Demokrasi di Kampus
Saat awal-awal kuliah dulu, dosen selalu bilang, kita di kampus ini menerapkan sistem demokrasi. Manajemen kampus menerima dengan senang hati segala kritik dan saran mahasiswa. Demikian pula yang digembar-gemborkan oleh kakak tingkat, sesama mahasiswa. Mahasiswa yang aktif di BEM, akrab dengan satu kata ini: Demokrasi. Â
Demokrasi yang berasal dari Bahasa Yunani, yang berarti pemerintahan rakyat, kurang lebih artiya adalah kesetaraan dalam pengambilan keputusan demi kepentingan rakyat. Di kampus, tentu saja demi kepentingan mahasiswa.
Namun, kenyataannya beda. Demokrasi di kampus yang saya temui kurang lebih artinya seperti "Demokrasi Lingkaran Setan".Â
Mahasiswa memang punya hak yang setara. Akan tetapi mahasiswa saat mengambil keputusan takut sama dosen, dosen takut sama rector, rector takut Menteri, Menteri takut Presiden dan Presiden takut mahasiswa.
Saya tahu tentang ini, karena pernah dipercaya sebagai Ketua Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan Aceh (ILMAKA), yang mawadahi 20 kampus lebih se-provinsi Aceh.
Dalam praktiknya, selalu ada saja tipe-tipe mahasiswa yang berbeda. Mulai dari yang pintar pendiam, pintar aktif, prestasi sedang-sedang saja tapi aktif, sedang-sedang saja yang pendiam dan ada yang sedang-sedang saja, namun kritis.
Namun ada pula yang tipe nya seperti Rocky Gerung (RG), Fadli Zon (FZ), dan Fahri Hamzah (FH). Mereka ini pintar, aktif dan sangat kritis. Dosen-dosen kadang dibuat kuwalahan.
Mereka ini aktif di organisasi. Pendeknya, begitu aktifnya, seolah kalau tidak ada mereka, sepertinya tidak ramai. Tentunya ada yang pro, ada yang kontra.Â
Mereka yang pro, umumya yang menghendaki dinamika atau perubahan dalam kehidupan kampus. Sedangkan yang kontra, biasanya yang tidak ingin ramai, yang penting program kampus jalan.
Keberadaan mahasiswa kayak RG, FZ dan FH dianggap sebagai batu sandungan atau sumber persoalan. Ironisnya, mereka ini tetap eksis dan tidak pernah dilarang dalam kehidupan kampus. Kenapa tidak ditangkap saja?
Â
Masyarakat Butuh "Hiburan"
Saya mengetahui RG, FZ dan FH ketika mereka sering muncul dalam acara-acara TVOne, khususnya ILC (Indonesia Lawyers Club). Pendeknya, seperti kehidupan kami di kampus dulu, kalau RG, FZ dan FH tidak ada, ILC sepi.
Saya tidak merasa teracuni, juga tidak terprovokasi. Biasa saja. Saya suka "Akal Sehat"Â nya Rocky Gerung. FH juga bilang tugasnya dulu di DPR memang 'ngomong'.
Acara seperti ini banyak diminati oleh masyarakat sebagai hiburan yang 'menyegarkan'. Meski hanya kalangan tertentu yang menikmatinya, acara yang dipandu oleh Karni Ilyas ini sangat dinanti oleh pemirsa secara umum. Masyarakat sangat menyukai acara-acara seperti ini sebagai hiburan.
Lagi pula, orang sekarang masyarakat kita sudah cerdas. Meskipun di ILC terjadi seperti pertengkaran sengit, di luar ILC paling mereka berangkulan, bersahabat. Kayak main drama lah. Saya sendiri menganggapnya demikian.
Media Butuh Berita
Wartawan itu juga butuh berita. Negara ini juga butuh berita menarik dalam kehidupan demokrasi yang dinamis. Betapa membosankan jika hidup ini hanya diisi dengan kegiatan seperti Pak Tani, Kelompen Capir atau Posyandu seperti zaman Orba dulu.
Sepanjang tidak menimbulkan kerusuhan, kriminalitas, bahan berita seperti ajang diskusi atau debat para pakar, seperti RG dengan Prof. Henry kapan itu di TV One, menurut saya OK-OK saja. Tidak perlu baper, atau anti perbedaan.
Namun demikian, wartawan juga harus cerdas. Jangan memelintir berita yang bikin masyarakat bingung atau menimbulkan pepecahan. TV, Koran, medsos, butuh berita-berita hangat termasuk tampilan RG, FZ dan FH.
Betapa sepi tanpa mereka kan?
Makanya, medsos dan TV laris saat mereka tampil. Ini harus diakui. Jadi, media juga membutuhkan keberadaan orang-orang seperti mereka. Bukan tipe yes man, yang manut saja terhadap segala aturan, terlebih jika ada KKN yang dibiarkan. Makanya, mereka laris di beberapa program TV.
Kenapa Tidak Ditangkap?
Indonesia ini tidak berdiri sendiri. Kita hidup dalam pergaulan internasional, di mana ada interaksi antara negara satu dengan lainnya. Kita juga dilihat, dinilai dan dipertimbangkan oleh negara-negara lain, termasuk soal investasi.
Mengudang investor asing perlu mengedepankan system demokrasi yang kita anut. Semakin otoriter, semakin sedikit minat investor asing. Untuk kepentingan tersebut ada KPI nya (Key Performance Indicators).Â
Saya mengistilahkan persyaratan sederhana ini sebagai syarat minimalyang diminta negara-negara yang banyak diminat sebagai investor asing. Makin tinggi derajat demokasinya, makin bayak investor asing yang minat. Dampaknya adalah akan membantu peningkatan taraf ekonomi kita.
Oleh sebab itu, langkah yang ditempuh Presiden Habibie dulu adalah membebaskan tahanan politik. Langkah ini, akan membuat rating demokrasi kita meningkat. Ini salah satu tolok ukur demokrasi. Kalau sedikit-sedikit ditangkap, sedikit-dikit ditahan, orang-orang kayak RG, FZ dan FH ini bukan orang-orang bodoh yang tidak punya koneksi di dunia internasional.
'Membiarkan' mereka berbicara adalah demi kepentingan kita bersama juga. Artinya, agar demokrasi di Indonesa itu hidup. Kita jangan kayak Orde Baru dulu yang asal main tangkap. Apalagi Petrus (Pembunuh Misterius). Ini bisa memperburuk reputasi Indonesia di mata dunia internasional.
Harus diakui, keberadaan RG, FZ dan FH merupakan Penyeimbang Kehidupan Demokrasi di Indonesia. Pemerintah kita butuh mereka. Mereka semacam oposisi yang 'mengawasi' kinerja Pemerintah. Bagaimanapun juga, negeri ini milik mereka juga. Sepanjang tidak anarkis, why not? Â
Â
Malang, 8 September 2020
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H