Saat itu minat perawat bekerja di luar negeri sangat besar. Pemerintah malah menyediakan fasilitas cuti di luar tanggungan negara bagi yang berstatus sebagai PNS. Beberapa teman-teman saya yang kerja di LN berpenghasilan ganda. Karena selama kerja di LN, gajinya masih ngalir sebagai PNS.
Munculnya pendidikan Sarjana Keperawatan (S1) di Universitas Indonesia di pertengahan 1980-an dirasa sebagai angin segar bagi profesi ini. Dua puluh tahun berikutnya mulai menyebar ke seantero Nusantara. Pada saat itu mulai muncul sejumlah gejolak. Yakni, mulai ditutupnya jenjang pendidikan keperawatan SPK, menjamurnya pendidikan tingkat akademik, persaingan mulai ketat, regulasi profesi serta birokrasi.
Era Ketiga
Sesudah kemunculan Akper yang secara perlahan distribusinya menyebar ke seluruh Tanah Air mulai tahun 1982, kurikulum pendidikan keperawatan berubah total. Sesudah era 2000, pendidikan keperawatan mulai dirasakan mahal. Sekaligus ini sebagai gejala baru meningkatnya pendidikan keperawatan. Sampai dengan 20 tahun berikutnya Akper menjadi primadona. Banyak diminati dan diikuti perolehan kesempatan kerja yang cukup lapang. Lulusan SPR dan SPK mulai terdorong untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi ini.
Era tahun 2000 tingga 2010 mulai terasa berkurangnya jumlah perawat Indonesia yang bekerja di luar negeri. Bahkan mereka yang sudah bekerja balik ke Tanah Air. Ada yang kembali ke instansi, ada yang melanjutkan kuliahnya lagi karena tuntutan zaman.
Pada tahun ini kesempatan kerja ke luar negeri cukup banyak namun peminatnya berangsur menurun. Peluang kerja ke Eropa terbuka luas. Program ke Belanda waktu itu yang santer diminati, tapi jumlahnya tidak menggembirakan. Pemberangkatan perawat ke Jepang juga digulirkan sekitar tahun 2006-2008.
Tahun 2011 dan seterusnya, gelombang sertifikasi dan akreditasi mulai marak. Issue pendidikan profesi, STR, Nursing Council, serta undang-undang keperawatan makin santer dibicarakan. Pada masa ini persaingan dunia kerja keperawatan makin ketat. Di luar negeri pun, dalam hal ini Timur Tengah di mana perawat Indonesia sebagian bekerja, mulai ada perubahan aturan. Muncul verifikasi ijazah, pengetatan Licensing, serta sertifikasi lainnya.
Era Keempat
Era ini berlangsung mulai tahun 2010-2015. Sistem akreditasi dan sertifikasi dunia keperawatan marak didiskusikan sebagai standard profesi. Seleksi makin ketat di satu sisi, di sisi lain kampus swasta makin banyak dan lengang seleksinya. Program ke luar negeri makin jarang dan juga makin ketat karena muncul Prometric Test. Belum lagi yang ke USA, Australia.
Biaya pendidikan keperawatan makin mahal. Issue kualitas banyak diangkat. Jumlah perawat makin banyak namun tidak diimbangi tersedianya peluang kerja yang optimal. Issue terkait korupsi, nepotisme dan kolusi di mana-mana. Meski di era 80-an ada, tetapi tidak sesanter era pasca 2010 ini.
Â
Ironisnya, perbaikan kualitas profesi era ini seiring dengan kesulitanya. Era ini adalah era paling sulit bagi lulusan pendidikan keperawatan. Persaingan kerja yang berat, kampus muncul di mana-mana seperti jamur di musim hujan yang tidak terkendali, regulasi juga ketat, lulusan pendidikan keperawatan tidak gampang lagi mencari kerja kecuali mengantongi STR. Baik di dalam maupun bila ingin kerja di luar negeri. Tahun 2014 lahir Undang-Undang Keperawatan.
Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh lulusan keperawatan yang semula tidak terdengar di era sebelum tahun 2000, mulai muncul tanda-tanda digemari. Ide-ide kreatif perawat jadi tidak terbendung. Seperti entrepreneur, hipnosis, perawat luka, akupuntur, etestika, K3, herbal, dsb. Tidak kurang dari 60 jenis spesialisasi keperawatan yang ada di USA. Profesi keperawatan di Indonesia ikut terpengaruh.Â