Filsafat Jurgen Habermas sejatinya telah diperkenalkan oleh banyak orang, salah satu di antara yang mempopulerkan seraya mengkritisi pemikiran Habermas adalah F. Budiman Hardiman dalam beberapa bukunya. Ada catatan kritis yang menggambarkan etika politik Habermas bukanlah yang sempurna seperti yang diuraikan Hardiman. Namun ada konsep etika politik Habermas yang kontekstual dan perlu dijadikan referensi oleh negara demokrasi yang menilai fundamentalisme sebagai ancaman dalam keberagaman.
Habermas seperti yang diulaskan Hardiman (Dalam Gusti A.B Menoh, 2015), bersikap toleran terhadap gerakan fundamentalis namun tetap ada distingsi ketat antara ruang publik dan ruang privat sebab negara bagaimana pun juga tetap menganut asas netralitas dengan  membedakan antara 'yang moral dan yang etis'.
Berkaitan dengan netralitas negara, Habermas menulis:
Asas pemisahan negara dan gereja menuntut ketidakberpihakan yang ketat dari institusi-institusi politis dalam hubungannya dengan kelompok-kelompok agama; parlemen dan peradilan, pemerintah dan birokrasi menciderai perintah untuk netral terhadap pandangan dunia, jika mereka memprivelegekan satu pihak dengan mengorbankan pihak lain...Jadi, membiarkan pembenaran-pembenaran religius masuk ke dalam proses legislasi akan menciderai asas (netralitas) itu sendiri (Zwischen Natualismus und Religiun, Shurkamp, 2005., dalam Hardiman, 2010).
Pernyataan Habermas di atas menganjurkan agar negara bersikap netral seperti neraca yang setimbang. Negara tidak boleh bersikap akomodatif dengan mempersilahkan isi doktrin fundamentalisme mendapat tempat dalam proses legislasi atau kepemerintahan. Netralitas tidak sama dengan sekularitas, oleh karena itu bersikap netral juga bukan berarti menolak mentah-mentah nilai-nilai fundamentalis sebab jika demikian negara sejatinya menyembunyikan pemihakan terhadap sekularisme.Â
Pengertian pada level ini berarti ada kemungkinan negara menerima nilai-nilai yang diperjuangkan oleh fundamentalisme. Alasan religius kaum fundamentalis tidak harus ditolak oleh negara dan bisa diterima oleh negara selagi nilai-nilai teologi itu dirasionalisasikan.
Habermas mensyaratkan 'sikap epistemis' kaum fundamentalisme untuk memungkinkan deliberasi publik. 'Sikap epistemis' di sini bukan mendialogkan isi doktrin religius ekslusif, melainkan mengambil isi rasional inklusif dalam iman religius yang bersentuhan dengan persoalan keadilan sosial kemanusiaan universal (Hardiman, 2010). Sikap ini sesungguhnya bukan hanya dilimpahkan kepada kaum fundamentalisme tetapi juga kepada sekularisme sehingga negara hanya bisa menerima nilai-nilai yang rasional universal dan memberlakukannya kepada publik.Â
Pada aras penjelasan inilah netralitas negara menjadi murni dan bebas dari kooptasi fundamentalisme maupun sekularisme. Dengan demikian meskipun dalam masyarakat yang homogen dengan satu agama pun, para anggota akan memahami eksistensi mereka sebagai warga negara bukan sebagai umat.
Kematangan pemikiran Habermas ini sesungguhnya merangsang negara untuk tidak secepatnya mengatakan 'tidak' pada fundamentalis atau pada sekularisme. Sikap netralitas negara dengan menguji isi doktrin fundamentalis atau kelompok mana pun lulus dari prinsip universalisasi menurut filsafat Habermas merupakan keniscayaan. Pengujian tersebut bersifat intersubyektif sehingga mampu meraih konsensus yang kemudian menjadi nilai-nilai yang diberlakukan dalam kebijakan publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H