Mohon tunggu...
ricky vinosef
ricky vinosef Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

sepak bola, tennis lapangan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Artikel Jurnal dengan Metode Penelitian Hukum Normatif

28 September 2022   21:50 Diperbarui: 28 September 2022   21:51 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jurnal 1 

Judul:  Dampak Pemberian Remisi Bagi Narapidana Kasus Narkotika Terhadap Putusan Pidana yang Dijatuhkan Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Penulis : Artikel Umar Anwar 

Nama Jurnal, Penerbit & Tahun Terbit: Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 13 No. 2. Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jakarta. (2016). 

Link Artikel: https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/108/pdf 

Latar Belakang: Hukuman kurungan merupakan salah satu penderitaan yang dirasakan narapidana dan anak pidana di dalam Penjara yang saat ini dijadikan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Perubahan sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan tersebut sangat dirasakan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) dan Rumah Tahanan Negara (RUTAN) yang sedang menjalani masa pidananya. Perubahan dari sistem kepenjaraan menjadi sisitem pemasyarakatan telah mengubah paradigma bahwa penjara menjadi tempat penyiksaan menjadi tempat pembinaan narapidana agar menyadari kesalahan dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga menjadi manusia seutuhnya. Menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab Remisi merupakan salah satu bentuk pengurangan masa pidana yang diharapkan setiap narapidana dan anak pidana yang sedang menjalani masa pidana di LAPAS/RUTAN. Remisi sebagai salah satu bentuk pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan pemberian remisi menjelaskan bahwa setiap Narapidana dan Anak Pidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik berhak mendapatkan remisi. Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomo 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (PP 99/2012) sudah menghambat dan membatasi hak-hak narapidana tersebut sehingga sebagian narapidana yang tidak memenuhi syarat tidak mendapatkan remisi, Termasuk salah satunya adalah narapidana dan anak pidana kasus tindak pidana narkotika yang terjerat kasus yang lebih berat. Hal ini menjadi permasalahan yang harus ditangani pemasyarakatan,dimana diketahui sebagaian besar warga binaan di lapas dan rutan di Indonesia dihuni warga binaan kasus narkotika. 

Konsep Teori & Tujuan: Sistem Pemasyarakatan adalah mengupayakan warga binaan untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya melanggar hukum yang pernah dilakukan sebagai warga masyarakat serta dapat berperan aktif sebagaimana anggota masyarakat lainnya. Pemberian remisi merupakan hak bagi setiap narapidana yang menjalani masa pidana di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Pengertian remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Peraturan Perundang-undangan. Menurut Pasal 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia, menyatakan bahwa: “Setiap narapidana dan anak pidana yang menjalani pidana penjara sementara dan pidana kurungan dapat diberikan remisi apabila yang bersangkutan berkelakuan baik selama menjalani pidana”. Menurut mantan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Mardjaman, pemberian remisi merupakan salah satu motivasi bagi narapidana untuk membina diri agar kelak dapat kembali ke masyarakat melalui reintegrasi yang sehat. Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang merubah Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, hal tersebut membatasi pemberian remisi bagi beberapa narapidana termasuk narapidana kasus pidana narkotika. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan pemberian remisi pada warga binaan kasus narkotika di dalam LAPAS, putusan pidana narkotika dan untuk mengetahui hubungan antara pemberian remisi terhadap putusan pidana narkotika.

 Metode Penelitian Hukum Normatif: Metode penelitian yang digunakan yaitu bersifat yuridis normatif dengan menggunakan analitik deskriptif dan sumbernya berasal undang – undang dan norma yang berlaku serta sumber sekunder yaitu buku kepustakaan. Objek pada penelitian ini adalah PP Nomor 99 Tahun 2012. Teknik pengumpulan data dan analisisnya adalah dengan mengumpulkan buku-buku dan referensi yang berkaitan, kemudian membaca dan menyimpulkan, lalu di bandingkan dan dihubungkan dengan permasalahan yang diambil kemudian dianalisis dan diambil kesimpulan. 

Hasil Penelitian & Pembahasan: Pada peraturan sebelumnya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 bahwa Pemberian remisi dirasakan sangat mudah oleh pemerintah sehingga terjadi perubahan yang sangat signifikan dan dirasakan oleh narapidana dan anak pidana yang tidak mendapatkan lagi hak remisi tersebut. Pengetatan yang dilakukan pemerintah dengan menerbitkan PP 99/2012 Tentang Perubahan Kedua Atas PP 32/1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang lebih khusus kepada perubahan tentang pemberian remisi. Salah satu kasus tindak pidana yang merasakan perubahan tersebut adalah kasus tindak pidana narkotika yang dirasakan sangat ketat untuk mendapatkan remisi dan beberapa kasus berat tidak mendapatkan remisi sama sekali. Khusus narkotika terjadi perubahan yang drastis terjadi pada Pasal 34A ayat (1) Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan: pada point (a) bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya; dan pada ayat (2) Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun. Pada ayat (3) kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.” Dengan memperhatikan peraturan pemerintah di atas, maka akan menjadi polemik di Pemasyarakatan karena di dalam UndangUndang Pemasyarakatan mengatur tentang hak setiap warga binaan Menurut Undang – undang tentang Narkotika menjelaskan bahwa: Narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa sakit, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan - golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini. Kasus pidana narkotika merupakan tindak pidana yang dapat menembus lintas batas sehingga putusan pidana yang dijatuhkan pada pelakunya juga sangat tinggi. Termasuk peraturannya sangat ketat. Kasus tindak pidana narkotika dapat diputus lebih tinggi bahkan di atas 5 (lima) tahun. Dalam Undang – undang nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada pasal 111 dan Pasal 112 adalah 4 (empat) tahun sedangkan untuk kasus tindak pidana pemakai dan pengedar Pasal 114 minimal 5 (lima) tahun. Putusan pidana dapat diputuskan sampai maksimal sesuai dengan pasal tersebut. Kalau putusan pidana yang dijatuhkan hakim lebih tinggi di atas 5 (lima) tahun menunjukkan bahwa banyak yang tidak mendapatkan remisi yang akan berdampak terhadap over kapasitas hunian di LAPAS. Dengan perubahan Pasal 34 pada PP 99/2012, untuk kasus pidana yang hukumannya di atas 5 (lima) tahun, salah satunya kasus tindak pidana narkotika, tidak mendapatkan remisi. Adanya diskriminasi tersebut menyebabkan beberapa masalah yang muncul di LAPAS. Adanya diskriminasi yang berlebihan seperti ini dapat berdampak terhadap berbagai kehidupan di LAPAS dan berdampak juga terhadap over kapasitas LAPAS yang terjadi di seluruh Indonesia. Penghuni LAPAS saat ini didominasi kasus narkoba sekitar separuh atau sekitar 50 % dari hunian LAPAS di seluruh Indonesia.40 Data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sampai bulan Maret 2016 bahwa jumlah penghuni LAPAS dan RUTAN sejumlah 183.931 orang narapidana/tahanan.41 Kalau dibandingkan dengan kapasitas LAPAS/ RUTAN seluruh Indonesia hanya 118.746 orang narapidana/tahanan atau over kapasitas 155 % dari kapasitas sesungguhnya.42 Dari data di atas menunjukkan begitu banyak jumlah kasus tindak pidana narkotika di dalam LAPAS/RUTAN. Kalau putusan kasus tindak pidana narkotika di atas 5 (lima) tahun separuh dari jumlah hunian kasus pidana narkoba, berarti jumlah narapidana dan anak pidana yang tidak mendapatkan remisi akan semakin banyak dan hal ini berdampak juga terhadap kesenjangan kehidupan di dalam LAPAS dan diskriminasi negara terhadap setiap narapidana dan anak pidana untuk mendapatkan haknya mengurangi masa pidana dengan remisi. 

Kelebihan: Jurnal ini telah membahas setiap rumusan masalah yang ada dengan rinci dan jelas sehingga mudah dipahami oleh pembaca. 

Kekurangan: Dalam penulisan jurnal ini masih banyak membahas konsep pemidanaan dan proses pemidanaan secara umum menurut dari beberapa ahli dan masih belum memaparkan konsep pemidanaan dan pemberian remisi yang spesifik untuk kasus narkotika. 

Saran: Hendaknya memaparkan konsep pemidanaan dan pemberian yang spesifik untuk kasus narkotika. Agar pembaca dapat lebih memahami bagaimana konsep pemidanaan nerkotika dan pemberian remisi agar dapat ditrmukan kelebihan dan kekurangan dengan system pemidanaan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.  

Jurnal 2 

Judul: I Dampak Pemberian Remisi Bagi Narapidana Kasus Narkotika 

Penulis Artikel: Sodik Muslih, Mutiara Ramadhani, Diyah Ayu Riyanti, Muhammad Marizal 

Nama Jurnal, Penerbit & Tahun Terbit: Jurnal Kajian Widya Pranata Hukum, Vol. 3 No. 2. Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram. (2021) 

Link: Jurnal https://ejournal.widyamataram.ac.id/index.php/pranata/article/view/443 

Latar Belakang: Indonesia adalah negara hukum hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, segala aspek kehidupan di masyarakat dilindungi oleh konstitusi negara. Dalam menyampaikan pendapat dimuka publik dapat menggunakan media elektronik telah diatur ketentuannya dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Banyak kasus yang melibatkan pasal-pasal dalam UndangUndang tersebut terutama dalam hal pencemaran nama baik. Dari banyaknya kasus yang melibatkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengenai pencemaran nama baik, sehingga Polri mengeluarkan Surat Edaran Polri Nomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk mewujudkan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, dan produktif. Dalam SE tersebut, Polri memiliki prinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian setiap perkara yang ada. 

Konsep Teori & Tujuan: UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan upaya dari Pemerintah melalui Kementerian Informasi dan Komunikasi yang bekerjasama dengan stakeholders dalam memunculkan sebuah perangkat hukum yang sesuai dengan perkembangan dunia informasi dan telekomunikasi akibat dari suatu proses globalisasi yang dialami oleh negara Indonesia. Menurut Bagir manan, penegakan hukum yang ada di Indonesia sudah gagal dalam mencapai tujuan yang diisyaratkan di dalam Undang-Undang “communis opinio doctorum”. Dalam hal ini maka di perlukannya sebuah alternative penegakan hukum yaitu Restorative Justice System yang menggunakan pendekatan sosio-kultural dan bukan pendekatan normative. Restorative Justice berperan untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan melibatkan masyarakat, korban serta pelaku kejahatan dengan tujuan tercapai keadilan bagi seluruh pihak. Restorative justice dilakukan guna untuk mempercepat akselerasi dari proses sistem peradilan pidana dengan proses menyederhanakan prosedur dalam sistem peradilan pidana. Hal ini dapat berupa restitusi, yang harus dilakukan dengan tetap memperhatikan prisip rule of law dan basic standards of a fair an just criminal proses Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Penerapan atau impelementasi Restorative Justice Dalam Penyelesaian Kasus Pencemaran Nama Baik. Upaya dari Restorative justice dapat dilakukan pada saat perkara tersebut belum masuk ke dalam penegakan hukum melalui proses pidana yang di lakukan oleh Institusi penegakan hukum, seperti Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung. 

Metode Penelitian: Hukum Normatif Metode penelitian ini menggunakan analisis deskriptif melalui pendekatan kualitatif dan Penelitian ini memiliki sifat yuridis normatif yang sumber datanya didapatkan melalui penelitian kepustakaan. Teknik pengumpulan dan analisis datanya adalah dengan mengumpulkan buku-buku yang sesuai, kemudian membaca setelah itu merangkum dan mengaitkan serta menganalisis permasalahan yang akan diteliti. Objeknya adalah UU ITE 

Hasil Penelitian & Pembahasan: Restorative Justice merupakan prinsip penegakan hukum dalam upaya penyelesaian perkara dengan mekanisme proses dialog dan mediasi yang melibatkan antara pihak pelaku, korban, keluarga pelaku dan korban untuk mewujudkan kesepakatan penyelesaian perkara yang mengedepankan pemulihan kembali dan mengembalikan pola hubungan dalam masyarakat. Dari banyaknya kasus yang melibatkan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terutama dalam kasus pencemaran nama baik. Sehingga Polri mengeluarkan Surat Edaran Polri Nomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk mewujudkan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, dan produktif. Dalam surat edaran, Polri memiliki prinsip bahwa penyelesaian hukum pidana merupakan solusi terakhir dalam penegakan hukum serta harus mendahulukan restorative justice dalam setiap perkara mengenai dugaan pelanggaran UU ITE. Dalam penerapannya, restorative justice melibatkan masyarakat, korban serta pelaku kejahatan. Tujuan dari keterlibatan itu adalah agar tercapai suatu keadilan bagi seluruh pihak. Sehingga terciptanya keadilan bagi pelaku yang menyatakan kebebasan berpendapat. Dalam penerapan dari restorative justice memiliki dampak positif dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dampak positif dengan adanya penerapan Restorative Justice yang ada di sistem hukum Indonesia yaitu meliputi : 1. Keadilan restoratif hanya memfokuskan pada keadilan bagi korban sesuai keinginan dan kepentingan pribadi, bukan negara yang menentukan 2. Memberikan pemulihan bagi semua pihak yang terlibat 3. Membuat pelaku bertanggung jawab terhadap kejahatan yang dilakukannya dan 4. Keadilan restoratif justice lebih mengarah pada penyelesaian perkara yang mencapai sasaran dan berkeadilan karena sering terjadi kasus yang melalui proses peradilan tidak mencapai sasaran dan berkeadilan bagi kedua belah pihak yang berperkara. Dari banyaknya kasus yang melibatkan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terutama dalam kasus pencemaran nama baik. Sehingga Polri mengeluarkan Surat Edaran Polri Nomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk mewujudkan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, dan produktif. Dalam surat edaran, Polri memiliki prinsip bahwa penyelesaian hukum pidana merupakan solusi terakhir dalam penegakan hukum serta harus mendahulukan restorative justice dalam setiap perkara mengenai dugaan pelanggaran UU ITE. Dalam penerapannya, restorative justice melibatkan masyarakat, korban serta pelaku kejahatan. Tujuan dari keterlibatan itu adalah agar tercapai suatu keadilan bagi seluruh pihak. Sehingga terciptanya keadilan bagi pelaku yang menyatakan kebebasan berpendapat. 

Kelebihan: Jurnal ini memaparkan dengan jelas setiap teori dan dapat mengaitkan teori dari sumber kepustakaan dengan permasalahan yang diambil dan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai restorative justice dan dampak penerapannya pada kasus pelanggaran UU ITE. 

Kekurangan: Dalam penataan jurnal ini sedikit kurang rapi terutama dalam poin-poin penjelasan, sehingga ketika dibaca oleh pembaca kurang leluasa dan harus kembali membaca awal pokok poin tersebut. 

Saran: Diharapkan dalam penataan pembahasan lebih rapi lagi sehingga dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca

Jurnal 3

Judul: Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Terhadap Curanmor Yang Dilakukan Oleh Anak Di Kabupaten Buleleng (Studi Kasus Perkara Nomor : B/346/2016/Reskrim) 

Penulis Artikel: Ni Made Ita Ariani, Ni Putu Rai Yuliartini, Dewa Gede Sudika Mangku 

Nama Jurnal, Penerbit & Tahun Terbit: e-Journal Komunitas Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Ilmu Hukum. Vol. 2 No. 2 (2019) 

Link Jurnal: https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jatayu/article/view/28776

Latar Belakang: Dewasa ini kasus kriminalitas yang dilakukan oleh anak sering kita jumpai, maka dari itu lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh anak begitu beragam mulai dari kasus pengeroyokan, pengerusakan, penganiayaan ringan maupun berat, sampai dengan kasus pencurian pencurian tersebut biasanya pencurian biasa, pencurian ringan dan curanmor. Di Kabupaten Buleleng ada sebuah kasus curanmor yang dilakukan oleh anak yang dibawah umur dan sebelumya pernah melakukan tindak pencurian namun dapat diselesaikan melalui sistem kekeluargaan di masyarakat, tetapi anak tersebut mengulangi tindak pencurian yaitu mencuri sebuah sepeda motor yang membuat anak tersebut harus berhadapan dengan hukum, namun sudah diupayakan tindakan diversi sehingga anak tersebut bisa dibebaskan, pada selang beberapa tahun anak tersebut lagi mengulangi tindak pidana pencurian.  

Konsep Teori & Tujuan: Dewasa ini kasus kriminalitas yang dilakukan oleh anak sering kita jumpai, maka dari itu lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, melalui UU SPPA ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kebijakan hukum pidana yaitu sebagai wujud dari pembaharuan hukum terhadap sistem peradilan pidana anak di Indonesia. Dalam penjelasan umum UU SPPA menyebutkan bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Ada 2 (dua) katagori perilaku anak yang membuat ia berhadapan dengan hukum yaitu: 1. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah 2. Juvenile Deliquency adalah perlaku kenakalan yang apabila dilakukan oleh oarang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum (Djamil: 2013:33). Sementara itu, dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana yang selebihnya disebut KUHP, ditegaskan bahwa seseorang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya karena adanya kesadaran diri dari yang bersangkutan dan ia juga telah mengerti bahwa perbuatan itu terlarang menurut hukum yang berlaku. Hal tersebut terlihat jelas dalam KUHP di Indonesia, bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur: (Soetodjo,2005:12) a. Adanya perbuatan manusia; b. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum; c. Adanya kesalahan; d. Orang yang berbuat harus dapat dipertanggungjawabkan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 terhadap kasus curanmor yang dilakukan oleh anak di Kabupaten Buleleng dan untuk menganalisis tentang tindakan yang dilakukan pihak kepolisian Polres Buleleng untuk mengupayakan diversi terhadap curanmor yang dilakukan oleh anak di Kabupaten Buleleng (perkara Nomor: B/346/2016/Reskrim).

Metode Penelitian Hukum Normatif: Jenis penelitian hukum ini adalah penelitian hukum Normatif, dengan sifat penelitian yaitu deskriptif. Adapun data dan sumber data itu adalah memakai data primer dan data sekunder, yang nantinya akan mempergunakan teknik pengumpulan data yang berupa teknik studi dokumen, wawancara, dan observasi. Sehingga nantinya data yang diperoleh itu akan di analisis secara kualitatif dengan mempergunakan teknik pengumpulan data non probability sampling dan penentuan subyeknya menggunakan teknik purposive sampling. 

Hasil Penelitian & Pembahasan: Implementasi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terhadap kasus curanmor yang dilakukan oleh anak di Kabupaten Buleleng dengan batas umur anak yang telah berumur 12, tetapi belum berumur 18 tahun sudah berjalan sesuai dengan peraturan perundang undangan mengenai pelaksanaan sistem peradilan terhadap anak yang melakukan tindak pidana curanmor, dari aparat penegak hukumnya yaitu Polres Bueleng selalu mengupayakan penyelesaian kasus tindak pidana yang diproses dengan mengutamakan keadilan restoratif dan penerapanya melalui diversi, namun masih ada kendala di dalam masyarakat, dimana masyarakat masih ada yang belum mengetahui tentang keberadaan dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana. Dan tindakan yang dilakukan pihak Kepolisian Polres Buleleng untuk mengupayakan diversi terhadap Curanmor yang dilakukan oleh anak di Kabupaten Buleleng (perkara Nomor: B/346/2016/Reskrim) yaitu pihak Polres buleleng melakukan tindakan seperti penyelidikan, penyidikan, membuat surat permintaan untuk diupayakan diversi pada pihak Bapas, Bapas melakukan penelitian kemasyarakatan terhadap anak yang melakukan tindak pidana, upaya musyawarah dari pelaku yang melibatkan anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif, sehingga dapat diupayakan diversi. Dalam proses diversi atas kasus (perkara Nomor: B/346/2016/Reskrim) berhasil mencapai kesepakatan, maka selanjutnya penyidik menyampaikan berita acara diversi berserta kesepakatan diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat penetapan. Setelah menerima penetapan, penyidik menerbitkan penetepan penghentian penyidikan atau Penuntut Umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan. 

Kelebihan: Setiap poin rumusan masalah telah dibahas dengan baik dalam jurnal ini dan telah dikaitkan dengan implementasi Undang-undangnya sehingga pembaca dapat memahami degan baik hasil pembahasannya serta adanya saran yang sangat mendukung diakhir jurnal ini. 

Kekurangan: Dalam jurnal ini masih belum diberikan landasan teori yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. 

Saran: Alangkah baiknya jika ditambahkan teori-teori yang dijadikan sebagai landasan tidak hanya pada pembahasan saja  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun