Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kembali PSBB Pertaruhkan Reputasi Menkes, Menkeu, dan Presiden

11 September 2020   08:30 Diperbarui: 11 September 2020   08:27 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  Saya sebenarnya tidak kaget ketika beberapa hari terakhir ini muncul berita, Indonesia tercatat dalam daftar 59 negara yang kita dilarang masuk, tidak terkecuali di negara tetangga, Malaysia. Ini terjadi karena kita tidak disiplin terhadap aturan yang kita buat sendiri terkait Covid-19.

Tidak perlu banyak berargumentasi untuk masalah ini. Meski sudah nyata buktinya bahwa akibat Virus Corona yang bisa mematikan, tidak digubris.

Aturan dibuat bukan hanya untuk rakyat bawah. Pimpinan bagian atas juga harusnya memberi contoh. Bukan hanya itu, 

Pemerintah memiliki tanggungjawab besar pula dalam masalah ini. Membuat aturan harus disertai dengan penyediaan fasilitas agar aturan ini bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan. 

Bukannya membuat aturan, tetapi dalam penerapannya rakyat mengalami kesulitan, karena tidak memiliki sarana dan prasarananya.

Akibatnya, aturan-tinggal aturan. Hasilnya seperti ini. Setelah memasuki New Normal, nyatanya bukan berkurang, malah kita dapatkan New Cases yang berlipat ganda.

Jika sudah begini kondisinya, banyak pihak yang saling menyalahkan. Yang terberat adalah, dengan status meningkatnya kasus Covid-19 yang tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan, ekonomi terancam resesi dan Indonesia disebut sebagai salah satu negara yang mengkhawatirkan. Kalau begitu, siapa sebenarnya yang paling bertanggungjawab mengatasinya, Presiden atau Menteri Kesehatan atau Menteri Keuangan?  

Presiden, Menkes dan Menkeu 

Saya tidak bisa menghitung, berapa kali mengikuti pertemuan sejak mahasiswa hingga status sebagai pekerja. Selama itu mungkin bisa dihitung dengan jari satu tangan, jumlah pimpinan yang hadir tepat waktu saat pertemuan berlangsung. Jam karet dari dulu hingga sekarang tidak berubah.

Ini sebagai pertanda bahwa pencapaian tujuan menangani Covid-19 ini jangan harap bisa tercapai apabila level disiplin kita masih memperihatinkan.

Di mana-mana kita bisa baca poster ukuran raksasa yang bunyinya: Mari kita lawan, Ayo Kita Perangi, Disiplin Dimulai Dari Diri Sendiri, dan lain-lain. Nyatanya angka kesakitan dan kematian tidak kunjung berkurang. 

Mengapa ini masih terjadi, karena dari atas tidak menunjukkan kesungguhan dalam membuat aturan-aturan yang dibuatnya.

Ini juga sebagai pertanda bahwa sistem kepemimpinan di negeri ini perlu koreksi diri. Tidak perlu menyalahkan rakyat terlebih dahulu. Rakyat itu ibarat Bebek, akan mengikuti siapa yang nggiring.

Masalah Covid-19 adalah masalah nasional. Presiden tidak bisa mengatasi sendiri. Para Menteri berkewajiban mendukung. Yang paling berperan adalah Menteri Kesehatan. Karena konsep sehat-sakit manusia di negeri ini, ada di tanganya. Sementara ancaman resesi ya Menteri Keuangan yang harus ada di depan.

Seharusnya, sejak 7 bulan lalu langkahnya diantisipasi segala konsekuensinya. Memang, Menkes dan Menkeu pasti sudah memiliki rencana bagaimana menanggulanginya. 

Hanya saja, ketika yang dihadapi sekarang adalah peningkatan jumlah kasus dan kondisi ekonomi yang anjlok, harusnya ada Plan B. Cuci tangan, masker, jaga jarak saja, sepertinya belum cukup. Terlebih di Jakarta.

Makanya, ketika PSBB diberlakukan kembali, itu sebagai pertanda bahwa proposal yang diajukan dalam penanganan Covid-19 tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. So, what is next?

Medical dan Economics Research Center

Saya punya teman yang Positive Covid-19, dia tidak minum obat apapun kecuali hanya Paracetamol manakala demam. Nyatanya dia sembuh sempurna dan kembali bekerja seperti semula sesudah 2 pekan pulang dari opname, tanpa obat.

Apa yang dialami oleh rekan saya tersebut mestinya digunakan sebagai bahan penelitian lebih lanjut, bahwa ancaman Covid-19 tidak bisa dibendung. Ternyata kita juga punya penangkal alami. Tanpa vaksinasi, tanpa obat.

Sayangnya, Indonesia ini tidak memiliki Medical Research Center (MRC), Pusat Penelitian Kedokteran atau Kesehatan. Kita punya LIPI, tetapi itu bukan MRC sebagai pusat penelitian kasus-kasus seperti Corona Virus ini.

Sudah saatnya, kita menyisakan sebagian dari anggaran negara guna kepentingan perkembangan dunia kesehatan kita. Supaya jangan bisanya hanya membeli atau bayar obat.

Memang kita sudah memiliki pusat-pusat penelitian kesehatan lain seperti di UI (CHR-UI), namun itu belum cukup karena levelnya bukan nasional, di mana bisa menampung potesi peneliti dari seluruh negeri. Bukan hanya milik UI.

Hal yang sama untu sektor ekonomi. Supaya kita bisanya jangan utang kalau kurang dana APBN.

Compliance, Berlakukan Denda

Meningkatnya jumlah angka kesakitan dan kematian di negeri ini merupakan bukti, bahwa 3M (Mencuci Tangan, Menggunakan Masker dan Menjaga Jarak) jauh dari cukup.

Orang kita ini kalau mati banyak yang berani. Tetapi bayar denda biasanya paling ditakuti. Ini barangkali bisa dijadikan alternative solusi mereka yang tidak patuh terhadap aturan.

Yang kedua, aturan PSBB tidak perlu diberlakukan pada daerah-daerah yang 'Hijau'. Artinya penyebarannya minim. Karena ekonomi rakyat di sana harus tetap berlangsung. Juga proses belajar ana-anak sekolah, supaya mereka tetap pintar.

Ketiga, berikan fasilitas bagi orang yang tidak mampu, misalnya masker. Tidak perlu Hand Sanitizer, karena mereka sudah punya kalau air di rumah.

Keempat, sehat itu penting. Tetapi ekonomi juga harus jalan. Makanya, yang ini saya tidak mau menggurui. Biarkan pemerintah, ahli ekonomi dan kesehatan duduk bareng. Ayo diapakan negeri ini biar sehat, namun juga tidak jadi melara haya karena Corona.

Kelima, biarkan rakyat tetap ibadah, tetapi gunakan protocol kesehatan. Karena hidup ini ada yang punya. Kepada siapa lagi kita mengadu, kalau bukan pada Tuhan Yang maha Kuasa? Manusia bisanya hanya berusaha. Tetapi keputusan, semua kita kembalikan kepada-Nya.

Malang, 11 September 2020
Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun