Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

75 Tahun Merdeka, Kapan Masa Emas Perawat Indonesia?

22 Juli 2020   16:17 Diperbarui: 22 Juli 2020   16:48 1128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sudah mengunjungi 11 provinsi di Indonesia. Melihat dari dekat bagaimana ruang gerak, hiruk pikuk profesi kami, keperawatan ini hidup dan menghidupi profesi. Dari yang miskin hingga yang kaya, semua ada.

Rata-rata kolega kami masih dalam taraf 'prihatin'. Saya definisikan sebagai profesi yang prihatin, karena untuk rekreasi saja, mayoritas untuk bayar ongkosnya saja, teman-teman masih mikir-mikir. Padahal, wisata lokal, bukan internasional.

Itu belum terhitung beli buku, mengikuti seminar, workshop dan konverensi internasional. Bagi sebagain besar perawat kita zaman kini, masih tergolong berat. Padahal, pendidikan mereka sarjana tiga minimal.

Why is this happening?  
 
Tidak ada tujuan ideal sebuah pendidikan kecuali perolehan kesempatan kerja. Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 menyebutkan, tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mendapatkan kesejahteraan umum. Untuk apa cerdas jika rakyat melarat?

Apapun bentuk dan latar belakang jurusan studinya, pasti bertujuan agar dapat kerja dengan imbalan layak. Tidak ada pendidikan yang memimpikan imbalan kerjanya hanya ikhlas. Betapapun pendidikan keagamaan, yang diajarkan adalah sejahteran dunia dan akhirat. Tidak hanya bagaimana agar mendapatkan imbalan surga. Imbalan inilah yang sempurna. sebagai tujuan akhir sebuah pendidikan profesional, tidak terkecuali keperawatan.

Persoalannya, makin lama umur pendidikan keperawatan ini, dirasa makin sulit diraih kesejahteraan profesionalnya. Tujuh puluh lima tahun usia negeri ini sepertiya belum cukup untuk menyejahterakan perawatnya. Ibaratnya, makin tua, ternyata makin sulit mencarian kerja.

Artikel bebas ini mencoba mengidentifikasi era mana yang terbaik dari sejak 1950 hingga 2020.  

Empat Masa Keperawatan

Di Idonesia, saya perhatikan terdapat empat masa atau periode keperawatan. Penggolongan periode ini bisa saja subyektif. Namun itulah yang perhatikan berdasarkan hasil pengamatan (observational study) dari pergantian dari masa ke masa keperawatan di Indonesia. Sejak era pendidikan Penjenang Kesehatan, Pengatur Rawat (SPR), SPK, Akper, dan Sarjana keperawatan di Indonesia.

Tolok ukurnya adalah: biaya pendidikan, kurikulum, jenjang pendidikan, perolehan kesempatan kerja, gaji,  pengembangan karir serta regulasi.

Era Pertama

Saya sempat bertemu para senior angkatan tahun 70-an. Mereka lulusan SPR sebelum beralih ke SPK. Jebolan SPR yang diterima dari lulusan SMP ini orientasi pendidikannya ke clinical skills, hospital oriented.

Selama pendidikan tidak perlu biaya, di sekolah negeri gratis, bahkan dapat uang saku. Perolehan kerja sangat mudah. Kecuali dari swasta yang jumlahnya sangat sedikit, boleh dibilang 100% lulusan SPR negeri, ditampung menjadi PNS. Pangkat dan golongan setingkat lulusan SMA, Golongan IIA.

Beberapa jeloban SPR ada yang mengikuti program kerja ke luar negeri, di tahun akhir 80-an dan awal 90-an. Sesudah itu tidak nampak lagi. Mereka saat ini rata-rata sudah sangat senior, banyak yang sudah pension. Tidak sedikit yang melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi, menempati posisi pimpinan di lembaga, baik itu di layanan maupun pendidikan.

Era Kedua

Sesudah SPR, lahirlah Sekolah Perawat Kesehatan (SPK). Dimulai pada tahun 1978. SPK ini waktu itu disebut-sebut sebagai pembaharu sistem pendidikan keperawatan. 

Orientasi kurikulumnya berfokus pada community healthcare. Pendidikan SPK ini belajar kerumah sakitan, Puskesmas, Kesehatan Masyarakat serta keperawatan maternitas. Laki-laki maupun perempuan diwajibkan bisa menolong persalinan.

Pada masa ini, 1980-1990, tidak ada pendidikan Bidan (SPB), kecuali program Diploma 1 Kebidanan yang dibuka sekitar tahun 1985. Di era SPK, ada kewajiban menolong persalinan minimal. 

Laki maupun perempuan dinas di Unit Kebidanan dan Penyakit Kandungan. Praktik kesehatan masyarakat menduduki proporsi yang cukup besar. Setiap pekan target praktik kerja di masyarakat sesudah 3 bulan pendidikan, hingga semester 6, selama 4 jam.

Mata kuliahnya mencapai 40-an, lebih bersifat individual. Ada pengotakan antara keperawatan, kedokteran, kesehatan masyarakat serta mata kuliah kesehatan lainnya. Sama seperti SPR, dosen-dosen di SPK terbagi rata dari profesi keperawatan, kedokteran, farmasi, gizi, hingga kesehatan lingkungan.

Era 1980-2000 ini era jayanya sekolah keperawatan. Perolehan kesempatan kerja sangat mudah. Tidak sedikit kampus negeri dan swasta yang 100% lulusannya jadi PNS, bahkan sudah mengisi formulir kepegawaian sebelum lulus. Regulasi dirasakan tidak berbelit. Pendidikan SPK di era ini bertahan selama 20 tahun, sampai tahun 2000. Sayangnya, program ini perlahan ditutup, karena terjadi pergeseran dari SPK ke Akper
.

Pada akhir tahun 1980-an hingga 1990-an pertengahan, terjadi kampanye besar-besaran pemberangkatan kerja perawat di luar negeri. Pesertanya sebagian besar lulusan Akper, tetapi ada juga yang dari SPR dan SPK. Regulasi pemerintah waktu itu masih lunak. Belum ada Surat Tanda Registrasi (STR). Apalagi Ukom (Uji Kompetensi). 

Saat itu minat perawat bekerja di luar negeri sangat besar. Pemerintah malah menyediakan fasilitas cuti di luar tanggungan negara bagi yang berstatus sebagai PNS. Beberapa teman-teman saya yang kerja di LN berpenghasilan ganda. Karena selama kerja di LN, gajinya masih ngalir sebagai PNS.

Munculnya pendidikan Sarjana Keperawatan (S1) di Universitas Indonesia di pertengahan 1980-an dirasa sebagai angin segar bagi profesi ini. Dua puluh tahun berikutnya mulai menyebar ke seantero Nusantara. Pada saat itu mulai muncul sejumlah gejolak. Yakni, mulai ditutupnya jenjang pendidikan keperawatan SPK, menjamurnya pendidikan tingkat akademik, persaingan mulai ketat, regulasi profesi serta birokrasi.

Era Ketiga

Sesudah kemunculan Akper yang secara perlahan distribusinya menyebar ke seluruh Tanah Air mulai tahun 1982, kurikulum pendidikan keperawatan berubah total. Sesudah era 2000, pendidikan keperawatan mulai dirasakan mahal. Sekaligus ini sebagai gejala baru meningkatnya pendidikan keperawatan. Sampai dengan 20 tahun berikutnya Akper menjadi primadona. Banyak diminati dan diikuti perolehan kesempatan kerja yang cukup lapang. Lulusan SPR dan SPK mulai terdorong untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi ini.

Era tahun 2000 tingga 2010 mulai terasa berkurangnya jumlah perawat Indonesia yang bekerja di luar negeri. Bahkan mereka yang sudah bekerja balik ke Tanah Air. Ada yang kembali ke instansi, ada yang melanjutkan kuliahnya lagi karena tuntutan zaman.

Pada tahun ini kesempatan kerja ke luar negeri cukup banyak namun peminatnya berangsur menurun. Peluang kerja ke Eropa terbuka luas. Program ke Belanda waktu itu yang santer diminati, tapi jumlahnya tidak menggembirakan. Pemberangkatan perawat ke Jepang juga digulirkan sekitar tahun 2006-2008.

Tahun 2011 dan seterusnya, gelombang sertifikasi dan akreditasi mulai marak. Issue pendidikan profesi, STR, Nursing Council, serta undang-undang keperawatan makin santer dibicarakan. Pada masa ini persaingan dunia kerja keperawatan makin ketat. Di luar negeri pun, dalam hal ini Timur Tengah di mana perawat Indonesia sebagian bekerja, mulai ada perubahan aturan. Muncul verifikasi ijazah, pengetatan Licensing, serta sertifikasi lainnya.

Era Keempat

Era ini berlangsung mulai tahun 2010-2015. Sistem akreditasi dan sertifikasi dunia keperawatan marak didiskusikan sebagai standard profesi. Seleksi makin ketat di satu sisi, di sisi lain kampus swasta makin banyak dan lengang seleksinya. Program ke luar negeri makin jarang dan juga makin ketat karena muncul Prometric Test. Belum lagi yang ke USA, Australia.

Biaya pendidikan keperawatan makin mahal. Issue kualitas banyak diangkat. Jumlah perawat makin banyak namun tidak diimbangi tersedianya peluang kerja yang optimal. Issue terkait korupsi, nepotisme dan kolusi di mana-mana. Meski di era 80-an ada, tetapi tidak sesanter era pasca 2010 ini.
 
Ironisnya, perbaikan kualitas profesi era ini seiring dengan kesulitanya. Era ini adalah era paling sulit bagi lulusan pendidikan keperawatan. Persaingan kerja yang berat, kampus muncul di mana-mana seperti jamur di musim hujan yang tidak terkendali, regulasi juga ketat, lulusan pendidikan keperawatan tidak gampang lagi mencari kerja kecuali mengantongi STR. Baik di dalam maupun bila ingin kerja di luar negeri. Tahun 2014 lahir Undang-Undang Keperawatan.

Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh lulusan keperawatan yang semula tidak terdengar di era sebelum tahun 2000, mulai muncul tanda-tanda digemari. Ide-ide kreatif perawat jadi tidak terbendung. Seperti entrepreneur, hipnosis, perawat luka, akupuntur, etestika, K3, herbal, dsb. Tidak kurang dari 60 jenis spesialisasi keperawatan yang ada di USA. Profesi keperawatan di Indonesia ikut terpengaruh. 

Keperawatan dipandang sangat unik dan menjanjikan walaupun penuh tantangan. Seminar dan workshop ada di mana-mana. Topik yang laris dibicarakan adalah STR, MEA, area praktik, regulasi dan kiprah perawat era global.

Era Kelima

Sesudah tahun 2015, kita mulai masuk era baru. Di era ini jenjang pendidikan doctoral mulai menyebar. Banyak perawat pintar yang berhasil mengantisipasi perubahan era-era keperawatan ini. Lahir doktor dan profesor keperawatan. Tidak sedikit perawat yang bingung bagaimana harus menyikapinya. Perawat banyak yang tergerak menyelami pendidikan non-keperawatan, seperti pendidikan umum, hokum, computer, akupuntur, obat-obat tradisional, dll.

Di era ini perawat semakin 'berani' mengambil sikap guna menentukan nasibnya. Ribuan pula yang 'keluar dari profesi', ganti profesi lain. Jadi perawat dirasakan cukup berbelit prosedurnya. Prosedur perolehan STR paling banyak dijadikan alasan susahnya mencari kerja pada era pasca UU Keperawatan ini.  Ini kita rasakan hingga kini masih ada.

Kesimpulan

Mungkin sangat subyektik. Namun kalau ditanya Masa Emas Keperawatan Indonesia adalah di zaman SPK, tahun 1980-1990-an. Meski pendidikan rendah, lulusannya menikmati semua area praktis (perawatan Bedah, Dalam, Anak, Jiwa, Obstetri dan community health nursing). Sekolah gratis, hanya berbekal ijazah SMP, gampang mencari kerja, jadi PNS tidak rebutan, akses ke luar negeri gampang, hingga melanjutkan karir pun nyaris tanpa halangan.

Kapan kita meraih zaman keemasan lagi? Akan bergantung kepada pemegang kebijakan negeri ini dan perjuangan orang-orang pintar dalam profesi di masa yang akan datang.

Malang,  22 July 2020
Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun