Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Perawat Bisa Jadi Menkes

13 November 2021   16:38 Diperbarui: 13 November 2021   16:53 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: oecd.org. Menkes G7. 

Temuan Acak-acakan

Dari beberapa sumber yang saya peroleh, hingga bulan Desember 2020,  tercatat 11 negara yang menteri kesehatannya bukan orang kesehatan. Di antaranya Menkes Belanda, Inggris, Jepang, Jerman, Denmark, Singapore, Australia, Selandia Baru, Thailand dan Arab Saudi.  

Pertama dari Belanda. Hugo de Jonge menjabat yang menjabat sebagai Menteri Kesehatan, Kesejahteraan, dan Olahraga di negeri kincir angin mulai dari tahun 2017. Ia merupakan seorang politisi, lulusan manajemen.

Kedua, Andrew James Little, dari Selandia Baru, latar belakang hukum. Sarjana hukum, filsafat, dan kebijakan publik dari Victoria University of Wellington. Ketiga, dari Jerman,  Jens Spahn sejak 2018, seorang bankir dan Sekretaris Parlemen Jerman untuk bidang keuangan. Dia lulusan sarjana ilmu politik dan hukum di Universitas Hagen.

Keempat, Jepang, Norihisa Tamura. Mr. Tamura seorang anggota parlemen yang memulai karirnya di bidang konstruksi. Beliau jebolan pendidikan di bidang Hukum dan Ekonomi dari Universitas Chiba. Kelima, Denmark saat ini posisi Menteri Kesehatan dan Lansia dijabat oleh Magnus Heunicke. Sebelumnya beliau merupakan seorang jurnalis.

Keenam, Singapura yang dijabat oleh Gan Kim Yong. Beliau lulusan Electrical Engineering dari Universitas Cambridge pada tahun 1981. Menjabat sebagai Menkes sejak 2011 hingga sekarang. Ketujuh, Menkes Australia yang dipegang oleh Gregory Hunt. Sejak tahun 2017 Mr. Hunt ini menduduki jabatan Menkes. Sebelumnya, menjabat sebagai Menteri Transportasi. Beliau lulusan sarjana hukum di University of Melbourne dan magister hubungan internasional di Yale University.

Kedelapan, Menkes di Arab Saudi. Sejak tahun 2016 jabatan ini disandang oleh Tawfiq al Rabiah. Sebelumnya beliau ditunjuk sebagai menteri perdagangan. Latar belakang studi bisnisnya di King Saud University. Kesembilan, Menkes Kanada yang duduki oleh Patty Hadju sejak November 2019. Wanita yang lahir tahun 1966 ini semula sebagai Menteri Ketenagakerjaan. Ia lulusan sarjana dari Lakehead University dan Magister ilmu administrasi di University of Victoria.

Kesepuluh, Menkes Thailand, Anutin Charnvirakul. Ia merupakan politisi kawakan lulusan teknik dari Hofstra University. Dan yang terakhir, Menkes Inggris, yakni Menteri Kesehatan dan Perlindungan Sosial yang dijabat oleh Edward Argar. Beliau menamatkan studinya dalam bidang sejarah di Oriel College, Oxford.

Analisa Acak-acakan

Dari ulasan di atas, alasan awut-awutan saya adalah: pertama, mereka semua berasal dari negara-negara maju dan kaya (100%). Ini penting digaris-bawahi. Negara maju lebih mengutamakan karya.

Orang-orang dari negara maju biasanya sudah tidak begitu memikirkan jenjang pendidikan meskipun penting sekali. Hanya saja dalam benak mereka, everyone is qualified. Itulah landasan dasar pemikiran profesional. Terlebih jabatan menteri lebih ke arah majamemen, bukan teknis. Oleh sebab itu pengalaman manajerial sangat dibutuhkan.

Menteri kesehatan tidak melakukan operasi di Kamar Operasi, apalagi memberikan suntikan imunisasi. Seorang Menkes memiliki staf ahli. Jadi kepiawaian mengarahkan dan memimpin staf ahli di berbagai bidang kesehatan jauh lebih dibutuhkan oleh Menkes daripada ketermpilan teknis operasional. Bukan keterampilan bidang profesi kesehatan.

Dunia Politik dan Parlemen

Dari 11 orang tersebut, semuanya (100%) merupakan senior, ada juga yang kawakan, yang kaya berpengalaman. Lebih dari 50% memiliki pengalaman di parlemen dan kementrian. Dengan kata lain, untuk menjabat sebagai Menkes, pengalaman di parlemen dan dunia politik sangat dibutuhkan.

Pengalaman politik jauh lebih berpengaruh bagi jabatan seorang menteri dari pada gelar akademik. Bahkan dari 11 orang tersebut tidak ada yang bergelar professor.

Pengaruh politik sedemikian besar bagi jabatan Menkes. Kedekatan Menkes secara politis dengan pemimpin negara yang menentukan langkah karir mereka di kementrian ini. Bukan kepandaian akademiknya. Kelincahan dalam berpolitik mengantar mereka untuk maju dan duduk dalam kabinet.

Dari sisi pendidikan, latar belakang pendidikan hukum ternyata mendominasi. Dengan bermodalkan pendidikan hukum ini, 3 orang (3327.3%) yang menjabat sebagai Menkes, dan pendidikan teknik ada 2 orang (21%). Yang lainnya masing-masing berpendidikan dasar keuangan, jurnalistik, bisnis, adinistrasi, manajemen dan sejarah. Artinya, mereka yang berpendidikan hukum peluangnya lebih besar.

Peluang Perawat

Berangkat dari perjalanan karir para Menkes di 11 negara di atas, 12 orang termasuk dari kita, perawat sejatinya juga memiliki peluang untuk menjadi Menkes.

Rumus pertama, kita tunggu dulu sampai negeri +62 ini menjadi negara maju dulu. Bisa setingkat Belanda, Jerman, Inggris, Singapore atau Thailand yang paling rendah selevel kita.

Rumus kedua, kalau soal pendidikan profesi keperawatan Indonesia sudah memiliki 10 orang profesor. Memang masih sedikit dibandingkan Filipina atau India yang mungkin sudah ribuan. Pendidikan kita tidak masalah.

Sebelas orang Menkes di atas 90% pendidikannya cukup sarjana. Hanya saja, levelnya kampusnya dari perguruan tinggi internasional ternama. Kampus pendidikan kita harus jempolan dulu agar kita mencetak perawat sekelas Menkes mereka. Kalau Bahasa Inggris saja masih belepotan, bagaimana perawat akan memimpin Kemenkes?   

Rumus ketiga, perawat harus masuk dunia politik agar tidak hanya jadi alat politik. Pengalaman 11 Menkes di atas tidak terbantahkan sebagai buktinya. Minimal, perawat harus mengejar karirnya jadi anggota parlemen atau staf kepresidinan. Paling tidak selevel pengalaman Menkes kita, Pak Budi Gunadi Sadikin (BGS) yang dulu pernah menjabat sebagai Wakil Menteri BUMN sebelum menjabat Menkes.

Rumus keempat, perawat harus berjuang keras. Komitmen ini penting agar bisa tampil sebagaimana profesional jebolan sebagaimana jebolan jurusan lainnya seperti teknik, manajemen, bisnis, administrasi dan hukum yang levelnya internasional.

Source: oecd.org. Menkes G7. 
Source: oecd.org. Menkes G7. 

Kesimpulan

Perawat pada intinya memiliki peluang besar, sama seperti profesi lain untuk jadi Menkes. Saat ini tidak sedikit perawat yang hanya mampu memimpin lembaga yang linear bidang kesehatan, misalnya sebagai Kepala Puskesmas, Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan. Agaknya, perlu perjuangan berat guna mendongkrak karir perangkat agar bisa bersaing dalam prolehan jabatan Menkes.

Kalau pun tidak, minimal jadi istri atau suami angggota parlemen atau Menkes saja lah. Kayak zamannya Florence Nightingale dulu di awal abad 20.

Makassar, 13 November 2021

Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun