Menurut data BNP2MI, hingga tanggal 2 Maret 2020 lalu, terdapat 126 nama perusahaan penempatan tenaga migran Indonesia (P3MI). Jumlah ini jauh dari yang ada pada zaman Orde Baru yang mencapai ribuan.Â
Zaman Orde Baru dulu harus kita akui, mekanisme pemberangkatan pekerja migran memang banyak yang tidak profesional. Mulai dari pelecehan, kriminalitas, hingga sistem penggajian pekerja migran yang amburadul di negeri seberang. Tentunya upaya Pemerintah lewat BNP2MI ini harus diapresiasi.
Namun juga harus diakui, pemerintah kita belum sanggup menampung seluruh lulusan, termasuk pendidikan kesehatan di negeri ini. Baik sebagai PNS maupun swasta.Â
Oleh sebab itu, sebagian dari tenaga kesehatan kita (mayoritas perawat), memilih untuk bekerja di luar negeri. Hanya saja, karena berbagai kendala yang dihadapi di dalam negeri, sejak awal tahun 1990 hingga saat ini peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kerja kesehatan yang bekerja di luar negeri belum maksimal.Â
Tiga kendala utamanya adalah sistem pendidikan yang belum mendukung, penguasaan bahasa, serta mental. Tiga faktor terbesar ini yang menyebabkan tenaga kerja bidang kesehatan kita belum mampu bersaing dengan negara-negara lain seperti Filipina dan India.
Perawat kita berangkat kerja ke luar negeri pada awal tahun 1990, ke Saudi Arabia sekitar 800 perawat diberangkatkan, disusul ke Kuwait sebanyak 150 orang. Mulanya ke USA namun karena satu dan lain hal, gagal.Â
Waktu itu diberangkatkan oleh PT Putera Pertiwi. Pemberangkatan berikutnya pada sekitar tahun 1996, ke UAE, juga sekitar 150 perawat. Demikian berlangsung terus, dari tahun ke tahun tapi tidak dalam jumlah banyak. Termasuk yang ke Australia dan Belanda.Â
Saat ini negara-negara tujuan pekerja migran Indonesia rata-rata ke Timur Tengah, Jepang, Asia Pasifik, Belanda, dan Jerman (sedang dalam proses). Saya hanya akan fokus ke profesi keperawatan. Beberapa tahun belakangan, yang ke Timur Tengah lebih diminati cewek daripada cowok. Itupun terbatas hanya di Saudi Arabia.Â
Rekrutmen ke Kuwait, Qatar, UAE, nyaris terhenti sejak tahun 2010. Demikian pula yang ke Belanda. Sejak tahun 2008 sudah tidak ada lagi. Beberapa bulan terakhir hanya ada belasan perawat saja yang ikut pelatihan Bahasa Belanda di Jakarta.Â
Ke Jepang barangkali yang lebih menyolok dan konstan, namun rata-rata sebagai Caregiver. Ke negara-negara Barat, nyaris tidak lagi, seperti USA, Kanada, dan Australia. Otomatis jumlah perawat makin numpuk di negeri ini. Produksi makin banyak, tetapi tidak tersalurkan.
Pada tahun 2014, mulai terdengar lagi adanya pemberangkatan ke Saudi Arabia. Perlahan terus bertambah hingga tahun kemarin, 2019. Tahun lalu juga berita gembira datang lagi bagi calon pekerja migran Indonesia, yaitu Belanda dan Jerman minta perawat dalam jumlah besar. Ini peluang sekaligus tantangan.Â
Sayangnya, kita belum siap dalam banyak hal. Lebih parah lagi, setelah terjadi pandemi Covid-19 ini. Saat perawat kita sedang bersiap diri melalui pelatihan Bahasa Belanda, Jerman dan Jepang, wabah melanda.Â
Bisa dibayangkan bagaimana nasib mereka, baik yang berstatus sebagai calon maupun pekerja migran Indonesia. Mayoritas masih status single, beberapa sudah berkeluarga.
Teman-teman sudah banyak yang pamitan meninggalkan daerahnya, nekat ke Jakarta dengan bekal yang tidak sedikit. Untuk pelatihan Bahasa Jerman saja di Level B1, harus merogoh kocek minimal Rp 25 juta. Itu belum termasuk biaya lainnya.Â
Untuk memenuhi itu ada yang harus utang sana-sini, ada pula yang jual tanah. Ada yang sudah mengikuti tes beberapa kali gagal serta harus mengulang.Â
Dengan adanya kasus Covid-19 ini, kursus terhenti atau terpaksa dihentikan. Tempat ujian di Goethe Institute juga tutup sampai waktu yang belum ditentukan. Teman-teman tidak bisa ambil ujian. Duit mereka dikembalikan karena jadwal ditunda atau di-cancel.
Otomatis ini juga berpengaruh pada rencana mereka. Mau pulang bagaimana, tidak pulang juga bagaimana. Akhirnya ada yang nekat memutuskan pulang dengan segala konsekuensinya.Â
Ada juga yang cari kerja agar bisa bertahan hidup di Jakarta. Beberapa menjadi relawan perawat Covid-19 di Jakarta, entah berapa lama bisa bertahan. Statusnya tidak jelas.
Ini masih terbatas pada kandidat. Belum lagi pada penyelenggara pelatihan dan PPTKIS yang memberangkatkan mereka. Semua kedutaan tutup. Mereka tentu sudah mengeluarkan dana yang tidak sedikit.Â
Dokumen-dokumen jadi expired atau terbengkalai tidak tahu kapan akan diurus lagi. Karyawan mereka nyaris tidak punya aktivitas.Â
Tidak ada jalan terbaik kecuali 'dirumahkan' untuk sementara. Karena mereka tidak bisa promosi, tidak pula ada komunikasi. Sementara, hidup harus jalan terus. Rumah kontrakan harus dibayar, makan minum keluarga, anak-anak sekolah, dan biaya operasional lainnya.
Duh Gusti........
Memang, sebagian perawat Indonesia memiliki potensi besar, baik dalam artian keterampilan profesi maupun dari sisi bahasanya. Bahasa Inggris khususnya dan bahasa lain, seperti Jepang, Belanda, dan Jerman teman-teman yang sudah belajar, juga mengantongi kompetensinya. Tapi mereka bisa apa?Â
Mereka menghadapi situasi yang sangat sulit. Mau pulang ke rumah, saat ini sudah ada di Pulau Jawa, terkena PSBB. Kalaupun pulang, di rumah juga tidak ada kegiatan.Â
Cari kerja juga tidak mudah, karena PSBB dan atau lockdown. Mau mengeluh juga tidak ada faedah. Nun jauh di sana, keluarga juga menghadapi masalah serupa. Orang-orang rata-rata susah menjalankan bisnisnya, tidak seperti semula.Â
Tidak semua bisnis bisa dilakukan online. Tidak ada cara lain bagi teman-teman calon pekerja migran Indonesia kecuali memutar otak, menggali potensi, mencari peluang.
Untuk sementara, saya yang berstatus sebagai calon pekerja migran Indonesia, harus rela menggantungkan status dulu. Saya harus bekerja apa saja yang penting ada aktivitas yang bisa menghasilkan guna menutupi biaya hidup.Â
Minimal agar tidak bergantung pada orangtua lagi. Syukur jika bisa dapat kerja yang selaras dengan profesi.
Bagaimanapun, sebagai orang beragama saya yakin dan pasti, bahwa Allah SWT tidak akan membebani melebihi kemampuan umat-Nya. Berangkat dari keyakinan ini, setiap hari sebelum tidur dan saat bangun dari tidur, saya pastikan bahwa optimisme ini tidak tidak pernah lepas dari diri ini. Cobaan ini pasti akan ada akhirnya.
Malang, 20 Mei 2020
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H