Orang-orang dari negara maju biasanya sudah tidak begitu memikirkan jenjang pendidikan meskipun penting sekali. Hanya saja dalam benak mereka, everyone is qualified. Itulah landasan dasar pemikiran profesional. Terlebih jabatan menteri lebih ke arah majamemen, bukan teknis. Oleh sebab itu pengalaman manajerial sangat dibutuhkan.
Menteri kesehatan tidak melakukan operasi di Kamar Operasi, apalagi memberikan suntikan imunisasi. Seorang Menkes memiliki staf ahli. Jadi kepiawaian mengarahkan dan memimpin staf ahli di berbagai bidang kesehatan jauh lebih dibutuhkan oleh Menkes daripada ketermpilan teknis operasional. Bukan keterampilan bidang profesi kesehatan.
Dunia Politik dan Parlemen
Dari 11 orang tersebut, semuanya (100%) merupakan senior, ada juga yang kawakan, yang kaya berpengalaman. Lebih dari 50% memiliki pengalaman di parlemen dan kementrian. Dengan kata lain, untuk menjabat sebagai Menkes, pengalaman di parlemen dan dunia politik sangat dibutuhkan.
Pengalaman politik jauh lebih berpengaruh bagi jabatan seorang menteri dari pada gelar akademik. Bahkan dari 11 orang tersebut tidak ada yang bergelar professor.
Pengaruh politik sedemikian besar bagi jabatan Menkes. Kedekatan Menkes secara politis dengan pemimpin negara yang menentukan langkah karir mereka di kementrian ini. Bukan kepandaian akademiknya. Kelincahan dalam berpolitik mengantar mereka untuk maju dan duduk dalam kabinet.
Dari sisi pendidikan, latar belakang pendidikan hukum ternyata mendominasi. Dengan bermodalkan pendidikan hukum ini, 3 orang (3327.3%) yang menjabat sebagai Menkes, dan pendidikan teknik ada 2 orang (21%). Yang lainnya masing-masing berpendidikan dasar keuangan, jurnalistik, bisnis, adinistrasi, manajemen dan sejarah. Artinya, mereka yang berpendidikan hukum peluangnya lebih besar.
Peluang Perawat
Berangkat dari perjalanan karir para Menkes di 11 negara di atas, 12 orang termasuk dari kita, perawat sejatinya juga memiliki peluang untuk menjadi Menkes.
Rumus pertama, kita tunggu dulu sampai negeri +62 ini menjadi negara maju dulu. Bisa setingkat Belanda, Jerman, Inggris, Singapore atau Thailand yang paling rendah selevel kita.
Rumus kedua, kalau soal pendidikan profesi keperawatan Indonesia sudah memiliki 10 orang profesor. Memang masih sedikit dibandingkan Filipina atau India yang mungkin sudah ribuan. Pendidikan kita tidak masalah.