Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Homecare dan Ancamannya dalam Praktik Mandiri Keperawatan di Era Corona

4 Juni 2020   20:10 Diperbarui: 4 Juni 2020   20:55 1371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan keperawatan selalu mengklaim sebagai satu sistem pendidikan yang lulusannya siap pakai. Pernyataan ini oleh sementara pihak dibantah karena kenyataannya, di mana-mana tumbuh lembaga pelatihan tambahan, misalnya BTCLS, K3, Hemodialisa, Kamar Operasi, hingga pelatihan Bahasa. 

Pelatihan ekstra ini masih ditambah lagi dengan persyaratan mengikuti Uji Kompetensi (Ukom), plus perolehan Surat Tanda Registrasi (STR). Tiga persyaratan ini banyak diminta sebelum mereka kerja. Sekaligus sebagai bukti bahwa perawat, sesudah wisuda, ternyata tidak begitu saja bisa disebut siap pakai.

Fresh graduate nurses secara umum memiliki keterampilan dasar (basic skills), di mana mereka bisa memanfaatkannya untuk jenis pekerjaan layanan keperawatan tertentu yang di Indonesia masih terbuka lebar, misalnya Homecare. 

Meskipun banyak yayasan yang lebih menyukai kepemilikan STR, tidak sedikit perawat yang tanpa STR pun masih bisa mereka terima bergantung pada kasusnya. Biasanya kasus-kasusnya ringan serta tidak membutuhkan tindakan invasive seperti penyuntikan, pemasangan sonde dan kateterisasi sebagaimana di RS.

Menurut data Kemenkes, jumlah rumah sakit di Indonesia hingga April 2018, sebanyak 2820 buah, meliputi 1572 milik publik, dan 1248 milik swasta. Distribusinya, untuk kategori Kelas A, terbanyak di Jawa (DKI, Jabar, Jateng, DIY, Jatim dan Banten). 

RS Kelas A ini yang menjadi target lapangan praktik klinik mahasiswa keperawatan. Jumlah RS ini tidak serta merta mampu menampung mahasiswa yang membutuhkan sebagai lahan praktik. Dengan demikian, mahasiswa keperawatan kita dirasa masih mengalami kekurangan lahan praktik selama kuliah.

Di sisi lain, kebutuhan masyarakat terhadap layanan keperawatan tidak pernah sepi. Masyarakat butuh RS, klinik, Puskesmas dan Balai Kesehatan. Di samping terdapat pula kelompok masyarakat yang lebih memilih dirawat di rumah (Homecare). Tanpa memperhatikan bagaimana kualitas lulusan keperawatan ini. 

Bagi yang butuh Homecare, yang berarti perawatan di rumah, bagi sementara orang lebih murah, praktis, meringankan pasien dan keluarga, tidak ribet. Kecuali bagi mereka yang banyak memerlukan tindakan kedokteran atau keperawatan. Akan tetapi tidak sedikit keluarga pasien (khususnya orang kaya), yang memilih membeli alat-alat sendiri, yang bahkandi rumah pun bisa tampak seperti ruang ICU RS.

Praktik keperawatan Homecare ini bagi perawat Indonesia maraknya belum lama sebenarnya. Kurang lebih 10 tahun terakhir ini populer. Bisnis Homecare dirasakan menguntungkan banyak pihak termasuk bagi perawat. 

Meskipun demikian, tidak semua perawat menyukai praktik Homecare karena beberapa alasan. Misalnya keterampilan terbatas, pasien hanya satu, jam kerja panjang bisa membosankan dan tidak semua keluarga pasien bisa diajak bekerjasama dengan baik. 

Makanya, tidak sedikit perawat yang menolak Homecare ini, karena mereka merasa kurang nyaman. Akan tetapi tidak sedikit pula yang sangat menikmati bahkan bisa puluhan tahun betah dengan praktik homecare.  

Tiga bulan terakhir ini, praktik Homecare terhitung sepi. Penyebabnya, pertama masyarakat sudah kenyang dengan informasi tentang upaya pencegahan Covid-19, yakni jaga jarak, hindari kontak dengan orang lain (close contact). Masyarakat pada memilih untuk merawat atau dirawat sendiri. Kecuali yang dari awal sudah dalam perawatan Homecare. Tetapi untuk kasus-kasus baru, nyaris sepi. Padahal, di media sosial biasanya selalu ada peluang atau permintaan terhadap perawat. Ini terjadi hampir setiap hari, baik di Facebook, Instagram atau WhatsApp.

Sepinya permintaan terhadap layanan Homacare ini bisa juga berasal dari dua belah pihak. Baik perawat maupun pasien sama-sama ingin menjaga jarak. Penyebab kedua, mereka tidak ingin 'ketemu' dengan orang yang tidak dikenal kecuali dengan sistem 'pengamanan' yang jelas. Misalnya surat bebas Corona, yang diserai dengan hasil laboratorium negative. Hal ini tentu saja jarang terjadi.

Dampak dari Covid-19 ini sangat besar terhadap bisnis mandiri praktik keperawatan. Bukan hanya praktik mandiri keperawatan, namun juga praktik mandiri profesi kesehatan lainnya. Dari sisi ekonomi, ini berat bagi perawat. Khususnya perawat pemula yang tidak memiliki aktivitas lain kecuali berharap income dari praktik Homecare.  Untuk itu, ke depan ini perlu di antisipasi.

Penyebab ketiga, ada asumsi bahwa kerja di Homecare dianggap lebih tepat hanya untuk perawat yang kualitas keterampilannya lebih rendah dari pada perawat yang bekerja di RS. Walaupun secara praktik ada benarnya, karena prosedur Homecare sangat terbatas.

Namun asumsi ini perlu diluruskan. Tidak sedikit perawat terampil 'pensiunan' RS, yang pada akhirnya memiliki praktik Homecare karena personal reasons. 

Secara umum harus diakui bahwa praktik mandiri Homecare memang tidak sesibuk kerja di RS. Oleh sebab itu wajar jika masyarakat menilai kerja di Homecare beban kerjanya lebih ringan serta tidak butuh perawat yang terampil-terampil amat di dalamnya.

Bagaimanapun, dari sudut pandang professional, upaya menjaga kualitas profesi harus tetap dikedepankan. Kepemilikan STR merupakan salah satu langkah awal yang perlu mendapatkan apresiasi. Hanya saja, kelemahan sistem perolehan STR ini penekanan masih terbatas pada aspek 'Cognitive' atau ilmu pengetahun, bukan keterampilan. 

Maka dari itu, guna mendongkrak kualitas keterampilan perawat agar makin terjaga kualitas performa profesinya, harus ada upaya maksimal sejak di bangku kuliah. Sehingga istilah 'siap pakai' dapat dipertanggungjawabkan bukan hanya sebatas di atas kertas.
 
Sejauh ini, jumlah kampus yang ada, menurut BNP2PMI sebanyak 863 institusi. Walaupun ada kampus yang memiliki rumah sakit sendiri, namun rata-rata kampus, baik negeri maupun swasta, butuh praktik di RS Type A milik Pemerintah. Dengan demikian, jika 1572 rumah sakit dijadikan lahan praktik bagi 863 institusi pendidikan keperawatan, masing-masing kampus hanya kebagian 1.8 rumah sakit. 

Kampus juga menggunakan rumah sakit swasta yang secara internal umumnya kampus swasta yang memilikinya. Itu artinya, kampus keperawatan sebenarnya masih kekurangan lahan praktik. Kekurangan lahan praktik ini akan berimbas pada kualitas keterampilan lulusannya.

Beberapa penyebab beragamnya kualitas keterampilan lulusan pendidikan keperawata kita di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, kekurangan lahan praktik berakibat tidak berstandardnya kualitas keterampilan. Satu dan lain institusi beda. Misalnya, untuk program pendidikan D3, ada yang 9 bulan, ada yang 12 bulan total praktik lapangannya. Untuk S1 Ners, ada yang 10 bulan ada yang lebih (karena saat Skep juga terjun ke rumah sakit). 

Kedua, tidak adanya sistem mentoring yang intensif oleh pembimbing saat praktik. Rata-rata kampus menyerahkan Clinical Instructor (CI) RS untuk membimbing mahasiswanya. Sementara, tidak semua CI ini memiliki kompetensi sesuai harapan kampus. Tidak semua lahan praktik menerapkan Bedside Teaching. Ini berpengaruh besar terhadap keseriusan mahasiswa dalam praktik. 

Ketiga, rendahnya rasio mahasiswa dengan pasien. Di beberapa rumah sakit, karena terlalu banyak mahasiswa yang praktik, rasionya sangat rendah. Bahkan ada satu pasien yang jadi rebutan 10 mahasiswa. 

Keempat, penyusunan dokumen Asuhan Keperawatan yang 'bertele-tele' membuat mahasiswa akhirnya lebih banyak yang fokus kepada tugas menulis dari pada tugas 'bekerja' supaya terampil.

Kelima, tidak semua pasien saat ini bersedia untuk dijadikan sebagai sasaran praktik. Keenam, faktor internal dari mahasiswa sendiri. Setiap individu memiliki motivasi berbeda. Ada yang serius ingin memperoleh keterampilan, tetapi tidak sedikit yang penting 'hadir'.

Namun demikian, jangan lupa, bahwa UU Keperawatan pasal 19 (ayat 1) menyebutkan, bahwa guna menjalankan praktik keperawatan, harus memiliki izin (STR). Pasal 29 ayat (1) tertulis: Dalam menyelenggarakan praktik keperawatan, perawat bertugas sebagai:|a. Pemberi asuhan keperawatan, b. Penyuluh dan konselor bagi klien, c. Pengelola pelayanan keperawatan, d. Peneliti pelayanan keperawatan, e. Pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang; dan/atau, f. Pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu.

Jadi pada intinya, dengan mengantongi STR, perawat bisa bekerja, di RS atau praktik mandiri Homecare. Pilihan jenis pekerjaan perawat sebenarnya saat ini makin luas, karena area kerjanya bisa di berbagai lini, termasuk industri pula.

Intinya, apakah pada masa Corona atau tidak, sebenarnya permintaan pasar terhadap kebutuhan perawat tidak pernah surut. Masalahnya, guna menggeser persepsi terhadap kualitas keterampilan perawat yang dianggap rendah dalam menangani kasus di masyarakat dalam kemasan Homecare, harus diubah. Inilah tantangan besarnya. Lembaga pendidikan, pemerintah, organisasi profesi, masyarakat dan mahasiswa kampus keperawatan memiliki tanggungjawab bersama dalam mempromosikan kualitas profesi keperawatan. 

Masyarakat perlu disadarkan bahwa pengolahan pendidikan keperawatan saat ini beda dengan 20-30 tahun silam. Regulasi juga beda. Melalui promosi kualitas pendidikan ini diharapkan masyarakat makin terbuka. Bila ini terjadi, peluang bisnis keperawatan dalam bentuk Praktik Mandiri Homecare semakin terbuka. Otomatis angka pengangguran perawat bisa dikurangi sekaligus dihindari.  

Malang, 24 November 2018
Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun