Yang lain mengenakan Jeans bermerek USA, sepatu Jerman dan kacamata Itali, Winarto cukup puas dengan sandal murah buatan India. Pakaian pun lebih suka yang buatan Indonesia, yang dia bisa titip beli jika ada teman yang cuti pulang ke Indonesia. Winarto tidak berubah. Kecuali usia dan sedikit berat badannya.
Alhamdulillah dia sudah punya rumah. Sesudah menikah beberapa bulan usai kepulangannya di Indonesia, dia meraba-raba, ingin melakukan bisnis apa. Ijazah perawat yang dikantonginya ternyata tidak 'laku' di Indonesia. Kini teman-temannya seangkatan, semuanya meneruskan jenjang pendidikannya.Â
Mereka sudah bertitel, sementara Winarto tetap dengan ilmunya yang dulu. Dengan ijazah yang ada, ia tidak mungkin pula kerja di rumah sakit atau Puskesmas. Mau melanjutkan lagi katanya sudah merasa letih, lelah dan 'tua'.
Terlebih, pengalaman kerja di luar negeri tidak banyak dihargai di negeri ini. Apalagi dengan ijazahnya yang zaman bahola. Winarto 'sedih'. Tidak tahu harus berbuat apa kecuali melakukan rencana sebagaimana yang dia pikirkan saat kerja dan tinggal di negeri orang.
Beberapa bulan di Tanah Air, tabungan makin lama makin tipis dan tentu saja berkurang. Winarto memang tipe orang yang tidak pernah menjaga ketat yang namanya gengsi. Dia pun mencoba mendirikan kandang ayam. Membeli sejumlah ayam potong juga petelor, kemudian berternak. Pelan-pelan dia pelajari bagaimana menjadi Sarjana Peternakan dadakan.
Kali ini, dia sangat rajin bangun pagi. Padahal dulu di luar negeri tidak pernah sedemikian dispilin kecuali berangkat ke rumah sakit. Kalau tidak tepat waktu bisa ketinggalan bus. Dia bersihkan kandang ayam, memberi pakan, belanja keperluan ternak, hingga bertanya sana-sini tentang kiat bagaimana memelihara ayam potong juga petelor.
Dua tiga bulan berlalu, belum kelihatan hasilnya. Winarto orangnya sabar. Mungkin memang belum rejekinya, dia tidak menyerah untuk menunggunya. Sesudah setahun berternak ayam potong dan ayam telor ini dia merasa, bahwa mungkin ini bukan bidangnya. Keuntungan tidak kunjung dirasakannya. Bahkan rugi.Â
Bisnis ayamnya jatuh ketika ditimpa penyakit. Lebih dari separuh ayamnya ludes, mati entah karena penyakit apa. Winarto yang perawat, memang tahu penyakit orang. Namun tidak tahu bagaimana jika harus mengobati ayam. Usahanya terancam gulung tikar. Â
Sekali lagi, bukan disebut Winarto jika orangnya gampang menyerah. Dia mencoba untuk memulai bisnis lainnya sesudah menutup bisnis ayamnya ini. Kemudian melirik bisnis burung. Burung Love Birds, Parkit, yang lagi booming. Apa salahnya mencoba. Sesudah ditutup kandang-kandangnya, dia dekati orang-orang yang memelihara burung, untuk mengkaji ilmu barunya. Meski tidak ada minat di tahap awal, Winarto merasa perlu untuk belajar hal yang baru. Burung, siapa tahu kali ini rejeki berpihak padanya.
Dia pun rajin belajar bagaimana memelihara burung anakan yang sedang mahal harganya ini. Dia yang semula tidak suka membaca, kini sedikit-demi sedikit membuka referensi tentang bagaimana memelihara burung. Winarto kini jadi peternak burung kecil-kecilan. Pikirnya, ini lebih simple dan tidak seribet ternak ayam. Ayam, kotorannya sangat mengganggu tetangga. Burung tidak demikian. Bahkan banyak orang senang warna juga suaranya.
Apa daya, ternyata sesudah satu tahun mencoba bertahan, Winarto tidak merasa mendapat keuntungan yang berarti. Modal yang dia kumpulkan dari jerih payah kerja di Timur Tengah dulu, kini hanya tinggal cerita. Sudah tidak ada lagi sisa kecuali sebidang tanah. Bisnis burungnya juga tidak jalan. Kalaupun untung, tidak seberapa. Winarto berencana segera menutupnya. Harga burung anjlok, harga makanannya tetap. Winarto merasa tidak mampu lagi jika harus seperti ini terus dalam jangka waktu setahun ke depan.