Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Harkitnas: Bangkit dari Keterpurukan atau Terpuruk dari Kebangkitan

20 Mei 2020   05:05 Diperbarui: 20 Mei 2020   05:15 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejarah Kebangkitan Nasional (Harkitnas) dimulai dari sejak berdirinya organisasi Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908. Harkitnas pertama kali diperingati pada era Presiden Soekarno di Yogyakarta tahun 1948. Pada masa itu Soekarno menghimbau seluruh rakyat Indonesia yang terpecah belah untuk bersatu demi kepentingan melawan Belanda.  

Digagas oleh dokter Wahidin Sudirohusodo yang ingin meningkatkan martabat rakyat dan bangsa Indonesia. Organisasi ini mulanya hanya bersifat sosial, ekonomi dan budaya, tidak ada unsur politik di dalamnya. Boedi Oetomo bertujuan untuk memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, ilmu pengetahuan dan seni budaya bangsa Indonesia.

Demikian seterusnya, setiap tahun kita peringati peristiwa tersebut sebagai Hari Kebnagkitan Nasional (Harkitnas). Organisasi yang semula diperuntukkan hanya untuk kalangan priyayi, berubah menerima anggota dari kalangan rakyat biasa mulai pada tahun 1920.

Kini, Harkitnas sudah berumur 112 tahun. Jika dalam bentuk manusia, sudah bercucu dan bercicit seandainya masih hidup. Namun jarang manusia Indonesia yang mampu bertahan hingga umur lebih dari 100 tahun. Akan tergolong sebagai manusia langka di negeri ini. Usia harapan hidup orang Indonesia menurut Kemenkes mencapai 71.4 tahun. 

Angka ini menempati peringkat ke-117 dari 195 negara. Jika tren ini dipertahankan, Indonesia akan bisa menempati peringkat ke-100 di tahun 2040 dengan rata-rata usia harapan hidup 76.7 tahun. Dibandingkan USA yang saat ini berada pada urutan  ke-43, dengan rata-rata harapan hidup 78.7 tahun, memang kita masih jauh. Salah satu faktor penentu usia harapan hidup ini adalah segi kesehatan. Kita masih menghadapi masalah kesehatan yang besar. Di antaranya adalah terkait penyebab utama kematian.

Penyebab utama kematian di Indonesia menurut sebuah studi bertajuk 'Forecasting life expectancy, years of life lost, and all-cause and cause-specific mortality for 250 causes of death; reference and alternative scenario for 2016-2040 for 195 countries and territories using data from the Global Burden of Disease Study 2016', sepuluh penyebab kematian di Indonesia adalah penyakit jantung iskemik, stroke, TBC, diabetes, komplikasi dari kelahiran premature, kecelakaan lalu lintas, infeksi saluran nafas bagian bawah, penyakit-penyakit diare, dan encephalopathy neonatal yang disebabkan oleh asfiksia dan trauma serta cacat bawaan. Tantangan di sektor kesehatan ini merupakan tantangan yang sangat besar yang dihadapi negeri ini. 

Belum lagi saat ini kita sedang dilanda wabah Covid-19. Ibaratnya, belum sempat bangkit dari masalah yang satu, kita terpuruk lagi oleh masalah lainnya. Bahkan sudah jatuh, ditimpa tangga.  Inilah yang menyebabkan Index Pembangunan Manusia kita kalah dengan bahkan negara-negara tetangga.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia menurut United Nation Development Program (HRD UNDP, 2019) menunjukkan peningkatan sejak tahun 2006. Sampai tahun 2019 Indonesia mencapai 0.707 yang berada pada peringkat ke-111 dari 189 negara. 

Sayangnya, peringkat Indonesia itu masih jauh berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya, seperti Brunei Darussalam, Singapura, Thailand dan Malaysia. Berdasarkan hasil perhitungan UNDP peningkatan IPM negara-negara di dunia dari tahun ke tahun hampir seluruhnya berasal dari kinerja ekonomi dan pendidikan, terutama peningkatan pendidikan yang menjadi indikator penting.

Pendidikan nasional dalam pembangunan dianggap sebagai langkah strategis yang berdampak panjang. Pendidikan bisa berfungsi untuk meningkatkan kecerdasan intelektual masyarakat agar dapat menghidupi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa dan negara, di samping mengembangkan keterampilan sehingga dapat hidup bersama dengan baik. 

Selain itu, melalui pendidikan individu diharapkan mampu membangun karakter sehingga ikut serta memuliakan dan membangun peradaban. Melalui Sistem Pendidikan Nasional yang mengacu pada Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Indonesia berharap dapat meraih tujuan tersebut. 

Kenyataannya pencapaian tujuan pendidikan nasional masih jauh dari harapan, meskipun berbagai upaya perbaikan telah dilakukan oleh Pemerintah. Pencapaian peningkatan mutu pendidikan yang mestinya berdampak pada peningkatan kualitas manusia Indonesia masih belum meningkat secara signifikan.

Keterpurukan kualitas manusia Indonesia mengindikasikan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia termasuk mutu pendidikan tingginya. Dengan jumlah murid lebih dari 50 juta dan tenaga pengajar 2.6 juta, yang tersebar di 250.000 sekolah, membuat Indonesia menduduki posisi ke-4 negara terbesar di dunia setelah China, India dan Amerika. 

Akan tetapi soal kualitas, menurut Global Education Monitoring (GEM Report 2016), UNESCO, kualitas pendidikan kita masih rendah. Pada tahun 2017 Indonesia masuk urutan ke 57 dari 65 negara dari segi membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan (World Education Ranking) yang diterbitkan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). 

Pemerintah Malaysia saat di bawah Dr. Mahatir pernah mengirimkan guru-guru mereka ke luar negeri, kembali ke negerinya untuk mengubah system pendidikan. Di negeri ini hal ini tidak terjadi. Berapa puluh ribu tenaga dosen dikirim ke luar negeri, tetapi hingga kini lulusan PTN kita membuat CV dalam Bahasa Inggris saja masih copy & paste. India yang IPM nya (Ranking 129)  di bawah Indonesia (Ranking 111), tapi hebatnya kualitas pendidikan mereka jauh di atas kita, terutama tigkat keilmuan di kanca internasional (IDN Times, 2018).  

Di sektor industri, mengacu pada data United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) tahun 2018, dari sisi manufacturing value added, trend industry pengelolaan kita terus membaik. Indonesia masuk peringkat ke-5 di dunia sesudah China, Korea Selatan, Jepang, dan Jerman. Artinya, di ASEAN, Indonesia termasuk yang terbesar. Di industry 4.0, Indonesia termasuk jajaran negara 10 besar di dunia nanti pada tahun 2030 (Kemenperin 2019). 

Meski demikian, keresahan buruh masih tetap ada. Terlebih disinyalir sejak wabah Corona ini melanda, lebih dari 15 juta karyawan di PHK menurut Wakil Ketua Kadin (CNN 1 Mei 2020). Tentu ini berdampak pada produktivitas kerja di Industri juga. Di samping industry kita masih menghadapi kondisi perekonomian nasional yang tidak stabil. 

Beberapa tantangan yang dihadapi industry di Indonesia antara lain: kesulitan dalam memprediksi permintaan produk, kesulitan mengontrol persediaan, kesulitan meningkatkan efisiensi di pabrik, kesulitan meningkatkan ROI (Return On Investment), kekurangan tenaga kerja berkualitas, kesulitan dalam mengelola prospek penjualan dan kebingungan menghadapi munculnya teknologi baru (Jurnal Bisnis, Mei, 2019). 

Ironisnya, kita masih kalah dengan Vietnam pada indicator kemudahan menjalankan bisnis. Indonesia di peringkat 72, Vietnam peringkat 68.  Vietnam disebut sebagai pemimpin dalam industry manufaktur berbiaya rendah. Padahal IPM Vietnam di urutan ke-118.

Di sektor pertanian dan peternakan yang berskala kecil di Indonesia, hampir seluruh aktivitasnya masih dilakukan di pedesaan. Itupun belum menyejahterakan sebagian besar pelakunya, yaitu petani, peternak juga nelayan.  Hingga saat ini penghasilan mereka masih fluktuatif (Sukoyo, 2019) sesuai keadaan pasar dan alam, sehingga memberikan sumbangsih terhadap besarnya angka kemiskinan. 

Menurut Jan Darmadi dalam sebuah diskusi Focus Group Discussion Bidang Pertanian dan Maritim akhir tahun lalu, angka kemiskinan di pedesaan masih terburuk, yakni 12.8% lebih besar dibanding dengan kemiskinan perkotaan yang 6.69%. 

Oleh karena itu diusulkan petani dan nelayan harus diberikan bimbingan dalam penguasaan teknologi, termasuk pembibitan dan pemeliharaan. Juga dibutuhkan integrasi vertikal dari produksi pertanian dengan produksi pangan. Misalnya, memotong rantai perdagangan yang panjang dengan meningkatkan angka pendapatan petani, peningkatan fasilitas pengelolaan pertanian serta perikanan.

Di sektor budaya, harus diakui bahwa dengan berkembangnya teknologi, ternyata berdampak pula terhadap meluasnya globalisasi. Hal ini mengakibatkan sejumlah kearifan lokal yang melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia mulai pudar, bahkan punah. Beberapa yang bisa disebut antara lain pengobatan herbal. 

Dulu, orangtua mengobati anak-anaknya yang sakit dengan pengobatan alami. Misalnya beras kencur untuk memar, bawang putih untuk flu dan masuk angina, dan lain-lain. Demikian pula soal budaya gotong royong, sekarang nyaris sulit ditemukan kampung yang ronda bergiliran, atau membersihkan jalan dan selokan setiap minggu bersama-sama. 

Yang namanya makanan tradisional mulai sulit mendapatkannya, misalnya Urap Jagung, Kopi Tutuk Lesung/Tumbuk, Leuit (bahasa Sunda: Lumbung), Gaok (Kesenian Lisan Majalengka), Tabuik (Upacara mengusung jenazah di Sumbar), dll. Ini pertanda, ada yang hilang dari bangsa ini. Di India, pemerintah mereka sangat serius terhadap kearifan lokal ini. 

Hal yang sama mestinya bisa dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Misalnya melalui pendidikan formal yang menangani masalah obat tradisional di bawah Kemenkes. Ada kecenderungan derasnya arus komunikasi dan informasi global telah menggerogoti akar budaya kita yang mulai rapuh.  

Kondisi pendidikan, kesehatan, industri, pertanian, peternakan dan budaya di Indonesia yang diuraikan di atas merupakan gambaran hasil perjuangan kita sesudah Hari Kebangkitan Nasional yang sudah berusia seabad lebih. Meski demikian, bukan berarti kita tidak serius melaksanakan pembangunan. 

Kita menyadari, terlalu banyak factor 'X' yang barangkali perlu dikaji lebih serius lagi. Perlu penelitian dan penanganan serius jika tidak ingin terlanjur. 

Kondisi kita saat ini masih jauh dari harapan tokoh-tokoh Boedi Oetomo  tahun 1908, yakni memajukan tanah tumpah darah dan bangsa Indonesia secara harmonis.

Agaknya perjalanan kita masih jauh. Terlebih di tengah wabah Covid-19 ini, kita sepertinya dihadapkan pada ketidak-pastian. India yang miskin saja berani ambil langkah yang jelas bagaimana mengatasinya, kita masih ribet bicara soal PSBB, pulang kampung dan konser. Kita masih gontok-gontokan di DPR untuk mencari pendukung dan menjaring proyek daripada mengurus pembangunan bangsa ini. 

Dengan kondisi seperti ini, kita rakyat kecil, yang kerjanya diperintah, ditata dan dibina, tidak etis jika bikin polemik. Tapi boleh menyimpan tanda tanda tanya. Sebenarnya, kita ini sedang bangkit dari era keterpurukan, atau sedang terpuruk dari era kebangkitan? Wallahu a'lam!

Malang, 19 Mei 2020
Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun