Cuaca yang sangat cerah di pagi hari minggu ini. Dengan suara burung-burung berkicauan menambah semangatku untuk memandu rombongan yang akan hiking ke hutan konservasi yaitu Hutan Hujan Tropis yang baru-baru ini di buka di wilayah Timur Indonesia. Kita berkumpul di depan penginapan. Jarak antara penginapan dan hutan konservasi sekitar 35km memakai minibus. Kitapun langsung menaiki minibus sambil diiringi lagu dangdut agar menambah semangat.
Fred seorang turis mancanegara yang ada di minibus juga mengerti lagu tersebut, ternyata Fred sudah sering berkunjung ke Indonesia hanya untuk menapaki jejak Alfred Russel Wallace. Alfred Russel Wallace yang membagi 2 wilayah Indonesia berdasarkan flora dan fauna yaitu tipe Asiatis dan tipe Australis.
Sebagai pemandu wisata aku memberi penjelasan setiap flora dan fauna yang terlihat di perjalanan. Disepanjang perjalanan terlihat kanan dan kiri banyak primata yang bergelantungan di pohon-pohon besar.
Anggi dan Kanaya, dua mahasiswa kekinian itupun mulai berfoto-foto selfie dan memotret setiap flora dan fauna yang mereka lihat. Fred seorang turis mancanegara yang sudah berpengalaman di hutan itu membantuku menjelaskan beberapa flora dan fauna yang terlihat.
Lukman dan Prita, kedua pasangan suami istri itu fokus mendengarkan penjelasan sambil melihat keindahan pemandangan kanan dan kiri. Kevin, anak Lukman dan Prita ia duduk diantara kedua orangtuanya sambil memakan snack dan tertawa melihat beberapa fauna yang ada.
Minibus melaju ketempat hiking yang kita inginkan. Akhirnya kita sampai dan turun satu persatu. Suasana alam yang begitu indah. Membuat hatiku merasa begitu tenang. Kita seperti hidup di alam bebas. Kita sangat menikmati hiking di tempat yang berbeda dari biasanya.
Tak terasa alarm jam tanganku bergetar waktu menunjukan pukul 17.00, itu artinya aku harus membawa rombongan pulang ke penginapan. Aku menepukkan tangan pertanda semua rombongan harus segera berkumpul.
Kita menaiki minibus dan akan beranjak kembali ke penginapan. Mereka terlihat sangat lelah dan terlelap dibuai ayunan mobil di jalanan yang tak rata. Akan tetapi aku dan Her sopir minibus masih sangat bersemangat. Aku sangat menikmati suasana senja sore di hutan ini. Ya, aku sangat menyukai senja karena menurutku senja itu indah, ia menenangkan jiwaku dan akan terkenang meskipun senja telah pergi dan diganti dengan gelapnya malam.
Tiba-tiba lamunanku terhenti dan aku terkejut ketika minibus tiba-tiba terhenti. Aku terkejut karena ku kira sudah sampai dengan cepatnya. Rombongan juga ikut terbangun karena mereka berfikir sudah sampai.
“Rida, minibus tiba-tiba mogok” kata Her sambil berbisik di telingaku.
Seketika aku kaget. Aku tak mau rombongan ikut cemas karena ini tanggung jawabku sebagai pemandu wisata. Aku turun dari minibus kemudian memanggil Her, Fred, dan Lukman. Aku meminta bantuan mereka untuk mengecek minibus. Ternyata terjadi gangguan mesin yang disinyalir disebabkan oleh bocornya air radiator sehingga mobil menjadi overheat.
“Wah.. bagaimana ini kita tidak membawa peralatan apapun di bagasi mobil” ucap Her.
“Perjalanan masih jauhkan?” tanya Lukman.
“Iya masih 31km lagi untuk sampai di penginapan” ucapku sambil melihat papan km di depan sana.
“Ada apa ini?” tanya Prita dibalik jendela mobil.
“Air radiator minibus ini bocor, jadi minibus ini tidak bisa dipakai lagi” jawab Lukman.
“Hah? Apa?” tanya Anggi dan Prita dengan kagetnya.
“Jadi bagaimana ini besok pagi aku, Kevin dan Lukman berencana untuk datang ke Kompasianival 2018 Rida?” tanya Prita.
“Aku tidak bisa membatalkan begitu saja itu acara yang sangat bagus” sambung Prita.
“Tenang saja, aku akan berusaha agar malam ini kita sampai di penginapan” jawabku.
“Waktu akan terus beranjak gelap kita harus cepat mencari pertolongan” ucap Fred.
“Di depan sana ada pemukiman berjarak 6km tapi memiliki medan tempuh berbahaya karena ada beberapa lokasi yang bersinggungan dengan jurang” ucapku.
Semua orang panik. Akupun mulai membuka ponsel ternyata daya ponselku tinggal 27%. Di dalam mobil terdengar suara Kevin menangis ketakutan. Lukman langsung memeluk Kevin. Kanaya terus-terusan berceloteh karena ia sangat takut kegelapan. Anggi hanya duduk terdiam dengan raut wajah yang menyedihkan.
Aku terus mengontak rekan-rekan di kota dekat penginapan. Salah satunya menyanggupi untuk menjemput dengan membawa mobil sedan berkapasitas angkut 4 orang sekali jalan karena jalanan menuju ke tempat minibus kita ada yang rusak, maka mobil akan tiba paling cepat 2 jam 15 menit.
Aku juga mengontak rumah penjaga pintu hutan konservasi. Penjaga itu memiliki sebuah motor yang dapat menjemput orang satu persatu untuk sementara diinapkan di pondok tersebut. Sekali jalan (rumah-lokasi-rumah) motor tersebut membutuhkan waktu 30 menit.
Suasanapun berubah menjadi tambah gelap semua orang panik dan berisik. Tak ada satupun diantara kita yang membawa senter,peta,senjata tajam dan bekal yang memadai kecuali Fred. HP Fred terjatuh dalam hutan ketika hiking, tapi tak mengapa ia tak terlalu membutuhkannya. Ia izin ke rombongan untuk masuk ke dalam bagian hutan rimbun untuk BAB.
Anggi sudah menghabiskan baterai ponselnya dan mulai merekam ketegangan ini memakai mirrorlessnya. Kakinya terkilir tergelincir karena terlalu bersemangat melihat kuskus yang sedang duduk di depan sarangnya. Sementara itu Kanaya terus menerus menyalakan senter dengan sisa baterai ponselnya yang tersisa 10% untuk mengusir kepanikan dalam gelap.
Lukman berusaha meyakinkan kepada anggota lain bahwa semuanya akan baik-baik saja. Baterainya masih sisa 70%, Kanaya memintanya menyalakan senter dari ponsel karena senja semakin gelap.
Ponsel Prita satu-satunya yang bisa mengakses internet meski terkendala sisa baterai 35%. Ia menenangkan anaknya yang beresiko sesak nafas sebentar lagi. Kevin ketakutan, ia bersikeras tak melepaskan tangan kedua orangtuanya. Keluarga ini harus naik pesawat menuju Jakarta pada pukul 07.00 keesokan harinya. Karena mereka berencana untuk datang ke kompasianival 2018.
Sementara Her terlihat lemas dengan mimik wajah menyesal, ia bolak balik membongkar muatan dibagian belakang minibusnya. Hingga 15 menit pertama Fred belum kembali. Samar-samar mendengar suara peluit dari sisi hutan yang gelap. Bisa jadi itu Fred, karena siapa lagi yang membawa alat-alat itu kecuali Fred?
Waktu menunjukkan pukul 17.45, hari semakin gelap masih ada sisa waktu 30menit untuk kita pulang sebelum benar-benar gelap dan binatang malam siap untuk mencari mangsa. Aku segera mencari sumber suara. Aku meminta Her dan Lukman untuk tetap menjaga rombongan dalam mobil.
“Kamu seorang wanita, meskipun kamu pemberani namun tidak baik jika seorang diri masuk ke dalam hutan dengan keadaan gelap seperti ini” ucap Her, mengelak.
“Aku akan baik-baik saja, kalian diam saja disini” ucapku.
“Tidak, aku akan ikut denganmu. Lukman, kamu jaga rombongan ini. Aku dan Rida akan mencari sumber suara itu” perintah Her, sambil menarik tanganku.
“Kalian tidak bisa membiarkan kita tetap menunggu seperti ini. Jika kita terlalu lama disini, bisa-bisa kita semua menjadi santapan binatang buas” ucap Lukman.
“Tidak akan, kalian tetap tenang disini. Aku akan sendirian saja mencari sumber suara itu. Her dan Lukman untuk berjaga-jaga kalian cari tongkat kayu atau apapun itu, cari di sebelah sana sepertinya ada” ucapku sambil menunjuk ke arah ranting-ranting tak jauh dari minibus.
Aku mencari sumber suara itu dengan berlari. Aku seorang wanita yang menyukai tantangan dan aku berprinsip bahwa tidak ada masalah yang tak dapat diatasi. Dan selalu percaya bahwa Tuhan selalu membantu dimanapun kita berada.Aku berhenti sebentar, ternyata suara itu bukan bersumber dari dalam hutan, ternyata suara itu bersumber tak jauh dari minibus dekat jurang.
“Jadi itu suara peluit Fred atau bukan, sepertinya bersumber dari jurang itu. Bukannya Fred tadi berkata akan BAB dan masuk ke dalam hutan. Apakah Fred terjatuh ke jurang. Apakah ada orang lain disini selain rombongan kita?” aku terus bertanya-tanya dalam hati sambil berjalan menuju jurang.
Dan ternyata itu bukan suara peluit Fred. Itu suara seperti sekelompok pemburu yang ada di sebrang jurang sana, aku sedikit melihat mereka karena salah satunya ada yang membawa senter.
“Jadi dimana Fred?” tanyaku dalam hati.
Salah satu pemburu di depan sana menunjuk ke arah jurang. Aku berjalan dan sangat terkejut itu Fred sedang di tepi jurang.
“Kau tak apa-apa Fred?” tanyaku.
“Tidak, hanya saja aku tidak dapat berjalan sendiri harus ada yang membantuku berjalan. Kakiku sakit” ucap Fred sambil meringis kesakitan.
“Ayo Fred aku bantu kamu berjalan” ucapku sambil meletakkan tangan Fred di pundakku.
“Rida, mereka pemburu yang baik tadi mereka mengisyaratkan agar aku kesana. Aku berniat untuk meminta bantuan kepada mereka. Namun, karena aku terlalu bersemangat kakiku terkilir dan jatuh untung tidak sampai ke dalam jurang” ucap Fred.
“Tapi Fred kalau mereka baik, mereka tidak akan membiarkanmu sendiri seperti ini” ucapku.
“Tidak, mereka mungkin tidak berani menyebrangi jembatan yang sudah tua itu. Makanya mereka hanya membunyikan peluit berharap ada yang datang untuk menolongku “ ucap Fred.
Dari sebrang jurang para pemburu seperti memintaku untuk pergi kesana.
“Biar aku saja yang pergi kesana” ucapku.
“Tapi jembatan gantung itu sudah rusak jika jembatan tidak dapat menahan bobot tubuhmu, jembatan akan terputus dan kamu akan jatuh dan mati “ ucap Fred.
“Tidak, itu tidak akan terjadi, Tuhan selalu bersamaku” ucapku.
Aku melihat jembatan itu sudah sangat rusak ditengah-tengah jembatan terlihat salah satu bambu yang patah. Ya, jembatan itu terbuat dari bambu yang di kanan kirinya dibatasi oleh bambu dan ujungnya memakai tali yang diikatkan ke pohon yang ada diantara jurang itu. Jantungku sangat berdebar. Seketika angin berhembus kencang membuat jembatan ini bergoyang. Terlihat tali pengikat di ujung sana akan terputus sedikit demi sedikit. Aku terus memberanikan diri untuk sampai disana. Akhirnya dengan keberanianku aku sampai. Ternyata hanya ada dua orang pemburu disana.
“Dengan pakaian yang seperti ini apakah kamu seorang pemandu wisata?” tanya seorang pemburu.
Aku memperkenalkan diri dan langsung menceritakan kejadian yang aku dan rombongan alami seperti apa.
“Jadi, apakah kami boleh menumpang di minibus kalian?” tanyaku.
“Ya silahkan saja mobilnya masih besar dan kalian dapat menumpang” ucap pemburu.
“Tapi bagaimana rombongan dapat melewati jembatan itu. Jembatan itu sudah sangat rusak, tali pengikatnya terlihat sedikit lagi akan terputus” tanya pemburu.
“Apakah kalian mempunyai tali?” tanyaku.
“Sebentar sepertinya tadi aku membawa tapi di mobil” ucapnya sambil berjalan ke arah mobil.
“ini” ucapnya sambil memberikan tali.
“Syukurlah tali ini cukup panjang, tolong aku mau meminta bantuan. Bisakah kamu mengikat tali ini di bawah pohon itu?” tanyaku.
“Untuk apa?” tanya pemburu.
“Untuk menjaga keseimbangan ketika nanti para rombongan menyebrangi jembatan itu. Ikatkan di bawah pohon dan di atas ujung bambu itu” perintahku.
“Baiklah, maafkan kami. Kami tidak dapat membantumu tangan sebelahku sakit di gigit ular dan yang satunya ia sangat phobia melewati jembatan, keluarganya meninggal kecelakaan ketika melewati jembatan” ucap pemburu.
“Tidak apa-apa, tolong awasi saja kami. Jika nanti kami menyebrang dan bila keseimbangan kami terganggu tolong bantu dengan memegang erat tali itu. Jangan sampai kami tidak seimbang” ucapku.
“Oke baiklah” ucap pemburu sambil berjalan mendekati tali itu.
Aku menyebrangi jembatan itu lagi sambil memegang tali. Fred sedang duduk terdiam, aku merasa kasihan. Dengan raut muka kesakitan ia bertanya.
“Kapan aku kesana? Perutku sudah lapar dan kakiku sakit ingin diobati. Obat-obatanku jatuh ke jurang ketika kakiku terkilir” ucap Fred.
“Oke, aku akan mengantarmu dulu kesana, pegang tali ini” ucapku sambil memberikan tali.
“Tali ini untuk apa?” tanya Fred.
“Tali ini untuk menyeimbangkan tubuhmu agar tidak jatuh” ucapku.
“Dan kamu? Kamu tidak memegang tali?” tanya Fred.
“Tidak, talinya hanya ada satu ayo..” ucapku sambil meletakkan tangan Fred di bahuku.
“Baiklah terimakasih” ucap Fred.
“Tenang saja, jalannya pelan-pelan saja” ucapku.
Ketika di pertengahan jembatan, kaki Fred susah di langkahkan karena disana terdapat bambu yang patah itu. Ia takut bila kakinya terjepit. Aku meminta untuk tetap tenang dan meminta untuk memegang erat tali. Akhirnya aku jongkok dan mengangkat kaki Fred yang sakit menggunakan tanganku. Setelah itu Fred dapat berjalan kembali dan sampai bersama pemburu.
Akupun menyebrangi jembatan menuju minibus. Aku sudah berfikir pasti mereka akan marah karena menunggu terlalu lama. Benar saja sesampainya disana aku diteriaki oleh Lukman.
“Kamu kemana saja, kamu tidak berfikir disini gelap. Baterai hp sampai sudah habis karena menunggumu terlalu lama dan dimana Fred?” tanya Lukman dengan nada tinggi.
Akupun langsung menceritakan semua yang terjadi.
“Apa pemburu?” tanya Anggi.
“Iya, memangnya kenapa?” tanyaku.
“Bukannya mereka jahat? Mereka yang diam-diam membunuh hewan yang tidak bersalah disini?” tanya Anggi.
“Para pemburu itu yang selama ini sedang di cari-cari polisi kan?” tanya Her.
“Iya, nanti ketika sampai di penginapan kita langsung saja menghubungi polisi agar menangkap para pemburu itu” ucapku.
“Iya, kau benar juga” ucap Her.
“Ayo kita kesana” ajakku.
Setelah sampai di jembatan, aku meminta agar kita menyebrang satu persatu karena jembatan itu sudah rusak.
“Kakak yakin kita harus menyebrangi jembatan itu?” tanya Kanaya.
“Iya tenang saja aku yang akan mengantar kalian semua untuk sampai disana. Aku yang bertanggung jawab” jawabku.
“Apakah jembatannya licin?” tanya Prita.
“Tidak, tenang saja” jawabku.
“Apa kamu ingin membunuh kami dengan melewati jembatan itu. Apa kamu dapat bertanggung jawab jika salah satu dari kita ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi?” tanya Lukman.
“Tenang saja, semua akan baik-baik saja. Tuhan selalu melindungi” jawabku.
Alasanku untuk selalu berfikir positif adalah agar segala sesuatunya dapat berjalan dengan baik, karena alam bawah sadarpun ikut merasakan hal positif tersebut. Aku meminta Kevin untuk menyebrangi jembatan dahulu bersamaku. Namun Kevin tak mau, ia terus memeluk ibunya. Ia ingin bersama ibunya tapi itu tidak mungkin bisa.
Jembatannya hanya dapat dipakai oleh 2 orang. Setelah aku rayu akhirnya Kevin mau. Aku memberi tau Kevin bagaimana ketika kita melewati jembatan itu. Tangan kanan Kevin memegang tali untuk penyeimbang dan tangan kirinya memegang bambu yang ada disamping jembatan. Aku berjalan di depan Kevin sambil memegang tangan kanannya. Kulihat wajah Lukman sedikit berubah, ya ia mungkin kesal terhadapku. Setelah sampai, Kevin disambut baik oleh para pemburu dan Fred memberikan air minum dan sebungkus roti kepada Kevin.
Aku kembali berjalan melewati jembatan menuju rombongan. Selanjutnya aku memilih Prita karena bagaimanapun Kevin disana pasti membutuhkan Prita. Prita memegang tali dan berjalan perlahan bersamaku. Setelah sampai di sebrang Kevin langsung memeluk Prita.
Aku kembali berjalan melewati jembatan itu dan selanjutnya aku memilih Her karena aku tau ia memiliki penyakit jantung. Aku takut jika terlalu lama menunggu ia akan semakin takut bahkan dapat membuat jantungnya semakin berdebar kencang. Benar saja ketika melewati jembatan itu kakinya tiba-tiba sangat sulit dilangkahkan.
“Berapa jarak jembatan ini kenapa terasa sangat jauh?” tanya Her
“Sepertinya jembatan ini berjarak kurang lebih 30m. Tenang saja Her ada aku di depanmu dan kamu memegang tali agar seimbang, kamu tidak akan jatuh” jawabku.
Setelah sampai Her langsung meminta obat penenang dan minum agar jantungnya tidak berdebar-debar.
Aku kembali melewati jembatan. Aku memilih Kanaya karena dia sangat takut kegelapan dan disini sudah gelap. Para pemburu itu hanya memberiku satu senter kecil sebagai penerang ketika melewati jembatan itu. Ketika melewati jembatan angin kembali berhembus kencang membuat jembatan bergoyang, semua orang sepertinya terkejut karena aku mendengar ada yang berbicara “Hati-hati, tetap tenang”. Aku meminta Kanaya berjongkok agar menjaga keseimbangan tubuh. Syukurlah angin kencang itu hanya sebentar. Aku dan Kanaya melanjutkan perjalanan. Sesampainya disana Kanaya langsung menangis ketakutan, tangannya bergetar. Prita langsung memberikan Kanaya minum. Aku tiba-tiba diberikan pisau oleh salah satu pemburu katanya untuk berjaga-jaga karena hari semakin gelap.
Aku kembali melewati jembatan. Sebenarnya kakiku sudah sangat pegal tapi aku tetap bersemangat. Sesampainya disana aku bingung akan memilih Lukman atau Anggi. Tiba-tiba ada suara serigala pertanda hewan-hewan buas sudah siap mencari mangsa di malam hari. Meskipun terdengar jauh tapi itu sangat mengkhawatirkan kami.
“Ayo cepat kita langsung kesana, aku takut sudah ada suara serigala disana” ajak Anggi sambil menarik tanganku.
“Sebentar, bagaimana dengan Lukman?” tanyaku.
“Tidak apa-apa kalian pergi saja” ucap Lukman.
“Aku tidak bisa meninggalkan kamu sendirian saja” ucapku.
“Tenang saja aku seorang pria dan Anggi seorang wanita. Aku harus memberanikan diri meskipun suasana gelap seperti ini” ucap Lukman.
“Oke baiklah, ini pisau dan senter kau pegang saja” ucapku sambil memberikan senter dan pisau.
“Tapi bagaimana kamu bisa melewati jembatan itu tanpa penerangan?” tanya Lukman.
“Bisa karena aku sudah tau keadaan jembatan itu seperti apa dan disana tidak terlalu gelap seperti yang kamu fikirkan. Ada sedikit cahaya bulan yang menerangi jembatan disana” ucapku meyakinkan Lukman.
“Tapi kak apa mungkin bisa?” tanya Anggi.
“Bisa, nanti tangan kirimu memegang bambu yang ada disebelahmu. Tangan kananmu memegang tali penyeimbang. Aku akan memegang tangan kananmu dan berjalan di depan. Kamu harus mendengar setiap aba-aba yang aku berikan” ucapku.
“Iya baiklah” ucap Anggi.
Aku dan Anggi berjalan melewati jembatan. Suara serigala semakin menjadi, aku sangat tidak enak meninggalkan Lukman sendiri disana. Akhirnya aku dan Anggi sampai dengan selamat meskipun tidak memakai senter atau alat bantu lainnya.
“Dimana Lukman? Kenapa kamu meninggalkan Lukman sendiri disana? Sudah banyak suara serigala dan kau malah meninggalkan Lukman sendiri disana?” tanya Prita sedikit kesal kepadaku.
“Sebaiknya kita menunggu dalam mobil saja suasana sudah gelap dan sudah banyak suara serigala disana karena waktu sudah menunjukkan pukul 18.30” ajak Fred.
Rombongan beranjak pergi menuju minibus. Hanya ada pemburu yang masih disana mengawasiku ketika melewati jembatan. Aku juga menghiraukan kata-kata Prita dan langsung menyebrangi jembatan kembali tanpa senter dan sendirian. Tiba-tiba brug... Kakiku terkilir, aku lupa jika di tengah-tengah jembatan bambu ada bambu yang patah. Sepertinya aku terlalu terburu-buru.
“Aw... Sakitt....” Teriakku kesakitan karena kakiku terjepit diantara bambu itu. Air mataku keluar dengan sendirinya. Meskipun tanganku memegang tali penyeimbang rasanya aku tidak dapat bangun. Aku berfikir apakah aku akan mati jatuh ke jurang ini. Rasanya aku sudah ikhlas karena sudah menolong mereka. Air mataku terus berjatuhan, kakiku tidak dapat diangkat.
“Kenapa tidak ada satu orangpun yang menolongku? Apa mereka tidak peduli terhadapku? Apa mereka tidak mendengar jeritanku tadi?” tanyaku dalam hati sambil terus menangis.
Tiba-tiba jembatan bergoyang. Setelah beberapa menit aku terdiam dan menangis kesakitan ada sesuatu yang berjalan mendekatiku dengan sangat perlahan dan tanpa suara apapun. Aku takut jika itu binatang buas yang akan memangsaku. Masalahnya jika itu Lukman pasti akan ada cahaya senter yang menyala. Aku langsung teringat Lukman.
“Bagaimana nasib Lukman jika itu benar binatang buas?” tanyaku dalam hati.
Aku terus berdoa dalam hati sambil memejamkan mataku. Dan ternyata itu Lukman, ia akan menolongku. Aku merasa sangat lega.
“Aku menunggumu terlalu lama tadi jadi aku memberanikan diri untuk kesini. Diam, aku akan mengangkat kakimu agar tidak terjepit” ucap Lukman sambil mengangkat kakiku.
“Terimakasih, tapi dimana senternya? Ku kira binantang buas tapi syukurlah ternyata itu kamu” ucapku sambil berusaha untuk berdiri.
“Ini tali kamu pegang” ucapku sambil memberikan tali.
“Tidak usah, kamu saja yang pegang kakimu sedang sakit seharusnya kamu yang pegang” ucap Lukman.
“Baiklah..” ucapku karena memang kakiku benar-benar sangat sakit.
Dengan berjalan sangat perlahan akhirnya sampai dengan selamat. Seketika aku duduk di atas rerumputan karena tidak kuat menahan sakit. Darah begitu banyak keluar karena tadi ku paksakan berjalan di atas jembatan. Lukman membantuku untuk berjalan menuju minibus.
“Kenapa lama sekali?” tanya Prita.
Kevin tiba-tiba berlari dan langsung memeluk Lukman.
“Tadi ada sedikit masalah ketika melewati jembatan. Kaki Rida terjepit oleh bambu patah di tengah-tengah jembatan” jawab Lukman.
Pemburu itu memberikan kotak obat dan baskom air. Prita langsung mencuci kakiku agar bersih dari darah. Anggi memberiku air minum agar aku merasa tenang. Kanaya memijit tangan dan bahuku.
“Rida sebenarnya mereka bukan pemburu” kata Anggi berbisik di telingaku.
“Jadi mereka siapa? Aku tadi tidak sempat bertanya kepada mereka. Mereka membawa senapan jadi ku kira mereka pemburu yang selama ini dicari” ucapku.
Mereka adalah polisi yang sedang menyamar seperti pemburu untuk menangkap pemburu di hutan ini. Mereka ditugaskan oleh Walikota” ucap Anggi.
“Oh begitu, jadi aku selama ini salah paham” ucapku sambil tersenyum.
“Jadi apa kamu akan melaporkan pemburu alias polisi itu kepada polisi?” tanya Prita sambil tertawa.
Kita berempat tertawa bersama memikirkan betapa lucunya jika kita tidak bertanya mereka sebenarnya siapa dan akhirnya jika kita melaporkan langsung pemburu alias polisi kepada polisi. Untung saja Anggi bertanya.
Kakiku sudah memakai obat merah dan perban. Semua orang sudah duduk di tempat duduknya masing-masing sambil memakan roti yang diberikan oleh polisi itu. Aku dan rombongan merasa sangat senang karena selamat dari gelap dan binatang-binatang buas yang ada disana. Sungguh ini petualangan yang lain dari biasanya. Akhirnya kita pulang dengan selamat.
Semua orang terlihat bahagia, begitupun Lukman, Prita dan Kevin terlihat bahagia karena berarti besok pagi mereka akan hadir di acara kompasianival 2018.Aku meminta Her agar besok pagi minibus yang ditinggalkan di dalam hutan dapat diselamatkan menggunakan mobil derek.
Akhirnya kita sampai di penginapan pukul 19.30. Aku mengajak semua orang untuk makan dahulu. Aku dan rombongan mengucapkan banyak terimakasih kepada polisi karena jika tidak ada mereka bagaimana nasibku dan rombongan. Tak disangka Prita, Anggi dan Kanaya memelukku dan berterimakasih sudah membantu melewati jembatan. Her, Fred dan Lukman menyalamiku sebagai bentuk terimakasih. Lukman meminta maaf kepadaku karena sudah memarahiku tadi. Aku sangat senang menjadi pemandu wisata yang harus bertanggung jawab, mengatur rombongan, memberikan petunjuk dan solusi untuk permasalahan yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H