[caption caption="Ketua DPR, Setya Novanto (Dok:Kompas.com)"][/caption]
Kasus pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla semakin menggelinding bak bola liar yang tak ada arah ujungnya. Setelah sebelumnya kuasa hukum Setya Novanto melaporkan Menteri ESDM, Sudirman Said ke Bareskrim Polri atas dugaan pencemaran nama baik, fitnah. Kini, Sudirman Siad juga dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh sejumlah aliansi masyarakat, tuduhannya pun tak main-main mereka meminta KPK mengusut dugaan korupsi yag dilakukan oleh Sudirman Said.
Namun jika mencermati lebih jauh terlihat jelas seolah ada skenario yang memang sudah disiapkan sejak awal kasus ini muncul, Jika Setya Novanto merasa terancam segala upaya dilakukan termasuk Ke Bareskrim Polri sampai ke Komisi Pemberantasan Korupsi, Namun satu hal yang menjadi keanehan bersama adalah disaat seluruh rakyat Indonesia sudah tahu apa yang sudah dilakukan oleh Setya Novanto, yang mengherankan disini adalah mahasiswa tidak bergerak sama sekali sebagaimana saat mahasiswa yang sangat hobby mendemo pemerintahan Jokowi-JK.
Tentunya perubahan sikap atau sikap diam mahasiswa ini diyakini tak lepas dari pengaruh kuat kapitalis yang dimiliki oleh Setya Novanto. Karena jika melihat apa yang dilakukan oleh Setya Novanto yang mencatut nama Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan meminta saham sebesar 49% sebagai imbalan jika Freeport mulus perpanjangan kontraknya jelas sudah ada unsur korupsinya, Tak hanya unsur korupsi semata tapi upaya makar pun unsurnya sudah terpenuhi. Beberapa pasal yang dapat menjerat Setya Novanto mulai dari Pasal 107 KUHP, pasal 53 KUHP, pasal 55 KUHP, pasal 88 KUHP, Pasal 12 UU No 12/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Pasal 15 UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi.
Pasal 107 KUHP
- Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
- Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
 Unsur makar:
- Makar dengan maksud menggulingkan pemerintah
- Para pemimpin dan pengatur makar
Penjelasan:
Mencermati isi rekaman, Setya Novanto yang menyebut bahwa ‘’Jokowi jatuh kalau Freeport diputus’’. Tujuannya jelas jika kontrak karya Freeport tak diperpanjang pemerintahan pun akan jatuh, dan ini sudah memenuhi unsur pertama dalam makar. Kemudian, para pemimpin dan penagtur makar, dalam rekaman tersebut sudah diatur oleh Setya Novanto bersama-sama dengan Riza Chalid yang sudah sepakat pemerintah jatuh jika kontrak Freeport diputus, dalam hal ini unsur kedua dalam hal makar pun sudah terpenuhi,jadi tak ada alasan untuk tidak menjerat Setya Novanto dan Riza Chalid dengan pasal 107 KUHP, Karena dua unsur perbuatan makar sudah terpenuhi.
Pasal 53 KUHP
- Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
- Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga
- Jika kejahatan diancam pidana mati atau seumur hidup, dijatuhkan pidana paling lama lima belas tahun penjara
 Unsur percobaan:
- Mencoba melakukan kejahatan
- Jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksana
- Tidak selesainya pelaksanaan itu
 Penjelasan:
Unsur pertama mencoba melakukan kejahatan sudah terpenuhi, hal tersebut dilihat dari adanya percobaan untuk menjatuhkan pemerintah jika kontrak Freeport diputus. Niat untuk menjatuhkan pemerintah sudah terlihat sejak awal mula pelaksanaannya, yakni adanya perencanaan yang matang, namun perencanaan tersebut gagal, dan unsur kedua pun sudah terpenuhi. Lalu bagaimana dengan unsur ketiga. Didalam rekaman tersebut baru hanya sebatas perencanaan yang sudah disiapkan, namun pelaksanaan tersebut menjadi tidak selesai karena diputarnya  isi rekaman tersebut yang sudah diputar oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Namun bisa dipastikan bahwa perencanaan tersebut terwujud bilamana isi rekaman tersebut tak diputar.
 Pasal 55 KUHP
- Dipidana sebagai pelaku tindak pidana
- Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan
- Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan, sarana, keterangan, sengaja mengajurkan orang lain supaya melakukan perbuatan
 Unsur:
- Mereka yang melakukan
- Yang menyuruh melakukan
- Turut serta melakukan
- Memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat
 Penjelasan:
Dalam hal ini unsur pertama, mereka yang melakukan sudah terpenuhi, yakni merujuk pada dua orang, Setya Novanto dan Riza Chalid yang melakukan percobaan menjatuhkan pemerintah jika Freeport tak diperpanjang. Unsur kedua, yang menyuruh melakukan, sudah terpenuhi juga halini terlihat dari adanya intruksi bahwa pemerintahan jatuh kalau sampai Jokowi berani menghentikan kontrak Freeport tersebut.
Unsur ketiga, Turut serta, ini juga sudah terlihat dari peran kedua orang tersebut yang turut serta atau secara bersama-sama merancang sebuah skenario yakni menjatuhkan pemerintahan Jokowi jika kontrak karya Freeport diputus. Memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, juga terpenuhi, ini merujuk pada Setya Novanto yang dapat memberikan jaminan kepada Freeport bahwa dia bisa memuluskan perpanjangan kontrak Freeport, ‘’karena rata-rata Presiden gol semua’’. Jadi empat unsur yang terkandung dalam pasal 55 ayat 1 sudah terpenuhi semua.
 Pasal 88 KUHP
 Dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat melakukan kejahatan
Unsur:
- Ada permufakatan jahat
- Apabila ada dua orang atau lebih
- Telah sepakat melakukan kejahatan
Penjelasan:
Upaya menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan wewenang dengan tujuan memuluskan perpanjangan kontrak Freeport , yang mana dari sana akan mendapatkann imbalan saham sebesar 49% yang tujuannya akhirnya, bilamana Jokowi berani memutus kontrak Freeport Jokowi akan jatuh, dan hal-hal inilah yang mmebuat unsur pertama sudah terpenuhi. Unsur dua orang atauu lebih sudah terpenuhi dengan adanya dua sosok yakni Setya Novanto dan Riza Chalid , unsur ketiga yang sudah sepakat melakukan kejahatan berupa permufakatan jahat yakni menggulingkan pemerintahan jika kontrak Freeport diputus. Dengan kesimpulan akhir, semua unsur dalam pasal 88 KUHP sudah terpenuhi.
Pasal 12 Â UU No 20/2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi
(e) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau menggunakan kekuasaanya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Unsur:
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara
- dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum
- menggunakan kekuasaanya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Penjelasan: DPR adalah lembaga negara dan Setya Novanto yang merupakan Ketua DPR adalah bagian dari penyelenggara negara, unsur pertama sudah terpenuhi. Meminta saham sebesar 49% untuk membangun PLTA di Urumuka, Papua , yang tak lain tujuannya adalah untuk meningkatkan pendapatan pribadinya, membuat unsur kedua berupa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum juga menjadi terpenuhi.
Unsur ketiga juga menjadi terpenuhi karena didalam rekaman tersebut terdengan Setya Novanto telah menggunakan jabatannya untuk memaksa seseorang memberikan sesuatu, seseorang disini bisa ditafsiran dari sebuah badan hukum yang berbada hukum di Indonesia, Freeport Indonesia, dimana Novanto meminta 49% saham kepada Freeport dan kalau tidak diberikan Novanto tak menjamin Freeport, itu artinya ada kesan memaksa agar saham sebesar 49% tersebut diberikan kepada Setya Novanto agar Novanto mau membantu Freeport agar diperpanjang kontraknya.
Dan kesimpulannya ketiga unsur sudah terpenuhi semuanya. Dan perlu ditekankan bahwa tindakan Setya Novanto yang menyerempet wewenang eksekutif bukan hanya sebagai perbuatan melawan hukum tetapi juga bertentangan dengan trias politica, yang sudah jelas membagi wewenang antara legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Pasal 15 UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 15
- Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai pasal 14Unsur:
- Melakukan percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi
Penjelasan: Ketiga unsur ini sudah terpenuhi semua karena adanya percobaan untuk korupsi dengan meminta 49%saham dari Freeport untuk membangun PLTA di Urumuka dan meminta Freeport membeli hasil produksinya , lalu kemudian hasil pembelian tersebut menjadi milik Setya Novanto selaku pemegang sahamnya, membantu Freeport mengurus perpanjangan kontraknya tapi tdak gratis dan ada imbalan saham 49%, Maka kesimpulannya sudah ada percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat yang dilakukan oleh Novanto dengan mencatut nama Jokowi-JK, dan mengambil keuntungan jika saham tersebut didapatnya.
Maka kalau melihat dari semua pasal beserta unsurnya yang sudah penulis ulas sampai mendalam seperti ini, Makin jelas bahwa kadar kesalahan Setya Novanto dimata hukum sangatlah berat dan sangat sulit untuk lolos dari jeratan pidana, karena semua unsur dalam semua pasal diatas sudah terpenuhi semuanya. dan jika penegak hukum serius mengusut kasus Setya Novanto, Maka pasal 107 KUHP tentang makar bisa dijeratkan pada Setya Novanto, karena unsur makarnya sudah terpenuhi semuanya.
Namun yang menjadi aneh ketika Setya Novanto yang sebelumnya sudah menyatakan akan memaafkan Sudirman Said, lalu kemudian melalui kuasa hukumnya, Firman Wijaya, Sudirman Said dilaporkan ke Bareskrim Polri dan pasal yang disangkakan pun tak main-main yakni pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik. Namun sebelumnya dalam acara ILC, Kuasa hukum Setya Novanto sudah membahas pasal 26 UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan mempertimbangkan akan menggunakan pasal tersebut begitu pla banyak ahli hukum pidana yang berbicara di ILC hampir rata-rata membelokkan penafsiran hukum yang sebneranya khusunya pasal 26Â UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Karena menurut ahli hukum dan kuasa hukum Novanto, rekaman tersebut ilegal, tapi dalam kesempatan yang baik ini penulis ingin berbagi ilmu dan mudah-mudahan bermanfaat untuk kita semua. Rekaman yang direkam oleh Maroef Syamsoeddin tersebut legal bukan ilegal, mengapa demikian, silakan cermati ulasan mendalam dibawah ini.
Pertama, perlu diketahui bahwa tidak ada satu pasal dalam satu undang-undang pun di negeri ini yang menyatakan bahwa perekaman adalah sebuah perbuatan melawan hukum. Yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum disini adalah ketika suatu perbuatan yang dilakukan tersebut sudah masuk kategori tindak pidana, berbeda dengan dalam istilah perdata yang hanya disebut perbuatan melanggar hukum.
Kedua, didalam UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tidak mengatur satu pasal pun mengenai perekaman yang dilarang. Karena perekaman adalah tindakan yang legal dan tak bertentangan maupun tidak melawan hukum, kecuali penyadapan yang memang tak bisa sembarangan dilakukan. Yang berhak menyadap jelas hanya penegak hukum. KPK bisa langsung melakukan penyadapan tanpa harus meminta izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Sedangkan Kepolisian dan Kejaksaan harus mendapat izin terlebih dahulu kalau ingin melakukan penyadapan. Dan penyadapan pun dapat dilakukan dengan dua cara, baik merekam atau tidak merekam, merekam disini bukan termasuk maksud dari perekaman.
Ketiga, dalam pasal 31 ayat 1 UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan: kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan atau mencatat transmisi Informasi dan Transaksi Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.
Penjelasan: dari penjelasan pasal diatas jelasah sudah bahwa ‘’Baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi’’. Itu artinya perekaman seperti yang dilakukan oleh maroef Syamsoeddin melalui handphone samsungnya adalah sebuah tindakan yang tak bisa dikaitkan dengan pasal ini, karena handphone adalah bagian dari media telekomunikasi bukan media elektronik semacam komputer antar komputer maupun laptop antar laptop. Jika ada yang menyebut handphone juga bisa mentransfer atau mentansmisikan data, ya memang benar, namun pada konteksnya opasa ini hanya memasukan kata ‘’media elektronik’’ bukan media telekomunikasi seperti handphone.
Kemudian pasal 31 ayat 2: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi dan Transaksi dan Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan atau penghentian Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
Penjelasan: dari penjelasan pasal diatas juga makin jelas bahwa sebenarnya yang hanya dapat dipidanakan dengan acuan pasal ini adalah ketika seseorang tersebut melakukan transmisi data-datanya melalui dokumen elektronik maupun transaksi elektronik. Contohnya: A memindahkan semua dokumen rahasianya ke komputer B, dan pada saat yang bersamaan A dan B terlibat sebuah permasalahan sehingga B mendendam dengan A, Lalu kemudian oleh B dokumen yang sudah ditransmisikan tersebut disebarluaskannya. Jika mencermati contoh tersebut, benar B dapat dipidana. Namun dalam kasus perekaman yang dilakukan oleh Maroef Syamsoeddin sama sekali tidak melalui media elektronik hanya melalui media telekomunikasi, dan kata ‘’media telekomunikasi’’ tak terdapat dalam pasal ini, itu artinya perbuatan merekam adalah legal secara hukum yang tak lain tujuannya adalah untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan terjadi.
 Pasal 26 UU ITE:
26 Ayat 1: Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.
Penjelasan: Yang dilakukan oleh Maroef Syamsoeddin adalah merekam melalui media telekomunikasi bukan media elektronik, sehingga tak tepat jika menjadikan pasal ini sebagai acuan untuk memperkarakan Maroef Syamsoeddin. Apalagi dalam ayat 2 nya jelas bahwa yang bisa dilakukan hanyalah menggugat (perdata) bukan menuntut (pidana). Contoh dari media telekomunikasi: Handphone, sedangkam contoh dari media elektronik: Komputer maupun laptop, dan terjadi perpindahan data dari satu kompuer ke komputer lainnya atau terjadi perpindahan data ke laptop lainnya bukan dari handphone ke plash disk, karena plash disk adalah bagian dari non-elektronik
26 ayat 2: Setiap orang yang dilanggar haknya sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan undang-undang ini.
Penjelasan: kata ‘’gugatan’’ perlu dipahami sebagai kata yang hanya dikenal dalam istilah hukum perdata bukan dalam istilah hukum pidana. Nah dalam kasus rekaman yang dianggap oleh Setya Novanto adalah ilegal dan melawan hukum, Maka Setya Novanto jika mengacu pada pasal 26 ayat 2 tidak dapat mempidanakan Sudirman Said maupun Maroef Syamsoeddin, karena istilah ‘’gugatan’’ yang akan berujung pada ganti kerugian hanya dikenal dalam istilah keperdataan. Dalam pidana dikenal sebagai tuntutan. Sehingga jika Setya Novanto yang membawa ini ke ranah pidana adalah salah besar, karena jelas dalam konteks gugatan, hanyalah dikenal dalam perdata bukan pidana.
Contohnya: Ketika sebuah mobil mewah ditabrak oleh sebuah truk atau fuso dan mobil mewah tesebut ringsek berat, Maka yang dapat dilakukan oleh si pemilik mobil terhadap si penabrak mobilnya adalah dengan mengajukan gugatan ganti kerugian (perdata) atas tindakan yang telah merugikan si pemilik mobil tersebut. sampai disitu hanya baru sebatas pidana. Dan jika ada korban tewas dalam kejadian tersebut, barulah dapat diproses secara pidana. Ini adalah teori hukum yang sebenarnya, Namun dilapangan tak demikian karena aturan hukum dan pola memahami hukum yang salah mengakibatkan aturan pun tak dihiraukan.
Nah, Sedangkan dalam kasus Setya Novanto, jika merujuk pada pasal 26 ayat 2 UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang dapat dilakukan oleh Setya Novanto dan kuasa hukumnya adalah menempuh jalur perdata yakni dengan melayangkan gugatan ganti kerugian ke pengadilan negeri di wilayah hukum tempat terjadinya pelanggaran tersebut, Karena apa yang dilakukan Maroef Syamsoeddin bukan tindakan melawan hukum (pidana) melainkan hanya perbuatan melanggar hukum (perdata). Jadi secara otomatis, laporan yang disampaikan oleh kuasa hukum Setya Novanto, Firman Wijaya ke Bareskrim Polri harus diterima sebagai bagian dari upaya keperdataan atas gugatan ganti kerugian yang telah merugikan Setya Novanto akibat tersebarnya rekaman tersebut. dan tidak bisa dituntut secara pidana, karena konteks pasal 26 ayat 2 ini jelas ada kata ‘’gugatan’’ yang hanya dikenal dalam perdata bukan pidana. Jadi, Setya Novanto tidak bisa menutuntut Sudirman Said karena jika berbicara rekaman tersebut ilegal,Setya Novanto tak perlu merujuk pasal tesebut, karena jelas dalam pasal itu hanya memuat ''media elektronik'' bukan media telekomunikasi. Terlihat jelas ujung dari kasus ini Sudriman Said yang akan menjadi korban untuk dikriminalisasikan oleh Novanto, karena tak ada aturan yang melarang perekaman tersebut. Rekaman adalah legal. kecuali penyadapan yang dapat dilakukan dengan dua cara, pertama dengan merekam dan tidak merekam (langsung diperdengarkan oleh si penyadap.
*Analisa ini semata saya buat hanya untuk mencerahkan kita semua agar kita tak terbawa arus ahli pidana di ILC tvOne yang sudah terang-terangan memelintir pasal 26 UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Lebih baik kita tahu yang sebenarnya daripada terbawa arus ahli di ILC tvOne yang sudah memelintir pasal 26 tersebut.
RICKY VINANDO/Â MAHASISWA FAKULTAS HUKUM /BIDANG PIDANA
UNIVERSITAS JAYABAYA/ANGKATAN 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H