Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penyakit Sosial Itu Berdiagnosa "Emangnya Gue Pikirin?"

10 Agustus 2020   18:47 Diperbarui: 10 Agustus 2020   19:02 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konflik di tempat kerja terjadi biasanya karena adanya dua hal: pembagian kerja yang tidak jelas dan perlakuan yang tidak adil.
Orang bisa mengetahui jenis dan kuantitas pekerjaan karena adanya job description (Jobdes, pembagian kerja). Dengan Jobdes yang jelas orang bisa mengetahui dan memahami tugas dan tanggungjawabnya di tempat kerja. 

Sebaliknya, konflik terjadi karena tidak jelas dengan tugas dan tanggungjawabnya.

Saya amati seringkali ini terjadi, di mana hanya karena persoalan sepele, antar karyawan bermusuhan. Hanya karena masalah yang sederhana, karyawan tengkar, tidak saling sapa hingga mengundurkan diri.

Demikian pula tentang perlakuan tidak adil. Betapapun misalnya, pembagian kerja sudah jelas. Namun karena merasa diperlakukan beda (tidak adil), terjadilah hal-hal yang tidak kita inginkan. Akibatnya terjadi seperti yang saya sebut diatas: pertengkaran, cekcok, konflik fisik, perkelahian, saling bully, iri, dengki, hingga permusuhan yang berkepanjangan.

Oleh karena dua permasalahan di atas, tidak sedikit akhirnya yang memilih satu dari dua jalan, yakni: biarlah saya mengalah atau Emangnya Gue Pikirin (EGP).

Lewat artikel ini, kita hanya akan bahas EGP.

Budaya EGP 

EGP bisa terjadi bukan hanya di tempat kerja. Bisa juga di rumah, di sekolah, di tempat-tempat umum atau demi kepentingan umum.

Kapan itu ada petugas dari KPU yang keliling mengedarkan formulir pendaftaran pemilihan untuk Pilkada di lingkungan kami, yang akan dilaksanakan bulan Desember 2020 mendatang. Saat saya bertanya kepada seseorang yang saya kenal apakah dia akan memilih, dijawabnya dengan ringan,: "Tidak ikut milih juga gak masalah. Paling-paling tidak akan mengubah keadaan. Apalagi bagi orang seperti saya."

Ini merupakan salah satu contoh kurangnya peduli kita terhadap kepentingan umum. Bukan tanpa sebab mengapa ini terjadi. Tidak pedulinya orang-orang seperti ini bisa saja karena kekecewaan, ketidak-puasaan terhadap keadaan, janji politik yang tidak ditepati, kepala daerah yang korupsi dan lain-lain.

Contoh lain yang marak adalah orang yang membuang sampah di tempat umum, atau buang sampah seenaknya dari dalam mobil, dilempar sampah plastic lewat jendela. Semua kejadian ini kita biarkan. Ada sampah di jalan, paku tergeletak di gang, juga tidak kita pedulikan. Semua ini adalah bentuk konkrit EGP yang terjadi di masyarakat.

EGP di Tempat Kerja

EGP di tempat kerja ini sangat berbahaya. Risikonya besar terhadap individu, dampak terhadap profesi, serta lembaga secara umum. Saya pernah mengetahui langsung kejadian ini di tempat kerja.

Di rumah sakit (RS) misalnya. Ada satu jenis pekerjaan yang jika bukan perawat si Fulan yang mengerjakan, tidak ada orang lain yang peduli. Contoh kecilnya, membuat garis-garis di buku laporan harian, mengatur rak obat-obatan, menyusun daftar dinas, merapikan alat-alat yang digunakan mengukur tanda-tanda vital dan sebagainya.

Akibatnya, karena yang lain merasa bahwa sudah ada 'petugas' yang menangani, yang lain merasa tidak terlibat. Inilah yang ke depan melahirkan budaya yang disebut EGP.

Masalah sepele ini bisa merambat ke persoalan yang sebetulnya 'pribadi' tetapi karena ada unsur EGP, kita tidak mau ikut membantunya. Misalnya, kesalah-pahaman antara kita sebagai Salesman dengan Customer (Pelanggan). 

Mestinya, kita bisa jadi penengah guna membantu menjenihkan masalah untuk dicari penyelesaiannya (win-win solutions). Tetapi karena adanya EGP, yang terjadi malah parah.

Kita seringkali berfikir, itu bukan masalah saya. Jadi, mengapa saya harus ikut campur? Ikut campur beda dengan EGP. Ikut campur itu adalah mengurusi masalah pribadi seseorang terlalu dalam yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan umum. Sedangkan EGP itu masalah seseorang yang ada kaitannya dengan kepentingan orang lain, organisasi atau kepentingan public.    

Dampak Secara Nasional

Politik, ekonomi dan tatanan social budaya bisa rusak karena EGP ini. Kepedulian kita rendah. Ada politisi korupsi dibiarkan. Penimbunan sampah dibiarkan. Tidak memilih pemimpin yang amanah dianggap biasa. Semuanya yang penting jalan. Yang penting ada pimpinan. Ini contoh mental yang perlu dikoreksi.

Dalam tatanan kehidupan sosial, banyak terjadi di masyarakat. Anak-anak remaja yang nakal kita biarkan tanpa ada teguran karena merasa bukan anak kita. Perempuan yang berpakaian sembarangan kita biarkan karena itu hak asasi mereka. Padahal, tidak sesuai dengan budaya dan adat ketimuran.

Belum lagi masalah kedisiplinan lainnya, di sekolah, tempat kerja serta secara umum di masyarakat. Bahkan di tingkat arisan, pertemuan RW hingga pertemuan keluarga. Jam karet dianggap biasa. Tidak datang tepat waktu itu hanya kebiasaan. Emangnya Gue Pikirin?

Inilah yang membuat bangsa ini terperosok.dan susah majunya.

Public Punishment

Kita tidak memiliki budaya seperti yang ada di Korea. Yang disebut Public atau Social Punishment (Hukuman Sosial). Yakni hukuman yang ditujukan kepada orang-orang yang bermental EGP ini.

Seorang teman saya yang pernah mengikuti program ke Korea Selatan pernah merasa sangat malu karena dia tidak membantu orang tua (nenek-nenek) yang sedang menyeberang jalan. Akibatnya, semua mata orang-orang yang ada di sekelilingnya memandang teman saya, seolah 'menghukumnya', bahwa dia telah melakukan sebuah 'kejahatan'.

Budaya ini tidak terjadi di negeri ini. Wanita hamil, orang tua berdiri di bus atau kereta seringkali kita biarkan, sementara kita yang masih muda belia ini, enak-enak duduk tanpa rasa bersalah.

Tanggungjawab

Tanggungjawab adalah panggilan nurani sebagai bagian dari tugas individu, anggota kelompok, profesi atau masyarakat terhadap suatu jenis pekerjaan dengan menempatkan suatu persoalan atau tugas, sebagaimana mestinya atau normanya.

Kalau kita yang membuka, kita pula yang harus menutup. Kalau kita yang mengotori, kita yang harus membersihkan. Kalau kita memulai, kita juga yang harus mengakhiri. Demikian seterusnya.

Jika ini diterapkan dalam skala besar, negara ini akan tertib karena semua orang merasa punya tanggungjawab terhadap apa yang dikerjakan.

Sense of Belonging

Cobalah lihat berapa jumlah gedung-gedung milik Pemerintah, milik rakyat rusak, karena tidak terpelihara. Mengapa ini terjadi, tidak lain, kecuali karena minimnya rasa memiliki, yang tidak lain adalah EGP ini.

Saya pernah melihat sebuah gedung DPRD yang dari luar kelihatan megah. Ketika masuk, di pojok, dekat gudang, toilet, banyak yang sudah rusak parah karena kita tidak peduli. Sampah plastic kecil dibuang di mana-mana, kertas tissue berserakan. Kertas kecil-kecil tercecer. Air keran netes terus tidak ada yang menghentikan.

Emangnya Gue Pikirin?

Inilah yang membuat harta milik rakyat cepat punah, dan dana terkuras sia-sia karena kita tidak adanya rasa ikut memiliki public property ini. Sebetulnya tidak usah jauh-jauh. Di rumah saja, apabila kita tidak punya Sense of Belonging ini, bangunan rumah, harta benda, cepat rusak dan butuh dana besar untuk perbaikan. Padahal, sense of belonging itu sangat mudah dan murah sekali.  

Solusi

Biasakan dari yang kecil. Mulailah dari yang sederhana, seperti meletakkan kunci pada tempatnya hingga buang sampah tidak sembarangan. Tanamkan rasa ikut memiliki, bukan asal pakai kemudian buang hanya karena kita mampu membeli. Biasakan ikut serta terlibat dalam memelihara. 

Ingatkan jika ada saudara, teman bahkan orang lain jika melalukan kesalahan. Bisa jadi dia lupa atau belum tahu. Jangan merokok di sembarang tempat. Mulai dari keluarga, sekolah, kantor dan tempat-tempat umum.
Keluarga, masyarakat, negara dan dunia ini milik kita bersama. 

Mari kita menjadi Pewaris yang bijak, bertanggungjawab dan punya rasa memiliki yang tinggi. Mari kita berikan Ahli Waris sesuatu yang terbaik. Bukan kerusakan atau bencana, akibat penyakit sosial yang bernama: EGP.
 
Malang, 10 August 2020
Ridha Afzal  
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun