Kenyataannya pencapaian tujuan pendidikan nasional masih jauh dari harapan, meskipun berbagai upaya perbaikan telah dilakukan oleh Pemerintah. Pencapaian peningkatan mutu pendidikan yang mestinya berdampak pada peningkatan kualitas manusia Indonesia masih belum meningkat secara signifikan.
Keterpurukan kualitas manusia Indonesia mengindikasikan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia termasuk mutu pendidikan tingginya. Dengan jumlah murid lebih dari 50 juta dan tenaga pengajar 2.6 juta, yang tersebar di 250.000 sekolah, membuat Indonesia menduduki posisi ke-4 negara terbesar di dunia setelah China, India dan Amerika.Â
Akan tetapi soal kualitas, menurut Global Education Monitoring (GEM Report 2016), UNESCO, kualitas pendidikan kita masih rendah. Pada tahun 2017 Indonesia masuk urutan ke 57 dari 65 negara dari segi membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan (World Education Ranking) yang diterbitkan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).Â
Pemerintah Malaysia saat di bawah Dr. Mahatir pernah mengirimkan guru-guru mereka ke luar negeri, kembali ke negerinya untuk mengubah system pendidikan. Di negeri ini hal ini tidak terjadi. Berapa puluh ribu tenaga dosen dikirim ke luar negeri, tetapi hingga kini lulusan PTN kita membuat CV dalam Bahasa Inggris saja masih copy & paste. India yang IPM nya (Ranking 129) Â di bawah Indonesia (Ranking 111), tapi hebatnya kualitas pendidikan mereka jauh di atas kita, terutama tigkat keilmuan di kanca internasional (IDN Times, 2018). Â
Di sektor industri, mengacu pada data United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) tahun 2018, dari sisi manufacturing value added, trend industry pengelolaan kita terus membaik. Indonesia masuk peringkat ke-5 di dunia sesudah China, Korea Selatan, Jepang, dan Jerman. Artinya, di ASEAN, Indonesia termasuk yang terbesar. Di industry 4.0, Indonesia termasuk jajaran negara 10 besar di dunia nanti pada tahun 2030 (Kemenperin 2019).Â
Meski demikian, keresahan buruh masih tetap ada. Terlebih disinyalir sejak wabah Corona ini melanda, lebih dari 15 juta karyawan di PHK menurut Wakil Ketua Kadin (CNN 1 Mei 2020). Tentu ini berdampak pada produktivitas kerja di Industri juga. Di samping industry kita masih menghadapi kondisi perekonomian nasional yang tidak stabil.Â
Beberapa tantangan yang dihadapi industry di Indonesia antara lain: kesulitan dalam memprediksi permintaan produk, kesulitan mengontrol persediaan, kesulitan meningkatkan efisiensi di pabrik, kesulitan meningkatkan ROI (Return On Investment), kekurangan tenaga kerja berkualitas, kesulitan dalam mengelola prospek penjualan dan kebingungan menghadapi munculnya teknologi baru (Jurnal Bisnis, Mei, 2019).Â
Ironisnya, kita masih kalah dengan Vietnam pada indicator kemudahan menjalankan bisnis. Indonesia di peringkat 72, Vietnam peringkat 68. Â Vietnam disebut sebagai pemimpin dalam industry manufaktur berbiaya rendah. Padahal IPM Vietnam di urutan ke-118.
Di sektor pertanian dan peternakan yang berskala kecil di Indonesia, hampir seluruh aktivitasnya masih dilakukan di pedesaan. Itupun belum menyejahterakan sebagian besar pelakunya, yaitu petani, peternak juga nelayan. Â Hingga saat ini penghasilan mereka masih fluktuatif (Sukoyo, 2019) sesuai keadaan pasar dan alam, sehingga memberikan sumbangsih terhadap besarnya angka kemiskinan.Â
Menurut Jan Darmadi dalam sebuah diskusi Focus Group Discussion Bidang Pertanian dan Maritim akhir tahun lalu, angka kemiskinan di pedesaan masih terburuk, yakni 12.8% lebih besar dibanding dengan kemiskinan perkotaan yang 6.69%.Â
Oleh karena itu diusulkan petani dan nelayan harus diberikan bimbingan dalam penguasaan teknologi, termasuk pembibitan dan pemeliharaan. Juga dibutuhkan integrasi vertikal dari produksi pertanian dengan produksi pangan. Misalnya, memotong rantai perdagangan yang panjang dengan meningkatkan angka pendapatan petani, peningkatan fasilitas pengelolaan pertanian serta perikanan.