Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Mengapa Penulisan Kata "Wali Kota' Harus Dipisah (?)

27 Juni 2024   05:22 Diperbarui: 27 Juni 2024   06:27 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Seblakanya, saya mengetahui penulisan yang baku untuk istilah yang satu ini dari kawan sekerja di radio. Secara usia, dia lebih muda. Akan tetapi, saya merasa berterima kasih yang sedalam-dalamnya kepada kawan saya itu. Paling tidak, ia telah menyelamatkan saya dari kesalahan berbahasa. 

Memang, tak ada pasal yang menyebut, bahwa kesalahan berbahasa akan dijerat hukum kurungan sekian tahun. Tidak digolongkan sebagai dosa pula. Akan tetapi, menghindari kesalahan berbahasa bagi saya perlu. Terutama, agar cara berpikir saya yang keliru dapat dikikis sedikit demi sedikit.

Sebelumnya, saya kerap keliru menuliskan istilah jabatan yang bergengsi ini. Pikir saya, ejaan yang saya tulis sudah benar. Apalagi di koran, majalah, maupun sejumlah buku yang saya baca ejaannya sama persis dengan yang saya tulis. Jadi, saya merasa terbela oleh koran, majalah, dan sejumlah buku itu. 

Akan tetapi, saat diingatkan kawan sekerja itu saya buru-buru memeriksa Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Ternyata, dia benar. Sejak itu saya mulai membiasakan diri menulis istilah ini sesuai ejaan yang tercantum pada KBBI. Hal itu sekaligus sebagai latihan tertib berbahasa. Apakah perlu tertib berbahasa?

Bagi saya, tertib berbahasa menjadi sebuah kebutuhan. Sekurang-kurangnya, untuk melatih pikiran agar terbiasa bersetia pada gagasan yang rasional dan logis. Selain itu, melatih diri untuk senantiasa menghormati dan menghargai apa-apa yang telah dirumuskan oleh para pendahulu mengenai bahasa. Juga, sebagai cara yang saya tempuh untuk menghargai dan menghormati gagasan.

Sementara, apabila kita membaca beberapa ungkapan lain mengenai pentingnya tertib berbahasa, akan kita dapatkan pula bahwa kebiasaan untuk menggunakan bahasa Indonesia secara tepat merupakan cara yang bisa kita lakukan untuk menjaga kelestarian bahasa, memupuk rasa nasionalisme, memudahkan komunikasi antarsesama warga bangsa Indonesia, dan mencerminkan kepribadian yang baik. Cara ini pula yang kemudian akan membawa kita pada kehidupan yang harmonis. Terutama, di dalam hubungannya dengan kebangsaan.

Lalu, bagaimana jika kita tidak membiasakan diri tertib berbahasa? Sudah barang tentu akan bertentangan dengan apa-apa yang telah disebutkan tadi. Tetapi, yang menurut saya cukup membahayakan adalah ancaman ketidakmampuan mengolah pikiran secara logis dan rasional. 

Seorang filsuf analitik kelahiran Wina, Ludwig Josef Johann Wittgenstein, pernah menulis tentang kaitan antara logika dan bahasa. Menurutnya, logika bahasa merupakan sebuah cara untuk membuat pembedaan objektif dalam konteks filsafat dengan memperluas konsep tata bahasa (grammar) agar meliputi setiap deskripsi mengenai penggunaan bahasa. Dengan begitu, kedudukan logika dan bahasa menjadi sejajar. Dalam hal ini, logika menjelaskan kaidah-kaidah tentang kebermaknaan dan omong kosong (atau arti bahasa) dan bukan hanya bentuknya. Wittgenstein meyakini, bahwa tanpa disadari, bahasa menyamarkan struktur pemikiran. Adalah tugas filsafat, katanya, untuk mengungkapkan bentuk asli pemikiran yang berada di balik tirai bahasa biasa.

Hal yang lebih kurangnya serupa, juga diungkap filsuf asal Britania Raya, Bertrand Arthur William Russell. Dalam sebuah thesis, Russell mengurai problematika bahasa. Pertama, mengenai apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran ketika kita hendak menggunakan bahasa dengan niat memaknai sesuatu. Persoalan ini berkaitan dengan psikologi. Kedua, berkaitan dengan apa hubungan yang ada di antara pikiran, kata atau kalimat dengan kepada apa ia merujuk atau dapat diartikan. Problem ini menjadi bagian dari epistemologi. Ketiga, ada problem dalam penggunaan kalimat, misalnya untuk menyampaikan kebenaran dan bukan kesalahan. Persoalan ini menjadi bagian dari ilmu khusus yang membahas tentang kalimat. Keempat, ada pertanyaan: hubungan apa yang harus dimiliki oleh sebuah fakta (misalnya sebuah kalimat) dengan fakta lainnya agar ia mampu menjadi sebuah simbol bagi yang lain? Sebuah pertanyaan logika.

Kedua pandangan tersebut cukup memberi kita pemahaman tentang pentingnya tertib berbahasa. Dengan cara itu, kita akan mengerti bagaimana sebuah istilah terbentuk dan apakah sudah cukup mampu mewakili pikiran yang logis dan rasional atau belum. Jika ternyata belum, maka semestinya disediakanlah ruang debat ilmiah mengenai problematika kebahasaan. Sebab, kemunculan atau terbentuknya sebuah istilah tidak secara tiba-tiba, meski sifat bahasa adalah arbitrer. Ada kaidah-kaidah yang juga mesti dipedomani.

Sayang, kaidah-kaidah itu tak jarang diabaikan. Bahkan, bukan hanya oleh masyarakat penutur yang awam mengenai kaidah-kaidah bahasa. Akan tetapi, tidak jarang aksi "lompat jauh" itu juga dilakukan oleh lembaga-lembaga resmi yang bernaung di bawah sistem pemerintahan maupun organisasi-organisasi yang memiliki pengaruh bagi masyarakat. Hal serupa juga dilakukan oleh lembaga-lembaga yang memanfaatkan bahasa sebagai alat produksi mereka. Media, misalnya.

Seperti pada istilah yang saya bahas dalam artikel ini, saya menemukan dua ejaan yang berbeda. Yaitu, "walikota" dan "wali kota". Sekilas, pada kedua penulisan itu tampak lazim. Akan tetapi, mungkinkah untuk satu maksud ditulis dengan dua bentuk? 

Jawabnya, sangat tidak mungkin. Ibarat sebuah jeruk dan apel, sekalipun warnanya diserupakan, keduanya memiliki karakter yang berbeda. Tekstur kulitnya, kepadatannya, apalagi isinya. Jadi, dua bentuk yang berbeda sekalipun unsur pembangunnya sama tidak semerta dapat dimaknai sebagai perihal yang sama. 

Jangankan objek yang berbeda, ketika dua orang memandang sebuah objek yang sama, tidak menutup kemungkinan akan menghasilkan cara pandang yang berbeda. Sebab, sejak mula, kedua orang itu memiliki pangkal pikiran yang berbeda tentang objek tersebut. Lantas, pertanyaannya sekarang, manakah penulisan yang tepat?

Sesuai kaidah bahasa Indonesia yang baku, penulisan yang benar adalah tidak digabung, alias dipisah. Tentu, Anda akan bertanya, mengapa dipisah? Pertama, istilah "wali kota" merupakan gabungan kata yang termasuk istilah khusus dan harus ditulis secara terpisah. Lebih tepatnya, istilah "wali kota" merupakan kata majemuk, seperti juga kata "terima kasih" yang pernah saya tulis di kotomono.co.

Kedua, gabungan kata pada istilah "wali kota" terdiri atas dua kata yang tidak terikat, baik salah satu maupun kedua unsur kata pembentuknya. Kata "wali" dan "kota" merupakan dua kata dasar yang dapat berdiri sendiri. Selain itu, keduanya juga memiliki makna sendiri-sendiri. 

Sesuai KBBI, kata "wali" diserap dari bahasa Arab. Secara etimologi, kata "wali" bermakna teman, orang dekat, kekasih Allah. Sementara, dalam bahasa Indonesia kata "wali" mendapat pengertian sebagai (1) orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa, (2) orang yang menjadi penjamin dalam pengurusan dan pengasuhan anak, (3) orang yang memiliki wewenang untuk menikahkan seorang perempuan, baik gadis maupun janda, (4) orang saleh (suci); penyebar agama, dan (5) kepala pemerintah dan sebagainya.

Sedangkan kata "kota" diserapan dari bahasa Sanskerta, "ka". Secara etimologi, kata "ka" dimaknai sebagai benteng, rumah, pangkalan, puncak gunung, atau keluarga. Namun begitu, bahasa Indonesia memiliki cara lain dalam memaknai kata serapan ini, yaitu (1) daerah permukiman yang terdiri atas bangunan rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari berbagai lapisan masyarakat, (2) daerah pemusatan penduduk dengan kepadatan tinggi serta fasilitas modern dan sebagian besar penduduknya bekerja di luar pertanian, dan (3) dinding (tembok) yang mengelilingi tempat pertahanan. 

Uraian tersebut memberi kita pemahaman bahwa makna kedua kata menandai dua entitas yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat diamati mulai dari asal bahasa yang diserap, jenis, bentuk, ukuran, unsur-unsur pembentuknya, fungsi, dan sebagainya. Sebagaimana dalam dasar-dasar logika, dua objek yang berbeda tidak bisa semerta digabungkan. 

Saya akan mengambil contoh dari dua objek yang sepadan. Yaitu, sama-sama jenis buah-buahan. Di atas piring terdapat sebuah jambu dan sebuah mangga. Maka, tidak bisa disebut bahwa di atas piring itu ada sebuah jambu mangga atau sebuah mangga jambu. Konsekuensinya, akan lahir makna yang jauh berbeda dari fakta yang tersaji di ruang realitas. Kata jambu mangga akan dapat bermakna sebagai jambu yang rasanya mangga atau varietas jambu yang dinamai mangga seperti jambu kluthuk, jambu biji, jambu bali, jambu bangkok dan lain-lain. Artinya, di atas piring itu ada sebuah jambu yang nama varietasnya adalah mangga. Pun demikian pada kata mangga jambu.

Pemaknaan yang dihasilkan dari penggabungan yang keliru itu menghasilkan disinformasi. Bahkan, bisa mengarah pada informasi bohong. Sebab, makna yang dihasilkan tidak sesuai dengan fakta yang disajikan. Lebih fatal lagi, jika penulisan dari gabungan dua jenis buah itu digabung, jambumangga dan manggajambu. 

Maka, ada baiknya kita coba memainkan logika matematika. Terutama, dalam hukum penjumlahan. Bahwa, a + b ab. Akan tetapi, a + b = a + b. 

Lalu, bagaimana dengan istilah "wali kota"? Saya pikir, perumusan istilah ini dan ejaan penulisannya sangat mengindahkan kaidah nalar. Istilah ini ingin menunjukkan bahwa wali kota adalah sosok penguasa yang mengurusi dan mengelola sebuah kota beserta kehidupan yang berlaku di dalamnya. Artinya, istilah wali kota lebih ditekankan pada peran seseorang sebagai---meminjam istilah Cak Nun---manusia ruang. Ia mewadahi seluruh kehidupan yang berlaku di kota yang dipimpin. 

Saya akan mengambil analogi sebuah balon udara. Istilah ini mengandung dua entitas yang berbeda, baik bentuk maupun fungsinya. Balon adalah benda yang dapat dikenali bentuknya dan ukurannya sangat terbatas. Sementara udara, bentuknya tak dapat dilihat. Keberadaannya hanya bisa dirasakan hawa dan geraknya. Ia juga tersebar luas, melingkupi seisi jagat. Ia juga sangat berperan bagi seluruh kehidupan di muka bumi ini.

Lalu, mengapa balon dibuat? Salah satunya adalah untuk membuat udara memiliki fungsi lain. Semacam fungsi sekunder atau bahkan tersier. Balon akan mengambil sebagian kecil dari udara yang bertebaran di alam ini untuk kemudian dikelola. Gerak udara yang dihasilkan oleh perbedaan tekanan itu pun lantas dapat mendorong balon ke atas, terbang.

Namun begitu, sekalipun kedua entitas itu seolah menyatu dalam tubuh balon, tetap keduanya merupakan dua hal yang berbeda. Mereka tidak menjadi senyawa yang membentuk makhluk baru atau zat baru, sebagaimana dalam kimia. Keduanya hanya memainkan peran dengan tetap memelihara keutuhan entitas masing-masing. Karena itu pula, ejaan penulisannya dipisah. 

Begitu pula, pada hukum logika peristilahan "wali kota". Sebab, wali kota bukan sebuah senyawa atau makhluk baru yang dihasilkan oleh rekayasa genetika. Akan tetapi, keduanya adalah dua entitas yang berbeda. Hanya dipertemukan dalam peran dan fungsi masing-masing di dalam mengelola kehidupan bersama. 

Ah, rasanya para perumus bahasa kita demikian jeniusnya. Saya kagum betul dengan perumusan ejaan yang demikian cerlang ini. Betapa, bahasa Indonesia demikian kaya pengetahuan dan kebijaksanaan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun