EGP di Tempat Kerja
EGP di tempat kerja ini sangat berbahaya. Risikonya besar terhadap individu, dampak terhadap profesi, serta lembaga secara umum. Saya pernah mengetahui langsung kejadian ini di tempat kerja.
Di rumah sakit (RS) misalnya. Ada satu jenis pekerjaan yang jika bukan perawat si Fulan yang mengerjakan, tidak ada orang lain yang peduli. Contoh kecilnya, membuat garis-garis di buku laporan harian, mengatur rak obat-obatan, menyusun daftar dinas, merapikan alat-alat yang digunakan mengukur tanda-tanda vital dan sebagainya.
Akibatnya, karena yang lain merasa bahwa sudah ada 'petugas' yang menangani, yang lain merasa tidak terlibat. Inilah yang ke depan melahirkan budaya yang disebut EGP.
Masalah sepele ini bisa merambat ke persoalan yang sebetulnya 'pribadi' tetapi karena ada unsur EGP, kita tidak mau ikut membantunya. Misalnya, kesalah-pahaman antara kita sebagai Salesman dengan Customer (Pelanggan).Â
Mestinya, kita bisa jadi penengah guna membantu menjenihkan masalah untuk dicari penyelesaiannya (win-win solutions). Tetapi karena adanya EGP, yang terjadi malah parah.
Kita seringkali berfikir, itu bukan masalah saya. Jadi, mengapa saya harus ikut campur? Ikut campur beda dengan EGP. Ikut campur itu adalah mengurusi masalah pribadi seseorang terlalu dalam yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan umum. Sedangkan EGP itu masalah seseorang yang ada kaitannya dengan kepentingan orang lain, organisasi atau kepentingan public. Â Â
Dampak Secara Nasional
Politik, ekonomi dan tatanan social budaya bisa rusak karena EGP ini. Kepedulian kita rendah. Ada politisi korupsi dibiarkan. Penimbunan sampah dibiarkan. Tidak memilih pemimpin yang amanah dianggap biasa. Semuanya yang penting jalan. Yang penting ada pimpinan. Ini contoh mental yang perlu dikoreksi.
Dalam tatanan kehidupan sosial, banyak terjadi di masyarakat. Anak-anak remaja yang nakal kita biarkan tanpa ada teguran karena merasa bukan anak kita. Perempuan yang berpakaian sembarangan kita biarkan karena itu hak asasi mereka. Padahal, tidak sesuai dengan budaya dan adat ketimuran.
Belum lagi masalah kedisiplinan lainnya, di sekolah, tempat kerja serta secara umum di masyarakat. Bahkan di tingkat arisan, pertemuan RW hingga pertemuan keluarga. Jam karet dianggap biasa. Tidak datang tepat waktu itu hanya kebiasaan. Emangnya Gue Pikirin?