Awal Maret lalu, sebelum bandara di Papua ditutup untuk sementara karena Corona ini, saya ke Jakarta. Dalam perjalanan pulang ke Papua, di dalam pesawat saya tahu ada beberapa orang yang batuk-batuk. Saya terlalu 'positif' memandangnya.Â
Saya tidak pernah curiga. Lagi pula saat itu masih jarang orang yang mengenakan masker. Tidak terkecuali saya. Bisa jadi ini adalah awal infiltrasi virus ke dalam tubuh saya.Â
God knows. Sesampai di Papua, saya memang memiliki banyak aktivitas. Kami ada beberapa meeting. Dalam satu kesempatan meeting, pernah ada juga anggota kami yang 'positif', yang membuat kami semua akhirnya harus diperiksa. Boleh jadi karena meeting ini. Atau saat di pasar? Anyway, waktu itu semua juga negative, lewat Rapid Test. Alhamdulillah, I am OK.
Dalam kegiatan lainnya, kami sekeluarga juga ke pasar, ke pantai, ke danau, toko-toko, mall dan banyak lagi tempat yang saya lupa menyebut satu per satu. Berapa ratus orang  yang sudah berjabat tangan saya tidak hitung.Â
Hingga suatu pagi, saya merasa sulit bangun. Ada yang mengganjal di tenggorokan, suhu naik, sedikit batuk dan tubuh sakit semua. "Ah, barangkali saat ke kampong di dekat Danau Sentani kemarin apa saya sempat digigit nyamuk ya?" Saya mencoba menyalahkan nyamuk Malaria sebagai penyebabnya.Â
Boleh jadi kan? Maka saya konsumsi beberapa obat penghilang gejala. Saya tahu gejala ini tidak hilang dalam waktu tiga empat hari. Bahkan semiggu masih ada. Saya tetap sabar. Namun saya tidak ngantor. Kegiatan ibadah kami juga lakukan di rumah. Kami tidak ke gereja hingga saat ini ibadah di dalam rumah.
Selang seminggu gejala ternyata tidak hilang. Anak saya sarankan untuk periksa Corona. Semula saya menolak. Tapi akhirnya menyerah. Tidak apalah. Untuk jaga-jaga. Swab Test pertama saya lakukan.Â
Kali ini masuk minggu kedua, gejala fisiknya sudah mulai berkurang. Artinya tidak lagi seperti awal, seperti demam sudah menurun, sakit seluruh tubuh tidak lagi. Tinggal batuk-batuk yang menurut saya masih betah di tenggorokan. "Mungkin ini sisa-sisanya?" Demikian saya coba hibur diri sendiri. Test pertama di rumah sakit, gratis. Hasilnya negative. Thanx God!
Anak-anak saya masih belum puas. Saya diminta untuk periksa lagi. Kali ini memasuki pekan kedua. Saya masih sedikit batuk, tidak lagi demam. Badan sedikit lemas, tapi saya masih bisa ngantor meski tidak setiap hari karena instansi kami sudah lockdown.Â
Kami putuskan untuk periksa di laboratorium swasta. Dua hari sesudah itu hasilnya turun. Negative. Saya cukup lega. Tetapi dokter yang memeriksa saya menyarankan test ulang. Ah, ditusuk lagi.
Seminggu sesudah swab pertama, dilakukan swab kedua, di dua tempat. sepekan berikutnya, hasilnya ada. Saya dinyatakan positif. Seorang petugas kesehatan memberitahu saya. Walaupun agak berdebar-debar, saya sempat sampaikan ucapan terima kasih.Â