Pada tahun 2014, mulai terdengar lagi adanya pemberangkatan ke Saudi Arabia. Perlahan terus bertambah hingga tahun kemarin, 2019. Tahun lalu juga berita gembira datang lagi bagi calon pekerja migran Indonesia, yaitu Belanda dan Jerman minta perawat dalam jumlah besar. Ini peluang sekaligus tantangan.Â
Sayangnya, kita belum siap dalam banyak hal. Lebih parah lagi, setelah terjadi pandemi Covid-19 ini. Saat perawat kita sedang bersiap diri melalui pelatihan Bahasa Belanda, Jerman dan Jepang, wabah melanda.Â
Bisa dibayangkan bagaimana nasib mereka, baik yang berstatus sebagai calon maupun pekerja migran Indonesia. Mayoritas masih status single, beberapa sudah berkeluarga.
Teman-teman sudah banyak yang pamitan meninggalkan daerahnya, nekat ke Jakarta dengan bekal yang tidak sedikit. Untuk pelatihan Bahasa Jerman saja di Level B1, harus merogoh kocek minimal Rp 25 juta. Itu belum termasuk biaya lainnya.Â
Untuk memenuhi itu ada yang harus utang sana-sini, ada pula yang jual tanah. Ada yang sudah mengikuti tes beberapa kali gagal serta harus mengulang.Â
Dengan adanya kasus Covid-19 ini, kursus terhenti atau terpaksa dihentikan. Tempat ujian di Goethe Institute juga tutup sampai waktu yang belum ditentukan. Teman-teman tidak bisa ambil ujian. Duit mereka dikembalikan karena jadwal ditunda atau di-cancel.
Otomatis ini juga berpengaruh pada rencana mereka. Mau pulang bagaimana, tidak pulang juga bagaimana. Akhirnya ada yang nekat memutuskan pulang dengan segala konsekuensinya.Â
Ada juga yang cari kerja agar bisa bertahan hidup di Jakarta. Beberapa menjadi relawan perawat Covid-19 di Jakarta, entah berapa lama bisa bertahan. Statusnya tidak jelas.
Ini masih terbatas pada kandidat. Belum lagi pada penyelenggara pelatihan dan PPTKIS yang memberangkatkan mereka. Semua kedutaan tutup. Mereka tentu sudah mengeluarkan dana yang tidak sedikit.Â
Dokumen-dokumen jadi expired atau terbengkalai tidak tahu kapan akan diurus lagi. Karyawan mereka nyaris tidak punya aktivitas.Â
Tidak ada jalan terbaik kecuali 'dirumahkan' untuk sementara. Karena mereka tidak bisa promosi, tidak pula ada komunikasi. Sementara, hidup harus jalan terus. Rumah kontrakan harus dibayar, makan minum keluarga, anak-anak sekolah, dan biaya operasional lainnya.