Perawat, berangkat ke luar negeri pada awal tahun 1990-an. Tujuannya ke Timur Tengah. Seperti halnya latar belakang rekan-rekannya kerja di negeri orang, ia ingin mengubah nasibnya. Mayoritas perawat yang bekerja di luar negeri karena tingat sosial ekonominya di negeri sendiri masih rendah. Kerja di luar negeri banyak orang dianggap mampu menjanjikan perubahan hidup. Terbanglah dia dengan sejuta impiannya.
Winarto, seorang lulusan SekolahHari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan berganti tahun. Tak terasa, sudah hampir sepuluh tahun di negeri orang. Winarto, anak pertama dari empat bersaudara, sangat ketat degan kedisiplinan dalam pengeluaran finansialnya. Dia nyaris tidak pernah ke luar sekedar jalan-jalan. Kerja di luar negeri hanya dihabiskan untuk pulang pergi dari apartemen ke rumah sakit tempat kerja, kemudian masak, makan dan tidur. Paling banter perginya ke supermarket atau masjid untuk Salat Jumat.
Melihat aktivitas Winarto, orang lain merasa jenuh, "Koq betah?" Tidak demikian bagi Win. Meski tidak ke mana-mana, dia enjoy saja. Namun karena hidup tidak sendirian, Winarto jadi banyak bahan perbincangan. Semua orang sebenarnya mengerti maksud Winarto ingin hidup hemat di negeri orang.Â
Tidak pernah ke luar, tidak pernah membayar iuran perkumpulan atau organisasi, tidak pernah bayar taksi, itu barangkali karena hemat pengeluaran. Namun bagaimana bisa melakoninya di negeri seberang? Demikian pemikiran mereka yang tidak mampu memahami apa maksud Winarto.
Setiap bulan, 90% penghasilannya dikirim ke Indonesia. Sisanya yang 10% utuk makan dia, seadanya. Winarto dikenal tidak makan menu masakan yang aneh-aneh. Katanya dia harus banyak membantu orangtua, bayar biaya sekolah dan makan adik-adik, serta ditabung.
Berhasil.
Winarto berhasil membangun, merenovasi rumah milik orangtua. Dia juga membeli sebidang tanah. Adik-adik juga bisa lancar kuliahnya. Dia bangga, meski harus bersusah payah di negeri orang dengan menjadi imigran pingitan.
Bayangkan. Selama nyaris satu decade, sepuluh tahun di negeri orang, Winarto tidak pernah, jangankan ikut pelatihan yang berbayar, membeli buku saja ogah. Kalaupun harus membeli barang-barang untuk kepentingan pribadinya, dia akan milih yang paling murah.Â
Dia tidak peduli dengan apa yang dikatakan orang lain. Prinsip hemat baginya adalah harga mati. Toh, pikirnya, orang lain tidak akan peduli dengan nasibnya. Dia lah yang paling bertanggugjawab dengan dirinya sendiri. Sementara teman-temannya sudah berganti 'wajah dan penampilan', Winarto tetap 'ndeso' tidak apa-apa baginya.
Hidup di negeri orang, sama dengan kehidupannya semula. Yang beda hanya tempat dan bahasa. Orang bilang Winarto tidak pernah enjoy dengan penghasilannya. Tetapi Winarto tetap bersih kukuh dengan prinsip dan cara pandangnya. Bahwa hidup harus kerja giat, hemat dan punya tabungan untuk masa depan.
Sesudah sepuluh tahun di luar negeri, Winarto putuskan untuk pulang. Nikah dengan adik seorang temannya. Tugasnya sebagai seorang anak tertua sudah dikerjakan. Tanggungjawab sebagai kakak terhadap adik-adiknya sudah pula dilaksanakan. Winarto adalah pahlawan bagi keluarganya.
Membawa hanya beberapa pakaian yang bagi rekan-rekannya sudah usang dari negeri orang balik ke kampungnya, tidak masalah. Dia tidak pernah belanja camera atau elektronik lainnya. Apalagi yang besar-besar seperti TV dan sound system. Tidak seperti teman-temannya sesama Indonesia. Gaya hidup mereka sudah beda. Ibaratnya, semuanya memakai pemutih wajah kayak orang Korea. Winarto cukup puas dengan istilahnya 'Bedak Jawa'.
Yang lain mengenakan Jeans bermerek USA, sepatu Jerman dan kacamata Itali, Winarto cukup puas dengan sandal murah buatan India. Pakaian pun lebih suka yang buatan Indonesia, yang dia bisa titip beli jika ada teman yang cuti pulang ke Indonesia. Winarto tidak berubah. Kecuali usia dan sedikit berat badannya.
Alhamdulillah dia sudah punya rumah. Sesudah menikah beberapa bulan usai kepulangannya di Indonesia, dia meraba-raba, ingin melakukan bisnis apa. Ijazah perawat yang dikantonginya ternyata tidak 'laku' di Indonesia. Kini teman-temannya seangkatan, semuanya meneruskan jenjang pendidikannya.Â
Mereka sudah bertitel, sementara Winarto tetap dengan ilmunya yang dulu. Dengan ijazah yang ada, ia tidak mungkin pula kerja di rumah sakit atau Puskesmas. Mau melanjutkan lagi katanya sudah merasa letih, lelah dan 'tua'.
Terlebih, pengalaman kerja di luar negeri tidak banyak dihargai di negeri ini. Apalagi dengan ijazahnya yang zaman bahola. Winarto 'sedih'. Tidak tahu harus berbuat apa kecuali melakukan rencana sebagaimana yang dia pikirkan saat kerja dan tinggal di negeri orang.
Beberapa bulan di Tanah Air, tabungan makin lama makin tipis dan tentu saja berkurang. Winarto memang tipe orang yang tidak pernah menjaga ketat yang namanya gengsi. Dia pun mencoba mendirikan kandang ayam. Membeli sejumlah ayam potong juga petelor, kemudian berternak. Pelan-pelan dia pelajari bagaimana menjadi Sarjana Peternakan dadakan.
Kali ini, dia sangat rajin bangun pagi. Padahal dulu di luar negeri tidak pernah sedemikian dispilin kecuali berangkat ke rumah sakit. Kalau tidak tepat waktu bisa ketinggalan bus. Dia bersihkan kandang ayam, memberi pakan, belanja keperluan ternak, hingga bertanya sana-sini tentang kiat bagaimana memelihara ayam potong juga petelor.
Dua tiga bulan berlalu, belum kelihatan hasilnya. Winarto orangnya sabar. Mungkin memang belum rejekinya, dia tidak menyerah untuk menunggunya. Sesudah setahun berternak ayam potong dan ayam telor ini dia merasa, bahwa mungkin ini bukan bidangnya. Keuntungan tidak kunjung dirasakannya. Bahkan rugi.Â
Bisnis ayamnya jatuh ketika ditimpa penyakit. Lebih dari separuh ayamnya ludes, mati entah karena penyakit apa. Winarto yang perawat, memang tahu penyakit orang. Namun tidak tahu bagaimana jika harus mengobati ayam. Usahanya terancam gulung tikar. Â
Sekali lagi, bukan disebut Winarto jika orangnya gampang menyerah. Dia mencoba untuk memulai bisnis lainnya sesudah menutup bisnis ayamnya ini. Kemudian melirik bisnis burung. Burung Love Birds, Parkit, yang lagi booming. Apa salahnya mencoba. Sesudah ditutup kandang-kandangnya, dia dekati orang-orang yang memelihara burung, untuk mengkaji ilmu barunya. Meski tidak ada minat di tahap awal, Winarto merasa perlu untuk belajar hal yang baru. Burung, siapa tahu kali ini rejeki berpihak padanya.
Dia pun rajin belajar bagaimana memelihara burung anakan yang sedang mahal harganya ini. Dia yang semula tidak suka membaca, kini sedikit-demi sedikit membuka referensi tentang bagaimana memelihara burung. Winarto kini jadi peternak burung kecil-kecilan. Pikirnya, ini lebih simple dan tidak seribet ternak ayam. Ayam, kotorannya sangat mengganggu tetangga. Burung tidak demikian. Bahkan banyak orang senang warna juga suaranya.
Apa daya, ternyata sesudah satu tahun mencoba bertahan, Winarto tidak merasa mendapat keuntungan yang berarti. Modal yang dia kumpulkan dari jerih payah kerja di Timur Tengah dulu, kini hanya tinggal cerita. Sudah tidak ada lagi sisa kecuali sebidang tanah. Bisnis burungnya juga tidak jalan. Kalaupun untung, tidak seberapa. Winarto berencana segera menutupnya. Harga burung anjlok, harga makanannya tetap. Winarto merasa tidak mampu lagi jika harus seperti ini terus dalam jangka waktu setahun ke depan.
Tiga tahun sesudah balik ke kampungnya, dia tinggal di provinsi sebelah, sedaerah dengan istrinya. Orang mengenalnya sebagai sosok yang pernah kerja di luar negeri. Meski mereka tahu bahwa Winarto seorang perawat, mereka tidak tahu alasan Win tidak kerja sebagai perawat di Indonesia. Win merasa alih profesi ini ternyata tidak gampang.
Kali ini Winarto jualan kain, baju, celana dan pakaian anak-anak. Dia rela keliling dari satu desa ke desa lainnya untuk menjajakan pakaiannya. Hebatnya, Winarto tidak pernah 'malu' melakukannya. Bagi dia yang penting halal. Apapun dilakukan. Dia dengan sabar melakoni bisnis yang jarang atau mungkin tidak pernah dikerjakan oleh perawat eks luar negeri.
Untungnya, Winarto orangnya sedikit introvert. Menarik diri. Jadi tidak banyak punya jaringan yang membuat dirinya dikenal. Sayangnya dia tidak tahu. Bahkan satu dua teman yang dia kadang kontak, punya ratusan sahabat dan group media social. Kabar tentang Win meski tidak disebar kayak terbakarnya Bendera PDIP di Jakarta, teman-teman tidak sedikit yang merasa iba kepadanya. "Mengapa dulu dia keburu pulang?" Demikian pendapat teman-temannya yang masih betah di negeri orang.
Winarto merasa keliling kampung dan desa seperti yang dilakonyinya tidak mungkin bertahan lama. Orang-orang yang membeli kain dan aneka pakaian banyak yang lebih suka kredit daripada cash membayarnya. Winarto yang suka senyum, sejak saat itu berubah. Kalaupun senyum, lebih banyak terpaksa. Dia tidak mungkin menagih cicilan dengan senyuman.
Tidak ada jalan lain. Dengan sangat terpaksa, karena merasa hanya ini jalan keluar yang terbaik, Winarto akhirnya balik lagi ke Timur Tengah di negara yang berbeda. Usahanya untuk alih profesi dirasa menuai musibah. Walaupun dia belajar banyak kehidupan dari apa yang telah dilakoninya, dia sadar, bahwa tidak mudah menjalani bisnis dengan tanpa ilmu pegetahuan serta pengalaman.
Hingga kini, Winarto masih tinggal dan bekerja di sana. Kalau pun pulang, hanya untuk cuti dan sedikit liburan. Winarto tidak ingin mengulang kisah 'tragis' yang pernah menimpanya.Â
Alih profesi itu memang harus dibayar sangat mahal. Bukan saja dengan Rupiah, namun juga tenaga, pikiran serta menyita umur manusia. Win tidak ingin ini terjadi pada teman-temannya.
Malang, 27 June 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H