Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Profesi Serba Bisa itu Bernama "Perawat"

28 Juni 2020   19:45 Diperbarui: 28 Juni 2020   19:46 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini saya sedih membaca sebuah berita di CNN Indonesia. 'Polisi tengah memeriksa tiga orang saksi terkait penganiayaan terhadap perawat yang bertugas mengurus jenazah pasien Covid-19 yang terinfeksi Virus Corona. 

Jomina Orno, perawat yang dianiaya, yang mengurus jasad pasien Covid-19 yang meninggal di RSUD Haussy, Ambon, Maluku, membuat laporan polisi terkait tidakan penganiayaan pada Jumat (26/6) sekitar pukul 13.00 WIT.'

Jomina Orno diduga dianiaya tiga orang anggota keluarga pasien yang meninggal (Hasan), setelah menolak permintaan keluarga. Keluarga meminta agar Hasan dimakamkan tanpa protocol kesehatan di taman pemakaman khusus khusus Corona di desa Hunut, Teluk Ambon, Maluku.  

Keluarga menyatakan Hasan meninggal bukan akibat Covid-19, sehingga mereka bersikeras jenazahnya harus dibawa pulang ke rumah duka. Namun, RS tetap mengubur Hasan dengan menggunakan protok kesehatan.

Pada hari Jumat (26/6) sore, Hasan pasien yang meninggal tersebut dinyatakan positif terinfeksi Corona, meninggal dunia di RSUD.

Kasus di atas menunjukkan contoh system yang perlu dibenahi dalam penanganan pasien yang meninggal. Seharusnya ada alur yang jelas bagaimana keluarga bisa mendapatkan penjelasan terkait penyebab kematian, siapa yang menjelaskan, kapan, di mana, serta bagaimana menjelaskannya. 

Termasuk penggunaan dokumen-dokumen yang harus ditanda-tangani atau diketahui oleh baik pihak keluarga ataupun rumah sakit. Agar tidak terkesan, semuanya dilakukan perawat.

Kasus di atas merupakan bukti tidak beresnya system, di mana seorang petugas kesehatan (dalam hal ini kebetulan perawat) yang jadi kurban. Jika ada system yang jelas, akan bisa dihindari kasus seperti ini, jika sistemnya bagus. Sayangnya, dalam banyak kasus, perawat, sebagai pasukan kesehatan di garda terdepan harus memikul risiko ini.
 
Kita punya contoh lainnya. Pada tanggal 10 April 2020, jenazah perawat ditolak (Perawat RSUD Kariadi Semarang) di pemakaman umum Sewakul Ungaran (Merdeka.com). Perawat di Semarang ini tida sendirian. Masih ada beberapa kasus di mana perawat meninggal ditolak oleh warga pemakamannya. 

Belum lagi nasib Perawat hamil yang meninggal di Surabaya, karena Covid-19 (Tribunnews.com) (24/6). Masih banyak lagi kisah pilu perawat yang tidak mendapatkan perlakukan proporsional dan tidak mendapatkan keadilan.

Sekali lagi, kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Sistem kita lah yang sebenarnya yang menjadi penyebab semua ini mengapa bisa terjadi.

Padahal, tahukah Anda, di tengah kondisi di mana kesejahteraan yang belum berpihak kepada perawat ini, perawat merupakan tulang punggung tatanan layanan kesehatan yang beban pekerjaanya paling berat?

Di berbagai tempat pusat layanan kesehatan, kalaupun tidak ada siapa-siapa, biasanya yang ada hanyalah perawat. 

Pusat layanan kesehatan yang paling parah pun karena minimnya tenaga dan tidak ada dana untuk membayar karyawan atau petugas kesehatan lain, biasanya hanya perawat lah yang bersedia bekerja.  

Perawat yang menerima pasien di pintu depan, meregistrasi, memeriksa, memberi obat (khususnya jika tidak ada dokter), kemudian yang merawat, memberi makan, menghubungi keluarga (jika pasien tidak ada yang menemani), memenuhi kebutuhan personal hygiene, mengobservasi sehari penuh, memberi injeksi, infus, kateter, sonde, membersihkan luka, membersihkan alat, mencatat perkembangan, hingga melaporkan kondisi pasien. 

Demikian seterusnya sampai pasien pulang. Belum lagi urusan administrasi bangsal, alat kantor, perlengkapan medis, ngecek obat, urusan alat tenun, dan sebagainya.

Lebih dari 600 lembaga pendidikan keperawatan yang ada di Indonesia. Rata-rata perawat yang dihasilkan per tahun lebih dari 42.000. Ketidak-mampuan Pemerintah mengangkat mereka menjadi PNS menjadikan kita di atas kertas kekurangan perawat. Kita belum mampu membayar mereka yang akibatnya kualitas layanan  menurun.

Jangankan di luar Jawa, di Sampang Madura saja, Dinas Kesehatan mengaku kekurangan perawat (Radar Madura.Jawa Pos 16 Jan.2020). Seja lima tahun lalu, Puskesmas Kintamani kelabakan (Tribun Bali, Oktober 2019), Puskesmas Cirebon masih kekurangan tenaga kesehatan (Fajarsatu.com, 16 Mei, 2020). Demikian contoh kekurangan tenaga perawat di tengah menumpuknya lulusan mereka. Peribahasanya, ayam mati ditengah lumbung padi.

Jadi, sebenarnya kita bukannya kekurangan tenaga perawat. Tetapi manajemen negara yang belum maksimal dalam memberdayakan. Selain, negara belum punya dana cukup untuk membayar gaji mereka secara layak.

Akibatnya seperti ini. Rasio perawat-pasien yang tidak seimbang menyebabkan perawat banyak melakukan tugas-tugas yang non-keperawatan. Semua pekerjaan di rumah sakit banyak yang dirangkap oleh perawat. Cleaner tidak ada, perawat yang bersih-bersih. Petugas administrasi absen, perawat yang nggantikan pegang kertas dan computer. 

Dokter tidak datang, cukup telepon, perawat yang ngerjakan pengobatan. Apoteker tidak ada, perawat yang ngatur obat dan cairan. Ahli gizi tidak datang, perawat yang ngatur menu. Fisioterapi absen, perawat yang melatih. Petugas Rontgen minim, perawat ditempatkan di XRay. Hingga Satpam, teknisi, serta urusan TV atau teknisi listrik, eh....perawat diminta pasien untuk ganti lampu yang mati.

Inilah contoh tidak becusnya organisasi dengan pemilikan job deskripsi pegawai yang jelas. Ketidakseimbangan ini menyebabkan perawat banyak yang tidak puas dengan pekerjaannya. 

Di USA, menurut Medscape Nurse Career Satisfaction Report (2019),  dari 10.690 orang perawat (Registered Nurses), yang merasa sedikit puas dengan pekerjaanya mencapai 23% karena uang, kurang puas karena perolehan respek dari kolega 15%, yang kurang puas karena beban kerja 24%. Sangat sedikit yang merasa kurang puas karena penghargaan dari pasien (5%). Sedangkan yang tertinggi ketidak-puasannya, karena beban administrasi (29%).      

Memang, sebagaimana dalam profesi lain, ada saja perawat-perawat yang'nakal', ndablek dan lain-lain. Namun jangan lupa bahwa dengan system Registrasi yang ada saat ini akan dapat mengurangi angka 'kenakalan' perawat. 

Perawat yang 'nakal', menyalahi kode etik,  bertindak di luar batas profesi, melakukan tidakan 'kriminal' bisa diancam ditarik izin praktiknya, tidak mendapatkan surat tanda registrasi hingga dikeluarkan dari profesi.

Malang, 28 June 2020
Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun