Mohon tunggu...
Rico Ricardo Lumban Gaol
Rico Ricardo Lumban Gaol Mohon Tunggu... Penulis - Energi terbarukan bukanlah energi alternatif, melainkan jawaban dari kerisauan kedepannya

SEO Expert bidang Energi Terbarukan 2022 Kegiatan sehari-hariku masuk keluar wilayah 3T mendampingi wilayah-wilayah yang belum tersentuh listrik PLN samasekali. Salam kenal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jangan Jadi Peternak Orang Miskin!

1 Februari 2025   13:31 Diperbarui: 1 Februari 2025   13:31 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stop Jadi Peternak Pemulung! Pak Ogah! Kang Parkir!

(Sebenarnya tulisan ini sudah terkubur bertahun-tahun, tapi entah mengapa melihat berita terkait "kang parkir gacoan" jadi pengen mengangkatnya kembali, walau tak sama tapi cukup serupa)

"Sepertinya aku lebih menghargai Pemelihara Tuyul ketimbang Pemelihara Pemulung. Hmmm, tapi aku sendiri belum yakin. Kata moyangku, kalau kita ragu, maka hindari keduanya," perdebatan batin dan bibirku. "Ahhhh lamunan apa pula tadi?"

Matahari belum sepenuhnya menampakkan sinar, namun Aku sudah sibuk mencari rezeki. Dengan karung bututku, aku dan kawan-kawanku menyusuri gang-gang kecil di desa, mencari botol bekas, besi bekas, alumunium bekas, baja bekas, kertas kardus, dan barang bekas lainnya yang masih bisa dimanfaatkan. Sudah bertahun-tahun aku menjalani hidup sebagai pemulung. Meski lelah, aku tak pernah mengeluh. Bagiku, setiap keping uang yang kudapat seperti mendapat durian runtuh.

Iya, sebagai insan kecil dan tak berdaya namun percaya pada kekuatan Sang Kuasa, aku tidak pernah menganggap ini sebagai rezeki, melainkan hanya untuk bertahan hidup saja, seandainya cukup. Dan selalu berusaha membangun mimpi, "semoga kedepannya tidak ada yang merasakan hal yang sama". Hampir setiap hari, sejak aku duduk di kursi sekolah dasar hingga aku SMA masih juga melakukan hal yang sama, hanya untuk bertahan hidup.

Aku punya Bapak dan Mamak, mereka selalu berusaha sekeras tenaga untuk menghidupi anak-anaknya, termasuk aku tentunya. Tak jarang orang-tuaku dapat cemooh, hinaan, dan lainnya sebab untuk memberi makan anak-anaknya harus banting tulang, luntang-lantung di mana keramaian berada. Mamakku seorang pedagang ulung, itu yang ada di mataku. Pedagang yang hadir di tengah acara-acara warga kampung, tak peduli acaranya, bukan hanya pesta sukacita acara kematianpun Mamak selalu membuka lapak. Aku? Tentu saja menemaninya dan sesekali berkeliling, pasti ada rongsok yang bisa kuambil, haha.

Bapakku? Aku tak berani mengatakannya, yang jelas dia selalu meminta jatah ke pebisnis, pemerintah, dan lembaga sekolah yang menurutnya punya celah. Aku pernah bercita-cita, kelak kalau aku kaya raya, aku akan hentikan pekerjaan Bapakku yang seperti itu. Namun sebelum aku menghentikannya, Bapakku sudah lebih dahulu berhenti dengan sendirinya karena Sang Pencipta sudah merindukannya. Bapakku telah berpulang. Ah, sudahlah, aku tak kuat mengingat itu lagi.

 Kukira ketiban tangga, ternyata angin segar di padang gurun.

Suatu hari, aku mengikuti diskusi pertemuan warga. Di sana hadir banyak sekali para pemulung, mulai dari anak-anak, hingga sudah beruban, Perempuan dan laki-laki hampir sama banyaknya. Ada hadirin yang begitu rapih di tengah kami yang compang-camping ini, sepertinya mereka para pejabat, dan ada juga seorang aktivis lingkungan, dia memperkenalkan diri seperti itu, yang banyak bercerita di depan. Ia menyampaikan gagasan tentang pengelolaan sampah dari sumber.

"Kita harus memilah sampah dari rumah," ujarnya. "Dengan begitu, sampah yang sampai ke TPA akan lebih sedikit dan bisa diolah menjadi produk yang bernilai."

Belum selesai orang itu bercerita, pikiranku sudah terbang kemana-mana. Aku seketika terdiam dan geram. Aku kuatir dengan masa depanku. "Kalau semua orang memilah sampah, lalu apa yang akan aku lakukan di tumpukan akhir? Pasti tidak ada lagi sampah di pinggiran jalan, gang-gang akan bersih, walaupun mungkin tidak akan ada lagi bau-bau yang tidak enak itu tapi hidup tanpa sampah rongsokan pasti jauh lebih menyengat dan mencekam" gumamku dalam hati.

Riuh ruangan semakin membuatku melayang lebih tinggi. "Bapak ingin membuat kami mati kah?" ujar salah seorang pemulung. "Bapak tolong pahami kondisi kami," kata yang lainnya. "Anak-anak saya masih butuh makan, dan kami hanya bisa memenuhinya dari tumpukan sampah itu," tambah seorang ibu-ibu yang sudah terlihat Lelah dan sedih yang mendalam. Hmmm, aku kira aku saja yang overthinking, ternyata hampir seluruh pemulung menilai gagasan itu tidak berpihak kepada yang kecil dan lemah seperti kami.

"Bapak-Ibu, jangan kuatir!" kata seorang pemuda yang tadi di depan bercerita, sontakku terbangun dari lamunan. "Justru dengan adanya pemilahan sampah dari sumbernya, pekerjaan Bapak akan semakin terjamin. Bapak-Ibu bisa menjadi mitra kerja di tempat pengolahan sampah yang sedang dibangun, bulan depan rampung. Bapak-Ibu akan mendapatkan pemasukan tetap dan fasilitas yang lebih baik, dan tunjangan Kesehatan yang lebih bermartabat."

"Bapak-Ibu akan menjadi gardah terdepan pada proses pengelolaan sampah. Yang biasanya Bapak-Ibu mengambil sampah di tumpukan yang bau dan tinggal di sana-berlama-lama, sungguh itu tidak layak, nanti Bapak-Ibu yang bagian mengambil sampah, langsung mengambil dari rumah warga dan mengangkutnya ke tempat pemrosesan. Pemerintah telah mengatur dalam regulasinya bahwa tidak akan ada lagi TPA salah kaprah alias Tempat Pembuangan Akhir, yang dibuang bukan hanya sampah, tidak sedikit ada yang membuang bayi, bahkan zin banyak yang terbuang di sana," tambahnya lagi sembari dipenuhi tawa warga.

"Kedepannya TPA akan Kembali pada fungsinya, yakni Tempat Pemrosesan Akhir. Sampah-sampah yang sudah dipilah dari sumbernya, akan diberikan insentif pada Masyarakat. Baik sampah yang bernilai maupun yang tidak bernilai semua ada insentifnya, selama pemilahannya sudah sesuai dengan standar pengelolaan yang kita arahkan. Insentif ini akan bisa menjadi kredit pengurangan tipping fee Masyarakat," jelasnya lagi.

"Sederhananya begini, saat ini mereka tidak melakukan pemilahan sampah. Mereka membayar setiap bulannya kepada pengangkut sampahnya, katakanlah 50 ribu sebulan. Dengan adanya pemilahan, katakanlah ada 3 jenis sampah terpilah, Organik, Botol/alumunium/besi/kaca, dan kategori Sisanya. Jika hasil dari pemilahan tersebut 5 ribu rupiah, maka Masyarakat cukup membayar 45 ribu rupiah bulan berikutnya. Menarik kan Bapak-Ibu?" Jelas pemuda itu.

"Dan untuk anak-anak, akan ada beasiswa mulai dari SD-S3 yang dapat dimanfaatkan. Selain itu akan ada tunjangan Kesehatan kepada setiap mitra, bila perlu kita buat jaminan pensiun. Wakil kita saja bisa dapat pensiunan seumur hidup walau hanya bekerja 5 tahun, apalagi Bapak-Ibu yang menjadi bagian terdepan dalam kesuksesan pengelolaan sampah nasional nantinya, karena Bapak-Ibu kami harapkan selain mengambil sampah dari warga tetapi juga terus bergerilia melakukan sosialisasi arti penting pemilahan dalam proses pengolahan sampah," tambahnya sembari menutup kegiatan tersebut.

Diam dan perlahan kulangkahkan kakiku menuju pemuda itu. Menatap pemuda itu dengan ragu. "Benarkah begitu?" tanyaku.

"Hai, saya Sukarno, salam kenal. Yang saya sampaikan adalah hal yang benar-benar bisa terjadi jika Bapak-Ibu semua bukan hanya sebagai penerima manfaat tetapi juga sebagai subjek. Sebagai subjek Bapak-Ibu harus aktif dan terlibat untuk menyukseskan program ini."

"Tentu saja. Bapak-Ibu punya pengalaman yang sangat berharga dalam memilah sampah. Keahlian Bapak-Ibu sangat dibutuhkan."

Ternyata benar ada beasiswa untuk pemulung sepertiku!

Setelah melalui pertimbangan yang cukup panjang, akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti program seleksi beasiswa yang diadakan oleh penyelenggara. Aku tak tahu siapa penyelenggaranya apakah pemerintah atau swasta, bisa kubilang aku juga ga peduli. Hanya saja guru-guruku pun mendorongku untuk turut mencoba. Bahkan mengantarkanku dan teman-temanku hingga ke kota dimana seleksi dilakukan. Tiga hari lamanya kami seleksi, aku sampai lupa apa saja yang diujikan selain Matematika, Bahasa, dan IPA

Dan 15 tahun lalu aku berhasil lulus dari salah satu perguruan ternama di Bandung bahkan Indonesia.

Selain itu, Aku juga mendengar diantara teman-temanku yang pemulung ternyata beberapa tahun lalu mendapat kesempatan untuk belajar tentang cara memilah sampah secara benar, mengolah sampah organik menjadi kompos, berkunjung ke wilayah pengelolaan sampah plastic, kertas, dan Perusahaan-perusahaan daur ulang, serta ke Perusahaan yang mengelolah limbah B3. Setelah lulus pelatihan, benar saja mereka dijadikan mitra di sebuah tempat pengolahan sampah. Selain gaji yang diterima mereka jauh lebih layak dari sebelumnya. Mereka juga mendapatkan fasilitas kesehatan dan jaminan sosial alias pensiun.

Ahhh aku kira aku sedang bermimpi. Beberapa tahun berselang, kehidupanku dan beberapa rekan pemulung dulu berubah drastis. Bukan hanya aku, merekapun sudah mampu memiliki salah satu kebutuhan utama dalam lini kehidupan kita yakni rumah yang layak, anak-anak bisa sekolah dengan nyaman, dan tidak perlu lagi mencari-cari sampah di jalanan. Aksi Pak Karno menjadi contoh bagi para "pemelihara" pemulung. Ia membuktikan bahwa dengan kemauan yang kuat, dukungan dari pemerintah dan swasta, kehidupan pemulung bisa lebih baik dan tujuan utamapun tercapai yakni pengelolaan sampah terpadu dari hulu ke hilir.

Benar saja dugaanku dulu, "Kehadiran pemulung adalah lambang ketidakbecusan pengelolaan sampah."

Pesan Moral

Cerita ini mengajarkan kita bahwa setiap orang berhak mendapatkan kehidupan yang layak. Termasuk hidup tidak tercemar oleh sampah. Dan memang benar pemulung bukanlah sampah masyarakat, tetapi mereka lahir dari tidak adanya pengelolaan sampah yang serius dari pemerintah bahkan swasta, semua hanya memikirkan Lembaga dan organisasinya masing-masing. Dan pemulung ini hanya satu bagian lapisan masyarakat yang "lahir tanpa ibu dan ayah". Begitu juga dengan Pak Ogah makin ke sini kian kesana. Belum lagi tukang parkir yang terkadang tidak bisa membaca atau "buta", sudah jelas ada tulisan di banyak minimarket "Parkir Gratis" tapi pengunjung bisa kena palak atau bahkan kena maki jika tidak mengeluarkan gocek, sudah kita keluarkan pun ternyata mereka punya tarif yang terkadang seenak jidatnya, "motor 2 ribu Pak, mobil 10 ribu".

Kita melalui wakil rakyat harus bisa mengubah paradigma terhadap kondisi sosial yang tidak diharapkan ini. Kita, wakil rakyat apalagi, harus bisa menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua orang. Utamakan Pendidikan karena lewat Pendidikan kita akan dapat menyingkap pintu-pintu yang sebenarnya bisa kita buka selama kita punya "kuncinya". Kuncinya ini bisa didapatkan di dunia Pendidikan. Dan dunia Pendidikan tidak semata Pendidikan formal atau hanya belajar hal-hal teknis, ada hal-hal softskill juga perlu ditingkatkan termasuk terkait "rasa", "kesadaran yang bertanggung jawab", dan kolaborasi yang adil."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun