"Semuanya tidak pernah sangka, bahwa saya dinyatakan positif Covid-19. Saya seorang perawat senior di Papua. Kegiatan saya sehari-hari cukup padat. Di kampus, organisasi, pemerintahan, adat dan masyarakat umum. Seminggu 7 hari, dari pagi hingga malam. Banyak orang yang harus saya temui.Â
"Dari keluarga sendiri, anak-anak, cucu, mahasiswa, teman-teman dosen, pejabat, masyarakat umum, orang-orang adat, hingga pedagang pasar dan penjual ikan. Semua saya temui. Belum lagi jika harus ke luar kota. Sedikitnya 3-4 kali saya terbang dari Jayapura ke Jakarta. Jadi, ribuan orang yang sudah saya temui."
Seminggu lalu, saya lakukan test ulang di sebuah laboratorium swasta di Papua. Semua ini saya lakukan atas desakan anak-anak kami yang sudah dewasa.Â
Puji Tuhan, anak-anak sudah mapan dan sebagai professional di tiga profesi kesehatan yang berbeda. Ada yang dokter, farmasi dan perawat. Andai itu sebuah perangkat untuk 'perang', saya punya senjata yang lengkap. Dari semua sudut, saya mendapat dukungan.
Maklumlah, di Papua, kami sudah terbiasa dengan Malaria. Saya sendiri sudah berkali-kali mengalaminya. Sejak dari awal, ketika masih muda, saya biasa naik-turun lembah, tinggal di pengunungan dan daerah pedalaman di Papua. Di pedalaman tidak ada Malaria, tapi di pantai. Namun hidup di pedalaman itu sulit.Â
Beberapa kali itu pula saya diserang penyakit yang paling ditakuti banyak pendatang, yakni Malaria yang dikenal cukup ganas. Saya sebenarnya sangat alergi dengan Nyamuk Malaria ini. 'Beruntungnya' saya seorang perawat, sedikitnya saya tahu apa yang harus saya lakukan jika ada gejala-gela seperti ini. Saya sangat bersyukur Tuhan memberikan kekuatan kepada saya dengan menekuni profesi ini.
Yang namanya 'derita', kami sudah terbiasa. Jadi, kalau saya mau jujur, sebenarnya Corona itu 'biasa' bagi kami. Saya secara pribadi 'siap' kalaupun suatu saat 'terkena'. Ternyata benar. Saya dinyatakan postif Corona ya ng hari inbelum juga genap sepekan. Saat ini saya sedang menjalani perawatan isolasi di sebuah rumah sakit di Papua.
Saya mencoba mencari tahu, dengan cara mengingat-ingat bagaimana perjalanan penyakit ini bermula sehingga saya terkena. Anda boleh tidak percaya, saya sejak kecil sudah terbiasa dengan didikan Belanda yang ekstra ketat soal kedisiplinan dan kebersihan. Kebiasaan tersebut melekat erat menjadi budaya dalam kehidupan kami, termasuk saya pribadi.Â
Saya juga terbiasa hidup di luar Papua dan keliling dunia. Saat di Eropa beberapa tahun lalu, tidak ada yang aneh bagi saya lantaran masa kecil saya terbiasa hidup dengan orang-orang Belanda di Papua.Â
Rasa percaya diri seperti inilah yang membuat saya yakin bahwa physical, I am strong enough. Dengan prinsip hidup seperti ini, kita bisa dijauhkan dari penyakit. Tapi manusia memang tidak boleh 'sombong'. Kita amat lemah. Mungkin Tuhan sedang memberikan cobaan kepada saya. Saya sedang 'diuji' oleh Nya.
Awal Maret lalu, sebelum bandara di Papua ditutup untuk sementara karena Corona ini, saya ke Jakarta. Dalam perjalanan pulang ke Papua, di dalam pesawat saya tahu ada beberapa orang yang batuk-batuk. Saya terlalu 'positif' memandangnya.Â
Saya tidak pernah curiga. Lagi pula saat itu masih jarang orang yang mengenakan masker. Tidak terkecuali saya. Bisa jadi ini adalah awal infiltrasi virus ke dalam tubuh saya.Â
God knows. Sesampai di Papua, saya memang memiliki banyak aktivitas. Kami ada beberapa meeting. Dalam satu kesempatan meeting, pernah ada juga anggota kami yang 'positif', yang membuat kami semua akhirnya harus diperiksa. Boleh jadi karena meeting ini. Atau saat di pasar? Anyway, waktu itu semua juga negative, lewat Rapid Test. Alhamdulillah, I am OK.
Dalam kegiatan lainnya, kami sekeluarga juga ke pasar, ke pantai, ke danau, toko-toko, mall dan banyak lagi tempat yang saya lupa menyebut satu per satu. Berapa ratus orang  yang sudah berjabat tangan saya tidak hitung.Â
Hingga suatu pagi, saya merasa sulit bangun. Ada yang mengganjal di tenggorokan, suhu naik, sedikit batuk dan tubuh sakit semua. "Ah, barangkali saat ke kampong di dekat Danau Sentani kemarin apa saya sempat digigit nyamuk ya?" Saya mencoba menyalahkan nyamuk Malaria sebagai penyebabnya.Â
Boleh jadi kan? Maka saya konsumsi beberapa obat penghilang gejala. Saya tahu gejala ini tidak hilang dalam waktu tiga empat hari. Bahkan semiggu masih ada. Saya tetap sabar. Namun saya tidak ngantor. Kegiatan ibadah kami juga lakukan di rumah. Kami tidak ke gereja hingga saat ini ibadah di dalam rumah.
Selang seminggu gejala ternyata tidak hilang. Anak saya sarankan untuk periksa Corona. Semula saya menolak. Tapi akhirnya menyerah. Tidak apalah. Untuk jaga-jaga. Swab Test pertama saya lakukan.Â
Kali ini masuk minggu kedua, gejala fisiknya sudah mulai berkurang. Artinya tidak lagi seperti awal, seperti demam sudah menurun, sakit seluruh tubuh tidak lagi. Tinggal batuk-batuk yang menurut saya masih betah di tenggorokan. "Mungkin ini sisa-sisanya?" Demikian saya coba hibur diri sendiri. Test pertama di rumah sakit, gratis. Hasilnya negative. Thanx God!
Anak-anak saya masih belum puas. Saya diminta untuk periksa lagi. Kali ini memasuki pekan kedua. Saya masih sedikit batuk, tidak lagi demam. Badan sedikit lemas, tapi saya masih bisa ngantor meski tidak setiap hari karena instansi kami sudah lockdown.Â
Kami putuskan untuk periksa di laboratorium swasta. Dua hari sesudah itu hasilnya turun. Negative. Saya cukup lega. Tetapi dokter yang memeriksa saya menyarankan test ulang. Ah, ditusuk lagi.
Seminggu sesudah swab pertama, dilakukan swab kedua, di dua tempat. sepekan berikutnya, hasilnya ada. Saya dinyatakan positif. Seorang petugas kesehatan memberitahu saya. Walaupun agak berdebar-debar, saya sempat sampaikan ucapan terima kasih.Â
Dengan demikian kami tahu lebih dini apa yang harus kami kerjakan "Bapa....bapa positif......!" kata petugas tersebut. Saya mencoba menenangkan emosi. Anak-anak semua kami panggil. Kami kumpulkan untuk membicarakan harus bagaimana. Selama dua hari saya tinggal di rumah, isolasi dari. Namun tidak memberikan rasa nyaman karena kuatir terjadi penyebaran. Â
Benar...bahwa di awal terasa sulit untuk menerima kenyataan pahit ini. Namun sebagai orangtua, senior dalam profesi, bapak bagi anak-anak serta kakek bagi cucu-cucu, saya harus tegar menerimanya.Â
Saya merasa 'Fit'. Sungguh, sesudah hampir sebulan, secara fisik kondisi saya jauh lebih baik. Boleh dikata saya tanpa gejala. Orang Tanpa Gejala (OTG). Namun saya sadar, ada virus dalam tubuh saya. Ada yang cukup menyarankan isolasi di rumah. Ada juga yang menyarankan harus di rumah sakit. Dua malam saya sulit tidur memikirkan keluarga.
Pagi harinya, saya mengambil keputusan 'masuk rumah sakit' (MRS). Saya jadi mikir anak-anak dan cucu yang sering main ke rumah, kasihan jika terkontaminasi. Saya pun berangkat ke rumah sakit. Gunda di pada awalnya.Â
Siapa sih yang betah tinggal di RS? Pasti tidak ada. Mata sulit dipejamkan pada malam hari. Suara nyamuk saja yang kadang menemani. Ada sedikit kekuatiran, kondisi akan lebih buruk jika terus di RS.Â
Dokter dan perawat yang ada memberikan saran yang sangat bijak. "Bapak masih sehari di sini. Pastilah tidak akan betah." Benar juga. Saya coba untuk menjauhkan rasa egois ini dengan menyadari situasi yang riil. "Seminggu lagi akan kami test ulang." Hiburnya kepada saya.
Dalam kesendirian, di hening malam, saya bertanya pada diri sendiri,:"Betapa berat beban mereka yang seperti saya kondisinya, namun tidak punya dukungan."
Hari ini thank God saya bisa tertawa lebar. Senyum saya lepas. Ratusan dukungan lewat WA, telepon, datang bergantian hingga sulit bagi saya bagaimana harus membalasnya.Â
Tinggal di RS kayaknya tidak istirahat. Pagi-pagi sekali, sudah disuruh bangun dicek tekanan darah. Sesudah itu, habis mandi, dibangunkan suruh sarapan. Usai sarapan mau istirahat, katanya dokter datang. Sesudah dokter datang, mau tidur lagi, eh...petugas laborat giliran mau ambil darah. Usai itu disuruh perawat untuk berjemur sebentar.Â
Ah, mau tidur lagi kayaknya tidak tepat. Siangnya saya fikir bisa istirahat, ternyata dicek lagi tekanan darah, suhu dan pernafasan. Setelah makan siang, saya fikir enak tidur, ternyata ada pergantian dinas perawat, mereka keliling, "Selamat siang pak.....!" Sapa suster-suster jaganya. Demikian seterusnya sampai malam. Tengah malam pun, ada yang nengok." Pasien Corona mendapatkan perlakuan 'khusus'?
Anyway, saya harus kuat dan optimis untuk bisa sembuh. Terlepas dari pentingnya untuk menjaga kesehatan diri, cuci tangan, gunakan masker, jaga jarak dan hindari banyak kerumunan, dukungan keluarga dan teman-teman sungguh sangat berharga serta memberikan kekuatan yang luar biasa. Demikian juga peran doa.
Petugas kesehatan yang tidak kenal lelah, saya tidak tahu harus berucap apa. Mereka pahlawan di garda terdepan. Saya sudah mengalami sendiri bagaimana rasanya tertimpa Corona. Optimistik, itulah barangkali kunci yang harus dimiliki. Bukan oleh siapa-siapa, tetapi oleh penderta sendiri. I am very sure, by the Grace of God, I will get well soon......"
Seperti yang dikisahkan oleh Dr. Isak JH.Tukayo, MSc., perawat senior Papua.
Jayapura, 31 Mei 2020
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H