Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Jika Pemerintah "Gebyah Uyah" Kebijakan Corona, Jurang Resesi akan Menganga

18 Agustus 2020   08:14 Diperbarui: 19 Agustus 2020   08:18 1795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ancaman resesi ekonomi Indonesia. (Sumber: monitor.co.id)

Catatan Pemerintah

Pidato Presiden RI dalam rangka penyampaian RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2021 Disertai Nota Keuangan dan Dokumen Pendukungnya, disebutkan bahwa dunia termasuk Indonesia, telah mengalami resesi dengan pertumbuhan ekonomi nasional minus 5,32 persen di kuartal kedua. AS juga mengalami minus 9,5 persen, China 6,8 persen, dan Singapura minus 12 persen.

Kompas.com (5/8/2020) melansir sebagaimana yang dikatakan oleh Menteri Keuangan dalam konferensi virtual, Sri Mulyani menambahkan, secara teknis, Indonesia belum masuk fase resesi. "Biasanya dalam melihat resesi itu, dilihat year on year untuk dua kuartal berturut-turut,"

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto juga mengatakan, kontraksi ekonomi RI tidak jatuh, dibandingkan dengan beberapa negara lain di dunia. Misalnya di sektor transportasi udara domestik yang meningkat 791,38 persen, penjualan ritel naik jadi 14,4 persen, baliknya permintaan ekspor non-migas, serta emiten yang menunjukkan laba positif. Ditambah lagi nilai tukar Rupiah yang terkendali, di bawah Rp 15.000.

Menurut Kompas.com (12/8/2020) lalu, Airlangga juga menyebutkan bahwa perbaikan indikator perekonomian meliputi peningkatan Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur yang telah mencapai level 46,9 serta Indeks Keyakinan Konsumsi (IKK) yang mengalami peningkatan dari 77 menjadi 83,8.

Solusi Airlangga di antaranya, kita harus mendorong belanja pemerintah ataupun spending masyarakat, diberikan rasa nyaman dan aman agar bisa berjalan lancar. Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 695,2 triliun untuk biaya penanganan Covid-19 termasuk pemulihan ekonomi nasional. BUMN Bio Farma juga sedang melakukan uji klinis kandidat vaksin Covid-19 bekerja sama dengan Sinovac dari China.

Beda dengan Resesi Tahun 1998

Ancaman Resesi sebagai dampak Wabah Corona yang sudah mulai terasa di bibir jurang perekonomian kita, tidak lepas dari regulasi yang kita buat sendiri.

Masih ingat awal-awal Pandemi Corona menyerang? Pemerintah lah yang sangat gencar 'melarang' kita keluar, membatasi diri, jaga jarak, periksa semua yang 'diduga', dan kalau perlu 'tutup sementara' aktivitas tanpa ada batas waktu. Tujuan ini sangat bagus karena bertujuan melindungi rakyat dan demi kepentingan rakyat.

Kebijakan ini tanpa terasa, berdampak pada 'matinya' roda perekonomian kita. Rakyat tidak keluar, karyawan tidak masuk kerja, mesin industri tidak jalan, produktivitas bukan hanya rendah, tetapi juga kolaps hingga mati di tempat.

Kejadian kali ini bukan hanya ada di kota sebagaimana yang kita alami tahun 1998 lalu saat krisis ekonomi. Kejadian ini sangat beda. Masyarakat pedesaan dan daerah terpencil ikut terkena imbasnya.

Beda dengan resesi tahun 1998 dulu, di mana yang merasakan resesi 'hanya' di kota-kota. Masyarakat kalangan pedesaan secara relatif 'tidak'. Mengapa? Karena mereka tetap melakukan aktivitas sebagaimana biasa.

Orang-orang desa tetap ke sawah, ladang, berjualan serta melakukan interaksi sosial lainnya sebagaimana biasa. Dengan demikian, meskipun ada Resesi di atas kertas, dalam kenyataan masyarakat ini tidak begitu 'merasakan' dampak resesinya.

Jadi, ancaman resesi akibat Corona kali ini jauh lebih hebat daripada krisis ekonomi tahun 1998. Dampak resesi tahun ini menyerang seluruh sendi-sendi sosial, ekonomi, pendidikan, politik, fisik sekaligus psikologis. Tahun 1998 lalu, meskipun secara psikologis terasa, namun tidak separah tahun ini.

Kebijakan "Gebyah Uyah"

Diterapkannya kebijakan "Gebyah Uyah" atau menyamaratakan, hemat saya menjadi salah satu faktor pendukung terbesar terjadinya resesi. Kita tidak bisa menyamarakatan implementasi kebijakan ini, karena situasi dan kondisi yang 'unik' dari satu lembaga/institusi/perusahaan yang satu dan lainnya beda.

Ancaman resesi ekonomi Indonesia. (Sumber: monitor.co.id)
Ancaman resesi ekonomi Indonesia. (Sumber: monitor.co.id)

Di rumah sakit misalnya, menyamaratakan kebijakan itu justru akan mengancam kematian bisnis layanan kesehatan dan juga mencekik ekonomi rakyat serta asuransi. Bayangkan, misalnya, orang yang hanya sakit Flu harus dicek semuanya (Rontgen, darah, Rapid Test). 

Test ini sangat mahal untuk ukuran rakyat kecil. Juga pemborosan. Demikian juga demam. Padahal, pederita gusi bengkak, infeksi kulit (abses kecil di jari), bisa menyebabkan demam. Namun semua diperiksa karena takut ancaman Corona. Pembatasan pasien 50% pada layanan di RS juga terkesan tidak efektif serta bukan win-win solutions.

Di sektor bisnis industri gjuga demikian. Hanya karena ada satu karyawan yang 'diduga', sekali lagi masih 'diduga', seluruh perusahaan seolah harus turut merasakan. Mereka takut dan perusahaan akhirnya ditutup sementara. Semua karyawan harus diperiksa karena kebijakan 'tracing' setidaknya 40 orang yang pernah 'close contact' dengan yang 'diduga'.

Inilah contoh 'Gebyah Uyah' (menyamaratakan) kebijakan. Dalam skala besar, ancaman terpuruknya ekonomi ini membuat Indonesia akan sangat menderita hanya dalam hitungan satu kwartal.

Berikan Batasan

Seharusnya, ada batasan yang jelas namun fleksibel. Memang, pencegahan itu lebih baik daripada pengobatan. Masyarakat juga tahu, bahwa nyawa jauh lebih berharga daripada uang. Uang bisa diselamatkan. Nyawa, bisa beli di mana? Hanya saja kita perlu sadari, ekonomi itu juga penting demi kelangsungan hidup orang banyak.

Batasannya adalah, kalau di RS,  Key Performance Indicators (KPIs) nya harus disepakati dulu. Karyawan yang bertugas di front terdepan harus terlatih dan menguasai KPI ini. Misalnya, jika ada 60% dari 7 gejala yang ada, perlu diperiksa lebih detail. Kemudian 90% jika terdeteksi, baru disarankan opname. Bukannya masih 10% kemudian harus diperiksa seluruhnya, 40% harus opname. Ini terkesan diktator.

Saat ini, karena saran RS yang terkesan 'menakutkan' masyarakat, akibatnya mereka yang meskipun sakit, tidak pergi berobat ke RS. Kata Pak Didik, tetangga saya yang kerja sebagai Teknisi Gigi, instalasi Gigi di tempatnya bekerja hanya menerima tidak lebih dari 50% dari kunjugan pasien normal. Minimnya pasien membuat sebagian besar karyawan nganggur.

Akibat lainnya bisa diduga. Penerimaan RS menurun, tunjangan fungsional otomatis juga menurun, rakyat tidak medapatkan pelayanan kesehatan maksimal dan bukan tidak mungkin, akibat penyakit yang tidak terobati ini berimbas pada angka kesakitan makin tinggi serta angka kematian meningkat.

Demikian pula di sektor industri. Hendaknya jangan asal tutup atau berhenti berproduski sama sekali, hanya karena satu-dua orang yang sakit. Masyarakat tidak mendapatkan informasi yang jelas tentang siapa sebetulnya yang bisa terjangkit Corona dan meninggal dengan cepat. Peran media juga sangat besar dalam menyebarkan isu yang tidak sehat.

Kalaupun ada yang meninggal karena Corona, itu sebuah kenyataan yang tidak bisa ditolak. Sebagaimana orang juga bisa meninggal karena Tifus, Diare, Difteri atau Penyakit Jantung. Namun harus diakui, tidak semua penderita yang sama meninggal dunia kan? Ini juga harus diberitakan. Jangan hanya yang sakit dan meninggal saja.

Jadi, ada baiknya prinsip pencegahan tetap berlaku. Namun bisnis juga tetap harus berjalan. Inilah cara menyelamatkan perekonomian.

Jangan lupa tetap berikan aturan Protokol Kesehatan yang ketat. Penting sekali di setiap perusahaan yang jumlah karyawannya lebih dari 100 itu ada minimal satu orang perawat. Regulasi ini banyak yang tidak dipatuhi oleh pemilik perusahaan. 

Kasus kesakitan ataupun kecelakaan kerja serta monitoring kesehatan karyawan tidak berjalan sebagaimana yang kita kehendaki karena perusahaan tidak patuh terhadap aturan keselamatan dan kesehatan kerja.

Cegah Resesi dari Bawah

Kita sebetulnya kita bisa kendalikan resesi sejak dini. Pemerintah yang buat regulasi, Pemerintah juga yang diharapkan berikan solusi. Bukannya bikin regulasi, tetapi rakyat disuruh mencari solusinya.

Biarkan sekolah tetap jalan, aktivitas belajar tetap, dengan menerapkan protocol kesehatan. Tidak perlu ada dibatasi 50% yang penting terakomodasi. Kalau hanya 50%, itu namanya kebijakan kaku. 

Pembatasan yang kaku mengakibatkan banyak orang atau karyawan nganggur. Kecuali karyawan yang masuk juga 50%. Guru, petugas kesehatan, buruh pabrik dan lain-lain mestinya bisa tetap aktif berproduksi.

Menko Perekonomian mendorong masyarakat untuk spending, tetapi pabrik ditutup. Ini ironi. Bagaimana mereka akan dapat duit hasil penghasilan jika nganggur? Karena otomatis gajinya tidak diterima penuh. 

Karyawan RS swasta atau klinik juga tidak mendapatkan penghasilan maksimal jika jumlah pasien menurun, kecuali yang hanya periksa Rapid Test.

Masukan Komprehensif

Dalam pengambilan kebijakan sebaiknya Pemerintah mendengar masukan langsung dari level bawah, bukan hanya para ahli yang kerjanya hanya di kantor. Suara kalangan bawah di daerah, sebagai pelaku utama di lapangan itu sangat penting.

Dari pengalaman sehari-hari selama 4-5 bulan terakhir, pelaku di lapangan bisa memberi masukan kepada Pemerintah. Apakah sebagai pemilik usaha, pekerja maupun masyarakat. Kritik dan saran dari semua pihak perlu didengar.

Jika tidak ingin ancaman resesi menjadi kenyataan, jangan mengambil kebijakan sepihak. Libatkan orang-orang lapangan.

Kalau perlu, sesekali biar mereka yang bersuara di depan bapak-ibu anggota dewan, di Gedung DPR sana. Namanya Dewan Perwakilan Rakyat, itu artinya tempat orang-orang yang mewakili. 

Sepanjang ada pihak pertama, orang yang asli ada, biarkan mereka sendiri yang bicara langsung, tidak perlu diwakili. Begitu barangkali filosofinya.

Dengan demikian Pak Presiden, Menteri Keuangan, Menko Perekonomian, Ketua MPR/DPR beserta semua jajarannya, bisa mendengar langsung, apakah ancaman resesi ini riil, fiktif atau hanya ilusi.

Malang, 18 August 2020
Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun