BOOK REVIEW: REKONSTRUKSI TEOLOGI ISLAM KARYA NASIHUN AMIN
Identitas Buku
Judul         : "Rekonstruksi Teologi Islam"
Penulis       : Nasihun Amin
Penerbit      : SeAP (Southeast Asian Publishing), Semarang
Cetakan      : Cetakan Pertama, November 2024
Tebal Buku    : viii + 202 halaman; 20 cm
ISBN Â Â Â Â Â Â Â : 978-623-5794-76-1
Â
Kerangka Paradigmatik Teologi Islam
Teologi Islam merupakan disiplin ilmu dengan rumusan yang telah ada pada ribuan tahun lalu. Teologi dalam Islam pun masih tidak bergeser dari persoalan ilahiyyat (ketuhanan) tanpa menyentuh aspek insaniyyat (kemanusiaan). Islam mendapatkan berbagai gempuran dari aliran-aliran filsafat, agama dan kepercayaan yang ada di sekitar di mana mereka hidup, terutama filsafat Yunani, agama Yahudi, Kristen dan Zoroaster. Namun demikian, teologi Islam masih berkutat dengan persoalan ketuhanan tanpa menyentuh persoalan kemanusiaan. Sebab ini, perlu adanya konstruksi mengenai fungsi dan relevansi teologi bagi realitas sosial. Sebagaimana umat Islam sekarang ini, yang memiliki cara berpikir berbeda dan kompleksnya dinamika zaman. Jika dibandingkan dengan para perumus teologi, mereka hidup dalam cara berpikir dan tantangan zaman yang sangat jauh berbeda. Ketidakmampuan teologi menyesuaikan bahasa dengan perkembangan ilmu-ilmu modern empiris tersebut menjadikan teologi kurang relevan dengan perkembangan pengalaman manusia.
Dalam bab dua buku ini, Nasihun Amin menuliskan bahwa pemahaman historis teologi tidak lebih adalah formulasi pemikiran ketuhanan yang berusaha menjawab berbagai persoalan agama yang muncul pada waktu tertentu. Oleh karena itu, teologi juga bagian pemikiran Islam yang seharusnya, selalu mengalami perkembangan. Tidak hanya terkurung didalam konsepsi-konsepsi teologi klasik seakan-akan menjadi dogma yang bersifat universal. Perkembangan pemikiran teologis mengantarkan pada beberapa paradigma yang ditawarkan oleh para cendekiawan muslim masa kontemporer, seperti paradigma tradisional, rasional, fundamentalis, dan transformatif.
Menurut penulis, yang perlu dilakukan adalah teologi sebagai sebuah disiplin ilmu harus menyesuaikan dan mengaitkan diskursusnya dengan perkembangan kehidupan manusia. Karena jika tidak, teologi akan menjadi usang (out of date) dan ketinggalan mode sebab ketidakmampuan menghadapi realitas sosial serta berhadapan dengan globalisasi budaya. Oleh karena itu, diperlukan adanya rekonstruksi teologi. Dari teologi yang berada dalam zona ke-tuhanan metafisik -- spekulatif, menuju realitas sosial zona kemanusiaan yang aktual -- eksistensial.
Revolusi Teologi Hassan Hanafi dan Asghar Ali Engineer
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Amin Abdullah, untuk memahami secara utuh gagasan seorang cedekiawan, sangat penting untuk mempertimbangkan konteks sejarah yang melatarbelakanginya. Sebab, setiap respon yang dihadirkan selalu memiliki keterkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan, mulai dari nilai-nilai sosial, budaya, hingga realitas politik yang sedang berlangsung. Pemikiran dua tokoh Islam kontemporer tersebut, sangat berkaitan satu sama lain. Yang mana melalui revolusi teologi ini, sebagai upaya fundamental untuk mengembalikan Islam sebagai kekuatan pembebasan, bukan instrumen penindasan. Hassan Hanafi dan Ali Engineer mendorong teologi Islam yang lebih humanis, rasional, dan peduli pada keadilan sosial. Hassan Hanafi dan Asghar Ali Engineer memiliki beberapa persamaan konseptual dalam revolusi teologi mereka:
1. Dekonstruksi Pemahaman Tradisional Keduanya menekankan perlunya membongkar penafsiran teologis konvensional yang dianggap sudah tidak relevan lagi. Mereka mendorong pembacaan ulang teks-teks keagamaan dengan pendekatan kontekstual dan kritis.
2. Orientasi Pembebasan Revolusi teologi mereka memiliki fokus utama pada pembebasan sosial. Keduanya melihat teologi bukan sekadar wacana intelektual, melainkan instrumen untuk transformasi sosial dan pemberdayaan kaum tertindas.
3. Hermeneutika Progresif Mereka mengembangkan metode penafsiran Al-Quran yang lebih dinamis, yang mempertimbangkan konteks sosial, sejarah, dan kemanusiaan. Keduanya yakin bahwa teks suci harus dipahami secara kontekstual, bukan harfiah.
4. Kritik terhadap Struktur Kekuasaan Baik Hanafi maupun Engineer mengkritik struktur kekuasaan yang menggunakan agama sebagai alat legitimasi penindasan. Mereka mendorong penafsiran teologis yang memihak pada kaum lemah dan tertindas.
5. Rasionalisme dan Pembacaan Kritis Keduanya menekankan pentingnya rasionalitas dalam memahami agama. Mereka mendorong pembacaan kritis terhadap teks-teks keagamaan, tidak sekadar menerima interpretasi mapan.
Namun demikian, terdapat pula perbedaan pemikiran Hassan Hanafi dan Asghar Ali Engineer. Perbedaan latarbelakang, Hanafi lahir dan dibesarkan di keluarga Islam Sunni bermadzhab Imam Syafi'i dan Asghar berasal dari keluarga ulama' Syi'ah Ismailiyah. Juga kondisi sosial, tradisi dan budaya, di mana Hanafi lahir serta besar di negeri Arab sedangkan Ali Engineer berada di India dengan kondisi sosial masyarakat yang melanggengkan term superioritas.Â
Jika Hassan Hanafi dikenal dengan Tranformasi Teologi Islam dari Akidah ke Revolusi. Pemikiran Hassan Hanafi bertumpu pada tiga concern utama, yang ingin membangun kesadaran: sikap diri terhadap tradisi klasik, sikap terhadap tradisi Barat; dan, sikap terhadap realitas. Hassan Hanafi dengan upaya mentransformasi ilmu-ilmu keislaman dengan mengembalikan pembacaan pada wahyu melalui pendekatan humanistik. Tujuannya agar teks-teks tersebut menjadi kerangka ilmu kemanusiaan universal. Pemikiran ini kemudian terangkum didalam karyanya, al-turats wa al-tajdid (tradisi dan pembaharuan).
Pemikiran Asghar Ali Engineer berangkat dari kondisi sosial dengan krisis yang berkepanjangan, melahirkan Teologi Pembebasan Islam. Ia lebih menekankan isu-isu kesetaraan gender dan keadilan sosial dalam Islam. Menurut Asghar, Islam sebagai agama dengan sumber ajaran dan sejarah yang paling kaya dan mungkin untuk berkembang menjadi ajaran teologis yang revolusioner dan membebaskan serta menciptakan masyarakat tanpa kelas. Asghar menggunakan metode hermeneutika dalam memaknai berbagai teks dalam al-Qur'an. Pemakaian metode ini didasarkan pada adanya suatu keyakinan bahwa al-Qur'an tidak bisa dipahami secara teologis dengan terlepas dari kerangka sosiologisnya. Penggunaan metode ini bisa kita dapatkan dalam hampir semua karyanya, seperti: Islam and Liberation Theology, Islam and Women Gender Justice dan lainnya. Contoh yang bisa diajukan adalah pemahamannya terhadap ayat yang biasanya dijadikan landasan superioritas laki-laki atas perempuan. Kata qawwamun yang oleh para mufassir klasik dimaknai sebagai melindungi, oleh Asghar dipahami sebagai memberi daya dukung. Dengan pemahaman yang seperti ini ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya baik laki-laki maupun perempuan sebetulnya mempunyai kesejajaran.
Teoantropologi: Sebuah Rekonstruksi Baru
Dalam konteks saat ini, struktur sosial yang amat deterministik pada kemajuan ekonomi dan intelektual, yang membuat sebagian besar manusia terbelakang, sama sekali tidak membuat mereka antusias terhadap pendekatan rasional atau intelektual dalam teologi. Untuk melindungi kemanusiaannya, inilah peran teologi sangat diperlukan. Bukan teologi yang masyarakat terima begitu saja dengan sistem teologi yang mengawang di angkasa, tidak mau peduli dengan apa yang terjadi di bumi. Peran yang dinantikan bukanlah peran paternalistic---apalagi opresif dan represif, seperti yang pernah terjadi pada masa pertengahan. Justru dengan telah melalui masa pertengahan dan era modern, umat manusia alangkah seharusnya lebih memaknai pengalaman masa lampau dengan emansipasi.
Secara khusus dalam pandangan Asghar, Teologi Pembebasan Islam harus mampu mewujudkan masyarakat tanpa kelas. Dalam pandangan Hanafi mewujudkan teologi yang transformatif, melalui interpretasi teks-teks wahyu Allah diimplementasikan dengan mengutamakan aspek kemanusiaan. Dan inilah Konsep Islamisasi Ilmu dan Humanisasi Ilmu-Ilmu Keislaman. Islamisasi Ilmu yakni sebuah upaya mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam kerangka ilmu pengetahuan. Serta menjadikan perspektif Islam sebagai landasan epistemologis dalam pengembangan ilmu dengan menjadikan nash-nash wahyu sebagai sumber atau referensi utama ilmu. Sedangkan Humanisasi Ilmu-Ilmu Keislaman merupakan konsep dasar mengembalikan dimensi kemanusiaan dalam penafsiran dan pengembangan ilmu keislaman. Membongkar penafsiran tekstual yang kaku tanpa melihat konsteks yang ada dengan memberikan ruang penafsiran yang lebih kontekstual dan dialogis.
Kesimpulan
Problematika dalam pendekatan teologi Islam selama ini terletak pada kecenderungannya yang terlalu abstrak dan teoretis. Teologi seringkali diposisikan sebagai wacana yang "melangit" dan jauh dari realitas praktis kehidupan. Akibatnya, terjadi kesenjangan antara pemahaman teologis dengan implementasi nilai-nilai moral yang terkandung dalam teks-teks ilahiah yang otoritatif. Perkembangan persoalan di tengah dinamika zaman, membuat umat Islam tidak dapat mengisolasi diri dari interaksi dengan berbagai budaya dan agama lain.Â
Model kajian ilmu kalam konvensional yang selama ini dipraktikkan memiliki keterbatasan serius. Pendekatan ini hanya mampu menyajikan informasi deskriptif pemahaman serta pengalaman akidah, yang terbatas pada tataran pemahaman teoretis dan gagal menjembatani kebutuhan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Kajian kalam harus mempunyai relevansi sosial sebagai gerakan-gerakan yang pada akhirnya melahirkan rancangan paradigma baru. Dari kajian kalam yang berporos teosentris, diubah menuju teo-antroposentris. Meski pemikiran Hanafi dan Asghar kelihatan dipengaruhi oleh cara berpikir kaum Marxis. Oleh para pengkritiknya, ia dianggap terlalu memamksakan pengertian ayat-ayat al-Qur'an dan peristiwa sejarah tunduk dalam pengertian yang sesuai selera pribadinya. Kedua tokoh tersebut, yakni Hassan Hanafi dengan Transformasi Teologi Islam dan Asghar Ali Engineer beserta Teologi Pembebasan Islam, menawarkan konsep Islamisasi ilmu serta Humanisasi ilmu-ilmu keislaman.
Review
Penulis buku ini memotret bagaimana perkembangan serta paradigma Teologi dalam Islam dan pemikiran tokoh-tokoh Islam kontemporer. Buku dengan tema teologi yang tidak terlalu tebal ini, ditulis dengan sistematis dan mudah dipahami pembaca. Dengan 5 (lima) bab didalamnya, buku ini mengulas lebih dalam bagaimana perkembangan teologi dan pemikiran cendekiawan muslim dari teo-sentris ke antroposentris. Adapun tokoh teologi Islam dengan pemikirannya yang menjadi highlight buku ini, yaitu: Hassan Hanafi dan Asghar Ali Engineer. Dua pemikiran yang saling berkaitan ini telah dikemas dengan menyertakan banyak historis didalamnya, meski tidak disebutkan detail judul karya atau buku Asghar Ali Engineer. Dan pada bab keempat (Teoantropologi: Sebuah Rekonstruksi Baru), kurang dijelaskan mengenai bagaimana konsep teo-antroposentris sebagai rekonstruksi baru teologi Islam dengan konteksual yang ada saat ini. Seperti misalnya, bagaimana konsep Islamisasi ilmu serta Humanisasi ilmu-ilmu keislaman yang dikaitkan dengan konteks persoalan sosial yang ada sekarang. Â
Buku yang baru diterbitkan pada bulan November 2024 ini, sangat relate dengan materi perkuliahan bahkan konteks pemikiran Islam saat ini. Tinggal bagaimana implementasi dari teologi teo-antroposentris pada sendi-sendi kehidupan. Tugas kita bersama untuk menjadi manusia beragama yang humanis. Sebagaimana merujuk pada Pancasila, sila pertama yang menggambarkan sebagai umat beragama, dan sila kedua hingga kelima menunjukkan sosial dan kemanusiaan terhadap sesama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI