Terlebih lagi saat ini dua partai yang sebelumnya tergabung dalam Koalisi Merah Putih sudah mengalami perpecahan. Golkar terpecah menjadi dua, Golkar munas Bali dan Golkar munas Ancol. Sedangkan PPP juga terbelah menjadi dua. PPP hasil Muktamar Surabaya dan PPP hasil Muktamar Jakarta. Kedua partai tua yang terpecah tersebut juga terpecah disebabkan oleh dukungan politik yang berbeda. Golkar Munas Ancol mendukung pemerintahan, Sedangkan Golkar Munas Bali mendukung KMP. Pecahnya dua partai tersebut bisa disimpulkan akibat ketidakpercayaan politik pada kekuatan politik yang dimiliki oleh Koalisi Merah Putih.
Ditambah lagi saat ini Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan. Itu artinya secara ketetanegaraan, Saat ini tak ada kubu Golkar yang sah menurut hukum, Karena keputusan Mahkamah Agung tersebut belum ada tindaklanjut dari Kementrian Hukum dan HAM, Bahkan kubu Agung pun bisa menguggat putusan pimpinan DPR yang sudah diputuskan kubu Ical ke Pengadilan Tata Usaha yakni dengan landasan Undang-undang administasi pemerintahan.
Selain itu, posisi Demokrat juga masih sebagai penyeimbang. Dengan tetap berposisi sebagai penyeimbang, ada kemungkinan bagi Demokrat yang akan masuk dan bergabung dengan Koalisi Merah Putih. Namun jika Demokrat bergabung dengan KMP, Bisa dipastikan pula Demokrat akan mengalami nasib yang serupa dengan Golkar dan PPP yakni terbecah menjadi dua. Hal itu disebabkan oleh sikap perbedaan paham politik antar elit Demokrat. Dan sebenarnya Demokat sangatlah ingin berkoalisi dengan pemerintahan, Namun yang menjadi ganjalan bagi Demokrat adalah sikap politik Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri yang masih memiliki dendam politik dengan Ketua Umum Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono. Dendam politik ketika SBY berhasil mengalahkan Mega pada Pilpres 2004 masih membekas hingga kini dan sulit terhapuskan rasa sakit yang mendalam itu.
Akibatnya kini Demokrat bisa ibaratkan sedang terombang-ambing karena bingung untuk masuk koalisi mana. Jika masuk Koalisi Merah Putih sudah dipastikan Demokrat tidak akan mendapat keuntungan apapun. Apalagi dalam waktu dekat ini bisa dipastikan anggota dari Koalisi Merah Putih hanya terisa satu, yakni Gerindra. Itu artinya KMP sudah tak lagi memiliki kekuatan politik dan daya tawar Prabowo juga mkin lemah , Ini terlihat dari semua partai yang awalnya bersama KMP , Memutuskan putar haluan dan gabung dengan pemerintah. PAN sudah pergi, PKS akan segera menyusul. Maka tak ada pilihan lain bagi Demokrat, selain tetap sebagai penyeimbang, dan tidak memilih gabung ke dua koalisi yang ada.
Dengan demikian, saat ini peta politik di Senayan akan kembali berubah, dan diyakini pula tak akan ada hambatan lagi di Parlemen, terlebih lagi PKS sudah mendekat dengan Jokowi. Walaupun elit PKS menyatakan bahwa tetap di KMP dan hanya silahturahmi biasa dengan Jokowi. Dalam politik tak ada yang namanya silahturahmi biasa, Terlebih lagi partai oposisi seperti PKS yang memang masih malu-malu kucing untuk menyatakan bergabung dengan partai-partai pendukung pemerintahan, Tetapi sudah memuji-muji program Jokowi selama ini. Dan terkait manuver PKS, Maka ingin penulis simpulkan Presiden Jokowi harus hati-hati dan tetap waspada terkait manuver dadakan elit partai dakwah tersebut.
Belum selesai penafisran-penafisran yang liar terkat kunjungan dadakan partai dakwah PKS, Hari ini Isu kocok ulang kabinet kerja kembali menyeruak ke permukaan publik. Hari ini secara mengejutkan Partai Amanat Nasional (PAN) yang telah menyatakan dukungannya terhadap pemerintahan Jokowi pada awal September lalu, Membocorkan bahwa PAN akan mendapat dua posisi menteri di kabinet kerja, Bahkan PAN juga menyebut bahwa kocok ulang kabinet kerja dilakukan paling lambat pada Januari mendatang. Dua posisi yang diklaim oleh PAN adalah posisi Menteri Perhubungan dan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
Menguatnya isu kocok ulang kabinet ini terjadi di tengah di tengah tidak kondusifnya perpolitikan tanah air pasca mundurnya Ketua DPR, Setya Novanto yang turut memaksa terjadinya perubahan peta politik di Indonesia. Munculnya dua nama yang akan menggantikan posisi di dua posisi di kabinet kerja oleh PAN ini makin mengindikasikan bahwa sejak awal bergabung dengan pemerintahan Jokowi-JK, PAN memang sudah membuat startegi untuk meraih posisi dalam kabinet kerja, Namun sikap PAN yang mempublikasikan dua nama kadernya yang akan diplot dalam kabinet kerja tersebut seolah-olah membuat PAN bagaikan PDIP yang seolah-olah bisa mengatur-ngatur Presiden Jokowi.
Namun jika melihat dinamika politik terkini dan jika dikaitkan dengan kunjungan mendadak petinggi PKS pada Senin ( 21/12/2015) lalu bisa dipastikan pula PKS akan merapat dengan partai-partai koalisi pemerintahan (P4) hal ini tercermin dari perubahan sikap politik PKS yang sangat cepat jelang isu kocok ulang kabinet yang kini kembali menyeruak ke publik. Â Selain itu jika memang benar PAN akan mendapat dua kursi dalam kabinet kerja , diyakini Presiden Jokowi akan mengurangi jatah untuk PDIP, Ini sangat beralasan karena selama ini justru PDIP yang paling sering menganggu Presiden Jokowi.
Meskipun saat ini Jokowi terus ditekan oleh Pansus Pelindo II agar Jokowi mencopot Menteri Negara BUMN, Rini Soemarno hal tersebut diyakini tak akan mengoyahkan posisi tersebut, Karena Presiden Jokowi tahu dan paham betul posisi yang ditempati Rini tersebut memang sudah diincar oleh politisi PDIP yang sejak awal sudah merasakan sakit hati karena tidak mendapatkan posisi yang selalu berhubungan dengan ratusan triliunan di lahan basah tersebut.
Jokowi lebih cerdas dan cerdik dibanding PDIP yang hanya dapat merongrong Jokowi, Ancaman-ancaman yang diarahkan terhadap Jokowi oleh PDIP pun seperti memakzulkan Jokowi jika tak menidaklanjuti rekomendasi agar segera melakukan pencopotan terhadap Rini Somenaro hanya makin menjunjukan bahwa kualitas kader yang dimiliki PDIP yang berprestasinya sangatlah minim.
Duet maut Rieke Diah Pitaloka (oneng) dan Masinton Pasaribu hanya sebagian yang terlihat dari kualitas asli kader yang dimiliki oleh PDIP, Yang sangat jauh berbeda dengan kualitas tak tertandingi yang dimiliki oleh Jokowi yang sangat cerdik dalam membaca maksud para penetangnya selama ini. Duet maut dua kader PDIP tersebut juga makin menunjukan kebodohannya dalam hal pemahaman mengenai ketatanegaraan Indonesia, Karena legislatif sama sekali tidak memiliki kewenangan apapun soal pengangkatan maunpun pemberhentian menteri, Karena itu adalah hak prerogatif kepala negara.