Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Mengapa Penulisan Kata "Wali Kota' Harus Dipisah (?)

27 Juni 2024   05:22 Diperbarui: 27 Juni 2024   06:27 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Seperti pada istilah yang saya bahas dalam artikel ini, saya menemukan dua ejaan yang berbeda. Yaitu, "walikota" dan "wali kota". Sekilas, pada kedua penulisan itu tampak lazim. Akan tetapi, mungkinkah untuk satu maksud ditulis dengan dua bentuk? 

Jawabnya, sangat tidak mungkin. Ibarat sebuah jeruk dan apel, sekalipun warnanya diserupakan, keduanya memiliki karakter yang berbeda. Tekstur kulitnya, kepadatannya, apalagi isinya. Jadi, dua bentuk yang berbeda sekalipun unsur pembangunnya sama tidak semerta dapat dimaknai sebagai perihal yang sama. 

Jangankan objek yang berbeda, ketika dua orang memandang sebuah objek yang sama, tidak menutup kemungkinan akan menghasilkan cara pandang yang berbeda. Sebab, sejak mula, kedua orang itu memiliki pangkal pikiran yang berbeda tentang objek tersebut. Lantas, pertanyaannya sekarang, manakah penulisan yang tepat?

Sesuai kaidah bahasa Indonesia yang baku, penulisan yang benar adalah tidak digabung, alias dipisah. Tentu, Anda akan bertanya, mengapa dipisah? Pertama, istilah "wali kota" merupakan gabungan kata yang termasuk istilah khusus dan harus ditulis secara terpisah. Lebih tepatnya, istilah "wali kota" merupakan kata majemuk, seperti juga kata "terima kasih" yang pernah saya tulis di kotomono.co.

Kedua, gabungan kata pada istilah "wali kota" terdiri atas dua kata yang tidak terikat, baik salah satu maupun kedua unsur kata pembentuknya. Kata "wali" dan "kota" merupakan dua kata dasar yang dapat berdiri sendiri. Selain itu, keduanya juga memiliki makna sendiri-sendiri. 

Sesuai KBBI, kata "wali" diserap dari bahasa Arab. Secara etimologi, kata "wali" bermakna teman, orang dekat, kekasih Allah. Sementara, dalam bahasa Indonesia kata "wali" mendapat pengertian sebagai (1) orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa, (2) orang yang menjadi penjamin dalam pengurusan dan pengasuhan anak, (3) orang yang memiliki wewenang untuk menikahkan seorang perempuan, baik gadis maupun janda, (4) orang saleh (suci); penyebar agama, dan (5) kepala pemerintah dan sebagainya.


Sedangkan kata "kota" diserapan dari bahasa Sanskerta, "ka". Secara etimologi, kata "ka" dimaknai sebagai benteng, rumah, pangkalan, puncak gunung, atau keluarga. Namun begitu, bahasa Indonesia memiliki cara lain dalam memaknai kata serapan ini, yaitu (1) daerah permukiman yang terdiri atas bangunan rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari berbagai lapisan masyarakat, (2) daerah pemusatan penduduk dengan kepadatan tinggi serta fasilitas modern dan sebagian besar penduduknya bekerja di luar pertanian, dan (3) dinding (tembok) yang mengelilingi tempat pertahanan. 

Uraian tersebut memberi kita pemahaman bahwa makna kedua kata menandai dua entitas yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat diamati mulai dari asal bahasa yang diserap, jenis, bentuk, ukuran, unsur-unsur pembentuknya, fungsi, dan sebagainya. Sebagaimana dalam dasar-dasar logika, dua objek yang berbeda tidak bisa semerta digabungkan. 

Saya akan mengambil contoh dari dua objek yang sepadan. Yaitu, sama-sama jenis buah-buahan. Di atas piring terdapat sebuah jambu dan sebuah mangga. Maka, tidak bisa disebut bahwa di atas piring itu ada sebuah jambu mangga atau sebuah mangga jambu. Konsekuensinya, akan lahir makna yang jauh berbeda dari fakta yang tersaji di ruang realitas. Kata jambu mangga akan dapat bermakna sebagai jambu yang rasanya mangga atau varietas jambu yang dinamai mangga seperti jambu kluthuk, jambu biji, jambu bali, jambu bangkok dan lain-lain. Artinya, di atas piring itu ada sebuah jambu yang nama varietasnya adalah mangga. Pun demikian pada kata mangga jambu.

Pemaknaan yang dihasilkan dari penggabungan yang keliru itu menghasilkan disinformasi. Bahkan, bisa mengarah pada informasi bohong. Sebab, makna yang dihasilkan tidak sesuai dengan fakta yang disajikan. Lebih fatal lagi, jika penulisan dari gabungan dua jenis buah itu digabung, jambumangga dan manggajambu. 

Maka, ada baiknya kita coba memainkan logika matematika. Terutama, dalam hukum penjumlahan. Bahwa, a + b ab. Akan tetapi, a + b = a + b. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun