(Sebenarnya tulisan ini sudah terkubur bertahun-tahun, tapi entah mengapa melihat berita terkait "kang parkir gacoan" jadi pengen mengangkatnya kembali, walau tak sama tapi cukup serupa)
"Sepertinya aku lebih menghargai Pemelihara Tuyul ketimbang Pemelihara Pemulung. Hmmm, tapi aku sendiri belum yakin. Kata moyangku, kalau kita ragu, maka hindari keduanya," perdebatan batin dan bibirku. "Ahhhh lamunan apa pula tadi?"
Matahari belum sepenuhnya menampakkan sinar, namun Aku sudah sibuk mencari rezeki. Dengan karung bututku, aku dan kawan-kawanku menyusuri gang-gang kecil di desa, mencari botol bekas, besi bekas, alumunium bekas, baja bekas, kertas kardus, dan barang bekas lainnya yang masih bisa dimanfaatkan. Sudah bertahun-tahun aku menjalani hidup sebagai pemulung. Meski lelah, aku tak pernah mengeluh. Bagiku, setiap keping uang yang kudapat seperti mendapat durian runtuh.
Iya, sebagai insan kecil dan tak berdaya namun percaya pada kekuatan Sang Kuasa, aku tidak pernah menganggap ini sebagai rezeki, melainkan hanya untuk bertahan hidup saja, seandainya cukup. Dan selalu berusaha membangun mimpi, "semoga kedepannya tidak ada yang merasakan hal yang sama". Hampir setiap hari, sejak aku duduk di kursi sekolah dasar hingga aku SMA masih juga melakukan hal yang sama, hanya untuk bertahan hidup.
Aku punya Bapak dan Mamak, mereka selalu berusaha sekeras tenaga untuk menghidupi anak-anaknya, termasuk aku tentunya. Tak jarang orang-tuaku dapat cemooh, hinaan, dan lainnya sebab untuk memberi makan anak-anaknya harus banting tulang, luntang-lantung di mana keramaian berada. Mamakku seorang pedagang ulung, itu yang ada di mataku. Pedagang yang hadir di tengah acara-acara warga kampung, tak peduli acaranya, bukan hanya pesta sukacita acara kematianpun Mamak selalu membuka lapak. Aku? Tentu saja menemaninya dan sesekali berkeliling, pasti ada rongsok yang bisa kuambil, haha.
Bapakku? Aku tak berani mengatakannya, yang jelas dia selalu meminta jatah ke pebisnis, pemerintah, dan lembaga sekolah yang menurutnya punya celah. Aku pernah bercita-cita, kelak kalau aku kaya raya, aku akan hentikan pekerjaan Bapakku yang seperti itu. Namun sebelum aku menghentikannya, Bapakku sudah lebih dahulu berhenti dengan sendirinya karena Sang Pencipta sudah merindukannya. Bapakku telah berpulang. Ah, sudahlah, aku tak kuat mengingat itu lagi.
 Kukira ketiban tangga, ternyata angin segar di padang gurun.
Suatu hari, aku mengikuti diskusi pertemuan warga. Di sana hadir banyak sekali para pemulung, mulai dari anak-anak, hingga sudah beruban, Perempuan dan laki-laki hampir sama banyaknya. Ada hadirin yang begitu rapih di tengah kami yang compang-camping ini, sepertinya mereka para pejabat, dan ada juga seorang aktivis lingkungan, dia memperkenalkan diri seperti itu, yang banyak bercerita di depan. Ia menyampaikan gagasan tentang pengelolaan sampah dari sumber.
"Kita harus memilah sampah dari rumah," ujarnya. "Dengan begitu, sampah yang sampai ke TPA akan lebih sedikit dan bisa diolah menjadi produk yang bernilai."
Belum selesai orang itu bercerita, pikiranku sudah terbang kemana-mana. Aku seketika terdiam dan geram. Aku kuatir dengan masa depanku. "Kalau semua orang memilah sampah, lalu apa yang akan aku lakukan di tumpukan akhir? Pasti tidak ada lagi sampah di pinggiran jalan, gang-gang akan bersih, walaupun mungkin tidak akan ada lagi bau-bau yang tidak enak itu tapi hidup tanpa sampah rongsokan pasti jauh lebih menyengat dan mencekam" gumamku dalam hati.
Riuh ruangan semakin membuatku melayang lebih tinggi. "Bapak ingin membuat kami mati kah?" ujar salah seorang pemulung. "Bapak tolong pahami kondisi kami," kata yang lainnya. "Anak-anak saya masih butuh makan, dan kami hanya bisa memenuhinya dari tumpukan sampah itu," tambah seorang ibu-ibu yang sudah terlihat Lelah dan sedih yang mendalam. Hmmm, aku kira aku saja yang overthinking, ternyata hampir seluruh pemulung menilai gagasan itu tidak berpihak kepada yang kecil dan lemah seperti kami.