Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Penulis - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Netralitas Negara dan Kebangkitan Fundamentalisme

1 Juli 2019   15:46 Diperbarui: 1 Juli 2019   15:54 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fundamentalisme di sini mengacu pada gambaran yang diberikan oleh Encycopedia Britannica sebagai kelompok penganut komunitas konservatif teologis yang menekankan inspirasi total dan bahkan harafiah dari kitab suci dan otoritas absolut mereka dalam hal iman dan perbuatan. Istilah ini kemudian menjadi familiar untuk semua gerakan keagamaan yang ingin kembali ke 'fundamental' dan pada setiap gerakan yang mencari kekuatan politik untuk tujuan pemerintahan sesuai nilai-nilai agama (Jochen Hppler and Andrea Lueg, 1995).  

Konsep fundamentalisme saat ini menggambarkan suatu bentuk keyakinan religius tertentu yang ditandai oleh ekstremisme dan kecenderungan kekerasan (Jakobus, M. Vorster, 2007).

Fenomena sosial-politik saat ini banyak memberikan sinyal bahwa sekularisme tengah mengalami kebangkrutan diiringi geliat kebangkitan fundamentalisme. Teologi agama tertentu yang beroperasi pada ranah privat keagamaan dipaksakan untuk menjadi nilai yang wajib dianut oleh warga negara yang pluralistis.  Gejala ini gampang dilihat dari pergerakan kaum fundamentalisme di beberapa belahan dunia yang rapuh membedakan dirinya sebagai warga negara (citizen) atau umat beriman.

Di Indonesia, kebangkitan fundamentalisme ini menyelinap dalam semangat komunitarianisme yang semakin menguat. Masyarakat cenderung mengindentifikasi diri sebagai etnos, yakni sebagai warga komunitas lokal, atau sebagian dari agama atau etnis dari pada sebagai warga negara Indonesia. Semangat komunitarianisme ini menghasilkan situasi politik kewargaan yang mengkhawatirkan, karena Indonesia diam-diam sesungguhnya berada dalam bahaya politik identitas. Kecenderungan ini tidak hanya berpotensi melahirkan berbagai tindakan kekerasan dan teror di tanah air, melainkan secara formal sukses menerobos ke dalam sistem politik yang kemudian melahirkan undang-undang bernuansa religius dan etnosentris (Gusti A.B Menoh, 2015).

Jika demikian adanya maka tak mengherankan munculnya penolakan terhadap kepala daerah yang tak seiman dengan mayoritas warga, tuduhan 'jiwa-jiwa tersesat' terhadap agama minoritas, Perda berbasis agama dan sebagainya. Arogansi ekslusivisme fundamentalisme ini bila terpelihara dengan baik maka secara masif akan mendoktrin negara untuk berada pada persimpangan jalan, antara menyuarakan kepentingan fundamentalisme atau netral di antara pluralisme. Negara bahkan bisa mengebiri netralitasnya sendiri jika terjerumus dalam doktrin para fundamentalis.

Netralitas Negara di Persimpangan Jalan

Fenomena politik Indonesia memang sarat dengan muatan politik identitas. Dalam pergolakan politik sebelum Pemilu 2019 digelar, netralitas negara sebetulnya tengah guncang. Gerakan fundamentalisme yang menyelinap masuk ke dalam beberapa partai politik nyaris sukses mengarahkan negara untuk mengakomodasi teologi tertentu untuk digunakan sebagai nilai-nilai bersama. Politisasi agama menjadi senjata para kaum fundamentalis untuk memengaruhi massa dan sekaligus menekan negara. Para elite politik bahkan dipaksakan untuk mencari mitra politik yang setidaknya memiliki power dalam mengatasi kekuatan fundamentalisme.

Riak-riak gerakan fundamentalisme sejatinya masih terbaca hingga pasca Pemilu 2019. Sebut saja penumpang gelap dalam aksi 21,22 Mei 2019 dan sebagainya.

Aksi politik dan kegaduhan yang disebutkan di atas menjadikan kelompok tertentu membuka kedok 'fundamentalisme' nya ke hadapan publik. Bahaya ini tidak hanya berpotensi mengancam keberagaman melainkan menghancurkan NKRI. Oleh karena itu negara harus menegaskan posisinya sebagai institusi yang tidak memihak kepada kelompok manapun dan tidak membiarkan dirinya menjadi 'bulan-bulanan' kelompok-kelompok tersebut.

Kehadiran negara bagi semua golongan dan bebas dari kooptasi aliran manapun harus menjadi prioritas. Netralitas negara yang berada pada persimpangan jalan, antara memihak fundamentalisme, atau sekularisme atau warga negara harus mendapat pencerahan agar tak sesat dalam mengambil keputusan. Sebagai negara demokrasi, negara Indonesia tidak harus melenyapkan gerakan fundamentalisme yang adalah bagian dari warga negara. Oleh karena itu negara patut mencari referensi dan formulasi yang tepat untuk meredam gerakan fundamentalisme sekaligus penegasan sikap netralitas. Singkatnya, Negara harus memikirkan upaya pendamaian fundamentalisme, sekularisme dan warga negara agar sikap netralitas negara dipertajam.

Tawaran Etika Politik Jurgen Habermas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun