Mohon tunggu...
Rida Fahima
Rida Fahima Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rekonstruksi Teologi Islam: Dari Teosentris ke Teo-Antroposentris

22 Desember 2024   22:50 Diperbarui: 22 Desember 2024   22:57 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Amin Abdullah, untuk memahami secara utuh gagasan seorang cedekiawan, sangat penting untuk mempertimbangkan konteks sejarah yang melatarbelakanginya. Sebab, setiap respon yang dihadirkan selalu memiliki keterkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan, mulai dari nilai-nilai sosial, budaya, hingga realitas politik yang sedang berlangsung. Pemikiran dua tokoh Islam kontemporer tersebut, sangat berkaitan satu sama lain. Yang mana melalui revolusi teologi ini, sebagai upaya fundamental untuk mengembalikan Islam sebagai kekuatan pembebasan, bukan instrumen penindasan. Hassan Hanafi dan Ali Engineer mendorong teologi Islam yang lebih humanis, rasional, dan peduli pada keadilan sosial. Hassan Hanafi dan Asghar Ali Engineer memiliki beberapa persamaan konseptual dalam revolusi teologi mereka:

1. Dekonstruksi Pemahaman Tradisional Keduanya menekankan perlunya membongkar penafsiran teologis konvensional yang dianggap sudah tidak relevan lagi. Mereka mendorong pembacaan ulang teks-teks keagamaan dengan pendekatan kontekstual dan kritis.

2. Orientasi Pembebasan Revolusi teologi mereka memiliki fokus utama pada pembebasan sosial. Keduanya melihat teologi bukan sekadar wacana intelektual, melainkan instrumen untuk transformasi sosial dan pemberdayaan kaum tertindas.

3. Hermeneutika Progresif Mereka mengembangkan metode penafsiran Al-Quran yang lebih dinamis, yang mempertimbangkan konteks sosial, sejarah, dan kemanusiaan. Keduanya yakin bahwa teks suci harus dipahami secara kontekstual, bukan harfiah.

4. Kritik terhadap Struktur Kekuasaan Baik Hanafi maupun Engineer mengkritik struktur kekuasaan yang menggunakan agama sebagai alat legitimasi penindasan. Mereka mendorong penafsiran teologis yang memihak pada kaum lemah dan tertindas.

5. Rasionalisme dan Pembacaan Kritis Keduanya menekankan pentingnya rasionalitas dalam memahami agama. Mereka mendorong pembacaan kritis terhadap teks-teks keagamaan, tidak sekadar menerima interpretasi mapan.

Namun demikian, terdapat pula perbedaan pemikiran Hassan Hanafi dan Asghar Ali Engineer. Perbedaan latarbelakang, Hanafi lahir dan dibesarkan di keluarga Islam Sunni bermadzhab Imam Syafi'i dan Asghar berasal dari keluarga ulama' Syi'ah Ismailiyah. Juga kondisi sosial, tradisi dan budaya, di mana Hanafi lahir serta besar di negeri Arab sedangkan Ali Engineer berada di India dengan kondisi sosial masyarakat yang melanggengkan term superioritas. 

Jika Hassan Hanafi dikenal dengan Tranformasi Teologi Islam dari Akidah ke Revolusi. Pemikiran Hassan Hanafi bertumpu pada tiga concern utama, yang ingin membangun kesadaran: sikap diri terhadap tradisi klasik, sikap terhadap tradisi Barat; dan, sikap terhadap realitas. Hassan Hanafi dengan upaya mentransformasi ilmu-ilmu keislaman dengan mengembalikan pembacaan pada wahyu melalui pendekatan humanistik. Tujuannya agar teks-teks tersebut menjadi kerangka ilmu kemanusiaan universal. Pemikiran ini kemudian terangkum didalam karyanya, al-turats wa al-tajdid (tradisi dan pembaharuan).

Pemikiran Asghar Ali Engineer berangkat dari kondisi sosial dengan krisis yang berkepanjangan, melahirkan Teologi Pembebasan Islam. Ia lebih menekankan isu-isu kesetaraan gender dan keadilan sosial dalam Islam. Menurut Asghar, Islam sebagai agama dengan sumber ajaran dan sejarah yang paling kaya dan mungkin untuk berkembang menjadi ajaran teologis yang revolusioner dan membebaskan serta menciptakan masyarakat tanpa kelas. Asghar menggunakan metode hermeneutika dalam memaknai berbagai teks dalam al-Qur'an. Pemakaian metode ini didasarkan pada adanya suatu keyakinan bahwa al-Qur'an tidak bisa dipahami secara teologis dengan terlepas dari kerangka sosiologisnya. Penggunaan metode ini bisa kita dapatkan dalam hampir semua karyanya, seperti: Islam and Liberation Theology, Islam and Women Gender Justice dan lainnya. Contoh yang bisa diajukan adalah pemahamannya terhadap ayat yang biasanya dijadikan landasan superioritas laki-laki atas perempuan. Kata qawwamun yang oleh para mufassir klasik dimaknai sebagai melindungi, oleh Asghar dipahami sebagai memberi daya dukung. Dengan pemahaman yang seperti ini ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya baik laki-laki maupun perempuan sebetulnya mempunyai kesejajaran.

Teoantropologi: Sebuah Rekonstruksi Baru

Dalam konteks saat ini, struktur sosial yang amat deterministik pada kemajuan ekonomi dan intelektual, yang membuat sebagian besar manusia terbelakang, sama sekali tidak membuat mereka antusias terhadap pendekatan rasional atau intelektual dalam teologi. Untuk melindungi kemanusiaannya, inilah peran teologi sangat diperlukan. Bukan teologi yang masyarakat terima begitu saja dengan sistem teologi yang mengawang di angkasa, tidak mau peduli dengan apa yang terjadi di bumi. Peran yang dinantikan bukanlah peran paternalistic---apalagi opresif dan represif, seperti yang pernah terjadi pada masa pertengahan. Justru dengan telah melalui masa pertengahan dan era modern, umat manusia alangkah seharusnya lebih memaknai pengalaman masa lampau dengan emansipasi.

Secara khusus dalam pandangan Asghar, Teologi Pembebasan Islam harus mampu mewujudkan masyarakat tanpa kelas. Dalam pandangan Hanafi mewujudkan teologi yang transformatif, melalui interpretasi teks-teks wahyu Allah diimplementasikan dengan mengutamakan aspek kemanusiaan. Dan inilah Konsep Islamisasi Ilmu dan Humanisasi Ilmu-Ilmu Keislaman. Islamisasi Ilmu yakni sebuah upaya mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam kerangka ilmu pengetahuan. Serta menjadikan perspektif Islam sebagai landasan epistemologis dalam pengembangan ilmu dengan menjadikan nash-nash wahyu sebagai sumber atau referensi utama ilmu. Sedangkan Humanisasi Ilmu-Ilmu Keislaman merupakan konsep dasar mengembalikan dimensi kemanusiaan dalam penafsiran dan pengembangan ilmu keislaman. Membongkar penafsiran tekstual yang kaku tanpa melihat konsteks yang ada dengan memberikan ruang penafsiran yang lebih kontekstual dan dialogis.

Kesimpulan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun