Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ketika Sastra Bukan Lagi Domain Guru Bahasa Indonesia

16 Juli 2024   00:23 Diperbarui: 16 Juli 2024   15:03 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baiklah, saya kembali ke jalur yang semestinya. Mendongengkan diskusi via WhatsApp bersama sahabat saya yang juga sesepuhnya desa Tunjungsari, Kecamatan Siwalan, Kabupaten Pekalongan itu.

Kembali lagi pada persoalan porsi pembelajaran sastra di sekolah. Sebagaimana dituturkan Prof. Manu, di zaman dahulu, sastra merupakan bacaan wajib bagi para cantrik. 

Mengapa? Karena di dalamnya terkandung berbagai pengetahuan. Tidak semata-mata mengajarkan bagaimana mengolah bahasa agar tersusun indah.

Sementara sekarang, sastra di sekolah-sekolah kita didudukkan di pojok paling belakang. Sastra hanya sesekali diajarkan kepada siswa. Itu pun masih di wilayah permukaan. Baru pengenalan. Porsinya sangat sedikit. Hanya menjadi bagian dari materi yang mesti disampaikan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Tidak mengherankan jika anak-anak zaman sekarang tidak mengenal siapa itu Romo Mangunwijaya, Arswendo Atmowiloto, Ahmad Tohari, Sindhunata, Sini K.M., Budi Darma, Mochtar Lubis, dan sederet nama lainnya. Bahkan, mungkin saja mereka tak mengenal nama Seno Gumira Ajidarma, Oka Rusmini, Laela S. Chudori, Ayu Utami, atau pun nama-nama lain yang merupakan novelis kekinian. 

Mengapa bisa begitu? Karena nama-nama itu sangat jarang disebut-sebut di dalam ruang kelas. Apalagi karya mereka.

Keluh kesah seputar porsi pengajaran sastra di sekolah yang terlalu minim ini telah banyak disampaikan oleh para sastrawan, budayawan, bahkan pakar-pakar sastra dalam berbagai artikel dan jurnal ilmiah. Bahkan, jurnal-jurnal ilmiah kita banyak menyoalkan hal itu. 

Malah, kerap saya jumpai jurnal-jurnal yang secara lugas menyampaikan gagasan untuk menyikapi masalah tersebut. Ada yang menyatakan jika sumber masalahnya pada kemampuan dan kapasitas guru bahasa yang masih sangat terbatas. Ada pula yang menyebutkan jika pangkal masalahnya pada perguruan tinggi yang mendidik para calon guru bahasa Indonesia. Juga ada yang menyoroti kurikulum dan sistem pendidikan kita. Bahkan, ada yang dengan cukup tajam mengkritik paradigma pendidikan negeri ini.

Saya tidak cukup tahu, apakah jurnal-jurnal itu cukup mendapatkan perhatian? Kalau tidak, mengapa bisa demikian? Apakah karena kualitas jurnal-jurnal itu yang masih "diragukan"? Tetapi, saya kira ada banyak penulis jurnal yang mumpuni. Bahkan, mereka ini beneran pakar. Betapa, permasalahan ini terlalu rumit untuk diurai. 

Tetapi, seperti yang saya sampaikan pada sahabat saya itu, bahwa kekeliruan paradigma yang telanjur akut pada kebanyakan para pendidik mengenai sastra telah menjerumuskan dunia pendidikan ke dalam jurang tanpa dasar. Sastra hanya dipandang sebagai karya rekaan yang seolah-olah tidak ada kaitan langsung dengan kehidupan. Juga dengan bidang-bidang keilmuan yang mereka ajarkan.

Maka, dalam diskusi via media sosial itu saya tuliskan lagi pesan kepada sahabat saya yang guru IPA itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun