivitas nuklirnya.
Insentif ekonomi bisa menjadi alat yang efektif untuk mempengaruhi perilaku Korea Utara. Insentif seperti bantuan kemanusiaan, investasi infrastruktur, atau integrasi ekonomi regional dapat ditawarkan sebagai imbalan bagi penghentian program nuklir. Dialog langsung antara Korea Utara dan Amerika Serikat dapat menciptakan peluang untuk mencapai kesepakatan bilateral yang lebih konkret. Diplomasi personal seperti pertemuan antara Kim Jong-un dan Donald Trump menunjukkan bahwa keterlibatan langsung bisa menjadi pendekatan yang lebih fleksibel dan pragmatis.
Peran Diplomatis Indonesia
Peran Indonesia dalam isu nuklir Korea Utara memang tidak menonjol dibandingkan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, China, atau Jepang. Pendekatan diplomasi yang tidak konfrontatif dan hubungan baik dengan Korea Utara, membuat Indonesia menjadi mediator dalam proses perdamaian di Semenanjung Korea.
Indonesia mampu membuktikan bahwa negara-negara yang bukan kekuatan besar bisa berkontribusi memelihara perdamaian dan stabilitas global. Melalui diplomasi yang penuh kehati-hatian dan mengedepankan dialog, Indonesia dinilai handal berkomunikasi secara terbuka dengan negara-negara yang terlibat dalam konflik. Sebagai negara yang berpengalaman dalam proses rekonsiliasi domestik, Indonesia dapat menawarkan perspektif yang berharga tentang cara mengelola konflik melalui jalur damai.
Namun, tantangan utama Indonesia bagaimana memaksimalkan pengaruhnya di tengah persaingan geopolitik yang ketat di kawasan tersebut. Pengaruh Indonesia terbatas karena netralitasnya serta kurangnya sumber daya menghadapi dinamika diplomasi dengan negara adidaya. Meskipun demikian, Indonesia punya kesempatan mendorong perdamaian dan stabilitas di Semenanjung Korea.
Sebagai negara yang menganut kebijakan luar negeri bebas aktif, posisi Indonesia unik dalam isu Semenanjung Korea. Indonesia dianggap bukan bagian dari blok militer mana pun serta memiliki hubungan diplomatik yang relatif baik dengan kedua Korea, yaitu Korea Utara (Republik Demokratik Rakyat Korea) dan Korea Selatan (Republik Korea). Dengan demikian, Indonesia bisa fleksibel berdiplomasi dan berperan sebagai mediator.
Indonesia selalu disebut sebagai "honest broker" (penengah yang jujur) di kancah internasional. Indonesia seringkali menawarkan diri sebagai fasilitator dialog antara pihak-pihak yang berkonflik. Indonesia dinilai mampu menciptakan ruang diplomasi yang konstruktif dan lebih terbuka untuk negosiasi. Salah satu contoh ketika Indonesia memfasilitasi pertemuan Track 1.5 (diplomasi formal dan informal) antara Korea Utara dan pihak-pihak lain.
Indonesia selalu menekankan pentingnya penyelesaian diplomatis ketimbang solusi militer. Sejalan dengan peran Indonesia sebagai pendiri Gerakan Non-Blok yang mengutamakan penyelesaian konflik internasional melalui dialog. Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri secara konsisten menyelesaikan masalah nuklir di Semenanjung Korea melalui forum-forum internasional, seperti: Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ASEAN Regional Forum (ARF), dan Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur (East Asia Summit). Sebagai anggota ASEAN, Indonesia berperan penting memperkuat dialog antara negara-negara ASEAN dan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam isu nuklir di Semenanjung Korea, seperti Korea Utara, Korea Selatan, Amerika Serikat, Tiongkok, dan Jepang.
Hubungan diplomatik Indonesia dan Korea Utara telah terjalin sejak 1961. Indonesia selalu menggunakan jalur diplomasi bilateral dalam menyampaikan pesan-pesan komunitas internasional terkait nuklir kepada Korea Utara. Hebatnya, hubungan personal antara Presiden Soekarno dengan pemimpin Korea Utara Kim Il-Sung menjadi landasan historis dalam memperkuat hubungan diplomatik kedua negara. Indonesia terus mendorong agar Korea Utara kembali ke meja perundingan Six-Party Talks serta terus mengadvokasi pentingnya kepatuhan terhadap perjanjian internasional terkait non-proliferasi senjata nuklir.
Indonesia selalu aktif mendukung inisiatif global demi mencapai dunia bebas senjata nuklir dan berperan dalam berbagai forum terkait non-proliferasi senjata nuklir, termasuk Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan Perjanjian Larangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir (CTBT). Komitmen ini sebagai dasar Indonesia menyerukan penghentian program nuklir Korea Utara karena dianggap melanggar perjanjian internasional.
Indonesia juga tidak hanya fokus pada isu-isu keamanan, tetapi juga pada aspek kemanusiaan. Indonesia pernah menyalurkan bantuan kemanusiaan melalui World Food Programme (WFP) dan Palang Merah Internasional demi meringankan penderitaan rakyat Korea Utara akibat sanksi ekonomi dan krisis pangan.
Indonesia selalu menekankan denuklirisasi secara damai melalui negosiasi dan penghormatan kedaulatan masing-masing negara. Indonesia juga mendukung Deklarasi Panmunjom 2018 antara Korea Utara dan Korea Selatan untuk bersepakat menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea dan denuklirisasi penuh. Sebagai negara yang tidak berpihak, Indonesia berusaha memainkan peran sebagai fasilitator perdamaian yang netral, sekaligus mendorong kepatuhan terhadap perjanjian internasional terkait non-proliferasi senjata nuklir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H