Dalam euforia pemikiran sekular, filsuf-sosiolog Prancis, Auguste  Comte pada pertengahan abad ke-19 membayangkan akan terjadi keruntuhan agama oleh karena perkembangan ilmu pengetahuan yang tak dapat dibendung. Comte bersandar pada logika sekular perkembangan filsafat barat, masyarakat berevolusi dari tingkat primitif ke tingkat moderen yang kemudian menyertakan transisi dari teologi ke ilmu pengetahuan.
 Namun fakta kekinian tak seindah yang dibayangkan oleh Comte dan filsuf lain yang memprediksikan keburaman masa depan agama. Agama justru bangkit dan memaksa negara bersikap dilematis dalam pengambilan keputusan, antara memperjuangkan kepentingan publik atau kepentingan agama tertentu.
Kebangkrutan Sekularisme dan Kebangkitan Fundamentalisme
Sekularisme secara umum dipahami sebagai pemisahan secara tegas antara urusan agama dan negara. Dalam sejarahnya yang panjang, sekularisme bahkan terkristal dalam bentuk aliran di bidang etika dan filsafat. Ada begitu banyak rumusan tentang Sekularisme oleh para filsuf, namun nyaris semua terperangkap dalam pengertian yang sama yakni paham yang berpendirian bahwa agama tidak dimasukan dalam urusan politik, negara, atau institusi publik (Bdk, KBBI).Â
Pemikiran sekular didukung oleh para filsuf seperti John Locke, G.W Leibniz, Thomas Hobbes, David Hume yang menisbikan peran agama dalam menyelesaikan masalah publik. Agama dianggap sebagai irasional yang ompong mengunyah permasalahan publik. Progresifitas ilmu pengetahuan dinilai berpotensi meluluhlantakkan kekuatan agama.Â
Ciri khas logika berpikir sekularisme diungkapkan oleh filsuf Jerman, Jurgen Habermas bahwa Para warga negara sekular yakin bahwa keyakinan-keyakinan religius dan komunitas-komunitas religius merupakan barang peninggalan purbakala yang masih tersisa di zaman moderen ini, mereka hanya dapat memahami kebebasan beragama sebagai margasatwa kultural bagi spesies-spesies yang hampir punah. Dari pandangan mereka, agama tidak lagi memiliki wewenang internalnya (Budi Hardiman, Seri Kuliah Filsafat 'Etika Politik' di Komunitas Salihara, 20 November 2010).
Barangkali dengan berbagai pemikiran sekularisme yang valid, Auguste Comte kemudian membayangkan sebuah dunia baru yang bakal dibebaskan oleh cengkeraman 'sabda-sabda agama'.Â
Namun benarkah demikian? Logika berpikir sekularisme justru mengalami kebangkrutan seiring munculnya suara-suara keras agama di ruang publik. Kebangkitan agama muncul dalam gerakan-gerakan fundamentalisme yang mencoba  menyeret negara untuk berpihak pada kepentingan agama.Â
Kaum fundamentalisme juga terang-terangan memaksa negara untuk memprivatisasikan ruang publik demi mengkristalkan teologi melalui kebijakan publik.
Fundamentalisme di sini mengacu pada gambaran yang diberikan oleh Encycopedia Britannica sebagai kelompok penganut komunitas konservatif teologis yang menekankan inspirasi total dan bahkan harafiah dari kitab suci dan otoritas absolut mereka dalam hal iman dan perbuatan. Istilah ini kemudian menjadi familiar untuk semua gerakan keagamaan yang ingin kembali ke 'fundamental' dan pada setiap gerakan yang mencari kekuatan politik untuk tujuan pemerintahan sesuai nilai-nilai agama (Jochen Hppler and Andrea Lueg, 1995). Â
Konsep fundamentalisme saat ini menggambarkan suatu bentuk keyakinan religius tertentu yang ditandai oleh ekstremisme dan kecenderungan kekerasan (Jakobus, M. Vorster, 2007).
Fenomena sosial-politik saat ini banyak memberikan sinyal bahwa sekularisme tengah mengalami kebangkrutan diiringi geliat kebangkitan fundamentalisme. Teologi agama tertentu yang beroperasi pada ranah privat keagamaan dipaksakan untuk menjadi nilai yang wajib dianut oleh warga negara yang pluralistis. Â Gejala ini gampang dilihat dari pergerakan kaum fundamentalisme di beberapa belahan dunia yang rapuh membedakan dirinya sebagai warga negara (citizen) atau umat beriman.
Di Indonesia, kebangkitan fundamentalisme ini menyelinap dalam semangat komunitarianisme yang semakin menguat. Masyarakat cenderung mengindentifikasi diri sebagai etnos, yakni sebagai warga komunitas lokal, atau sebagian dari agama atau etnis dari pada sebagai warga negara Indonesia. Semangat komunitarianisme ini menghasilkan situasi politik kewargaan yang mengkhawatirkan, karena Indonesia diam-diam sesungguhnya berada dalam bahaya politik identitas. Kecenderungan ini tidak hanya berpotensi melahirkan berbagai tindakan kekerasan dan teror di tanah air, melainkan secara formal sukses menerobos ke dalam sistem politik yang kemudian melahirkan undang-undang bernuansa religius dan etnosentris (Gusti A.B Menoh, 2015).
Jika demikian adanya maka tak mengherankan munculnya penolakan terhadap kepala daerah yang tak seiman dengan mayoritas warga, tuduhan 'jiwa-jiwa tersesat' terhadap agama minoritas, Perda berbasis agama dan sebagainya. Arogansi ekslusivisme fundamentalisme ini bila terpelihara dengan baik maka secara masif akan mendoktrin negara untuk berada pada persimpangan jalan, antara menyuarakan kepentingan fundamentalisme atau netral di antara pluralisme. Negara bahkan bisa mengebiri netralitasnya sendiri jika terjerumus dalam doktrin para fundamentalis.
Netralitas Negara di Persimpangan Jalan
Fenomena politik Indonesia memang sarat dengan muatan politik identitas. Dalam pergolakan politik sebelum Pemilu 2019 digelar, netralitas negara sebetulnya tengah guncang. Gerakan fundamentalisme yang menyelinap masuk ke dalam beberapa partai politik nyaris sukses mengarahkan negara untuk mengakomodasi teologi tertentu untuk digunakan sebagai nilai-nilai bersama. Politisasi agama menjadi senjata para kaum fundamentalis untuk memengaruhi massa dan sekaligus menekan negara. Para elite politik bahkan dipaksakan untuk mencari mitra politik yang setidaknya memiliki power dalam mengatasi kekuatan fundamentalisme.
Riak-riak gerakan fundamentalisme sejatinya masih terbaca hingga pasca Pemilu 2019. Sebut saja penumpang gelap dalam aksi 21,22 Mei 2019 dan sebagainya.
Aksi politik dan kegaduhan yang disebutkan di atas menjadikan kelompok tertentu membuka kedok 'fundamentalisme' nya ke hadapan publik. Bahaya ini tidak hanya berpotensi mengancam keberagaman melainkan menghancurkan NKRI. Oleh karena itu negara harus menegaskan posisinya sebagai institusi yang tidak memihak kepada kelompok manapun dan tidak membiarkan dirinya menjadi 'bulan-bulanan' kelompok-kelompok tersebut.
Kehadiran negara bagi semua golongan dan bebas dari kooptasi aliran manapun harus menjadi prioritas. Netralitas negara yang berada pada persimpangan jalan, antara memihak fundamentalisme, atau sekularisme atau warga negara harus mendapat pencerahan agar tak sesat dalam mengambil keputusan. Sebagai negara demokrasi, negara Indonesia tidak harus melenyapkan gerakan fundamentalisme yang adalah bagian dari warga negara. Oleh karena itu negara patut mencari referensi dan formulasi yang tepat untuk meredam gerakan fundamentalisme sekaligus penegasan sikap netralitas. Singkatnya, Negara harus memikirkan upaya pendamaian fundamentalisme, sekularisme dan warga negara agar sikap netralitas negara dipertajam.
Tawaran Etika Politik Jurgen Habermas
Filsafat Jurgen Habermas sejatinya telah diperkenalkan oleh banyak orang, salah satu di antara yang mempopulerkan seraya mengkritisi pemikiran Habermas adalah F. Budiman Hardiman dalam beberapa bukunya. Ada catatan kritis yang menggambarkan etika politik Habermas bukanlah yang sempurna seperti yang diuraikan Hardiman. Namun ada konsep etika politik Habermas yang kontekstual dan perlu dijadikan referensi oleh negara demokrasi yang menilai fundamentalisme sebagai ancaman dalam keberagaman.
Habermas seperti yang diulaskan Hardiman (Dalam Gusti A.B Menoh, 2015), bersikap toleran terhadap gerakan fundamentalis namun tetap ada distingsi ketat antara ruang publik dan ruang privat sebab negara bagaimana pun juga tetap menganut asas netralitas dengan  membedakan antara 'yang moral dan yang etis'.
Berkaitan dengan netralitas negara, Habermas menulis:
Asas pemisahan negara dan gereja menuntut ketidakberpihakan yang ketat dari institusi-institusi politis dalam hubungannya dengan kelompok-kelompok agama; parlemen dan peradilan, pemerintah dan birokrasi menciderai perintah untuk netral terhadap pandangan dunia, jika mereka memprivelegekan satu pihak dengan mengorbankan pihak lain...Jadi, membiarkan pembenaran-pembenaran religius masuk ke dalam proses legislasi akan menciderai asas (netralitas) itu sendiri (Zwischen Natualismus und Religiun, Shurkamp, 2005., dalam Hardiman, 2010).
Pernyataan Habermas di atas menganjurkan agar negara bersikap netral seperti neraca yang setimbang. Negara tidak boleh bersikap akomodatif dengan mempersilahkan isi doktrin fundamentalisme mendapat tempat dalam proses legislasi atau kepemerintahan. Netralitas tidak sama dengan sekularitas, oleh karena itu bersikap netral juga bukan berarti menolak mentah-mentah nilai-nilai fundamentalis sebab jika demikian negara sejatinya menyembunyikan pemihakan terhadap sekularisme.Â
Pengertian pada level ini berarti ada kemungkinan negara menerima nilai-nilai yang diperjuangkan oleh fundamentalisme. Alasan religius kaum fundamentalis tidak harus ditolak oleh negara dan bisa diterima oleh negara selagi nilai-nilai teologi itu dirasionalisasikan.
Habermas mensyaratkan 'sikap epistemis' kaum fundamentalisme untuk memungkinkan deliberasi publik. 'Sikap epistemis' di sini bukan mendialogkan isi doktrin religius ekslusif, melainkan mengambil isi rasional inklusif dalam iman religius yang bersentuhan dengan persoalan keadilan sosial kemanusiaan universal (Hardiman, 2010). Sikap ini sesungguhnya bukan hanya dilimpahkan kepada kaum fundamentalisme tetapi juga kepada sekularisme sehingga negara hanya bisa menerima nilai-nilai yang rasional universal dan memberlakukannya kepada publik.Â
Pada aras penjelasan inilah netralitas negara menjadi murni dan bebas dari kooptasi fundamentalisme maupun sekularisme. Dengan demikian meskipun dalam masyarakat yang homogen dengan satu agama pun, para anggota akan memahami eksistensi mereka sebagai warga negara bukan sebagai umat.
Kematangan pemikiran Habermas ini sesungguhnya merangsang negara untuk tidak secepatnya mengatakan 'tidak' pada fundamentalis atau pada sekularisme. Sikap netralitas negara dengan menguji isi doktrin fundamentalis atau kelompok mana pun lulus dari prinsip universalisasi menurut filsafat Habermas merupakan keniscayaan. Pengujian tersebut bersifat intersubyektif sehingga mampu meraih konsensus yang kemudian menjadi nilai-nilai yang diberlakukan dalam kebijakan publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H