Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Raga Merdeka, Jiwa Terjajah, Refleksi Aksi Doa Bersama untuk Palestina

22 Juni 2024   22:45 Diperbarui: 22 Juni 2024   23:06 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sabtu malam, tanggal 8 Juni 2024, Monumen Juang 3 Oktober 1945 dipadati orang-orang berbaju serba putih. Pria wanita, anak-anak sampai dewasa, semuanya berbaju serba putih. Tampak pula berbatang-batang bambu ditegakkan di antara kerumunan. Pada bagian ujungnya terpasang bendera negara Palestina, negara yang belakangan ini kembali menjadi sorotan dunia. Perang yang berkecamuk di tanah para Nabi itu telah benar-benar menyebabkan kehancuran di mana-mana. Bencana kemanusiaan tak terelakkan.

Di tengah-tengah kondisi yang memrihatinkan itu, gerombolan orang-orang berseragam ala militer Israel terus melancarkan agresi militernya. Membuat pelanggaran berat atas Hak Asasi Manusia yang dilakukan Israel tak bisa disebut sekadar pelanggaran. Akan tetapi, sudah benar-benar kelewat batas kemanusiaan.

Sayang, mata dunia yang katanya turut berkaca-kaca atas keadaan yang menimpa rakyat Palestina itu pun tak sanggup berbuat banyak. Kecaman yang ditujukan kepada Israel tak cukup mampu membuat lembaga sekelas PBB menekan dan menjatuhkan sanksi kepada Israel. Pun pengakuan-pengakuan dari sejumlah negara merdeka atas kemerdekaan Palestina, rupa-rupanya tak mampu membuka mata PBB untuk turut menghormati kedaulatan Palestina.

Ini pula yang menjadi alasan kerumunan manusia itu berkumpul di Monumen Juang 3 Oktober 1945, monumen yang menjadi saksi bisu atas peristiwa gerakan rakyat Pekalongan yang menuntut perwakilan pemerintah Pendudukan Jepang di Kota Pekalongan angkat kaki. Lebih-lebih setelah Indonesia memroklamirkan sebagai negara merdeka. Tentu, pemilihan lokasi untuk aksi dukungan terhadap negara yang mengakui kedaulatan negara Indonesia satu tahun sebelum diproklamasikan.

Mungkin saja, panitia aksi bermaksud mengambil spirit perjuangan rakyat Pekalongan pada waktu itu sebagai motivasi aksi. Mungkin juga sebagai upaya untuk menyalakan dan menghidupkan kembali memori masa lalu yang kadung redup pada generasi sekarang, karena disibukkan dengan berita-berita yang tak jelas dan makin menunjukkan kerunyaman sebagai ekses dari sejumlah oknum yang tidak becus mengurusi negara. Dari situ, harapannya akan muncul semangat baru untuk membangun Kota Pekalongan ini jauh lebih baik dengan mengambil semangat juang rakyat Pekalongan kala itu, dipadupadankan dengan perjuangan rakyat Palestina di dalam usaha melawan tirani. Mungkin saja begitu.

Dari aksi itu, sejumlah tokoh penting---sebut saja Ahlis Sulton (salah seorang anggota Banser), ustaz Abu Ayash (FPI Kota Pekalongan), dan ustaz Said Sungkar (FPI Kota Pekalongan)---secara bergantian menyampaikan orasi. Mereka menyerukan kecaman kepada Israel dan dukungan kepada rakyat Palestina. Tak sekadar itu, para orator juga mengajak seluruh yang hadir untuk tidak lagi menggunakan produk-produk yang mendukung Israel. Alasannya, untuk memotong mata rantai aliran dana dari para konglomerat kepada tentara Israel.

Selain para orator, tampak pula sejumlah tokoh penting lain. Mas Ahmad Tubagus Sadarudin (tokoh Muhammadiyah Kota Pekalongan), Mas Aji Suryo (politisi PKS), dan sejumlah tokoh lain yang saya kurang tahu nama-namanya, turut hadir dalam aksi Doa Bersama untuk Palestina itu. Tidak kalah pentingnya, kehadiran Wali Kota Pekalongan, Mas Aaf (Ahmad Afzan Arslan Djunaid) dalam aksi itu yang sekaligus memberikan sambutan singkat.

Terlepas dari agenda malam itu, ketika acara yang diinisiasi oleh anak-anak muda lintas ormas itu selesai, salah seorang inisiator aksi ini menghampiri. Muhammad Andi Uwais Alqorni, namanya. Ia dulu mahasiswa. Sekarang sibuk menjadi seorang pengusaha. Seperti galibnya sebuah perjumpaan, kami bersalaman dan saling menyapa. Kemudian, dibumbui sedikit obrolan kecil. Tentu, tidak jauh-jauh dari aksi yang digelar malam itu.

Ia menggandeng beberapa kawan dari Pengurus Daerah Pemuda Muhammadiyah Kota Pekalongan. Di hadapan mereka saya sampaikan, jika aksi tersebut mesti dijadikan sebagai momentum untuk menggali nilai esensi dari makna perjuangan rakyat Palestina. Sebab, yang dilawan bukan sekadar siapa, melainkan apa.

Bahwa, jika hari-hari ini semua mata menyaksikan, erosi etika dan moral menjadi persoalan yang menjelma sebagai hantu peradaban masa depan, maka persoalan itu tak boleh diabaikan, sehingga luput dari perhatian. Bahwa, jika mentalitas anak-anak muda saat ini secara perlahan dilemahkan, maka hal itu patut disikapi. Jangan sampai permasalahan-permasalahan itu lolos begitu saja lalu menerobos dan mengeroposkan sendi-sendi kehidupan masa depan. Jangan sampai pula agenda-agenda lain yang tidak terlalu penting menyerobot dan menguras perhatian, sehingga kerja-kerja yang dilakukan oleh semua pihak terganggu.

Peristiwa malam itu, saya katakan pada mereka, mesti dimaknai sebagai upaya untuk membaca secara ulang-alik. Membaca masa lampau dan kini yang secara terus-menerus dan makin intens. Setidaknya, untuk mengurai benang kusut yang selama ini kerap menghambat upaya-upaya apapun di dalam merumuskan masa depan. Maka, momentum malam itu mesti menjadi pintu untuk bisa saling membuka diri satu sama lain.

Di sela-sela obrolan itu, Mas Aji Suryo menyusul. Lalu, menanggapi. Ia katakan, "Ternyata indah ya, Kang, ketika semuanya berbaur dan menyatu. NU, Muhammadiyah, Rifa'iyah, FPI, LDII, dan lain-lain bisa bareng gini."

Celatukan Mas Aji Suryo itu saya balas, "Lho bukannya dari dulu kita ini manunggal, Mas? Sebagai manusia, kita ini kan sama. Yang bikin kita terkesan beda itu hanya perspektif kita. Saya memandang njenengan sebagai sosok yang berbeda dari saya. Begitu pula njenengan, tentunya akan memandang saya sebagai sosok yang berbeda dari njenengan. Karena yang kita lihat adalah bentuk wadak, baju, atau atribut-atribut yang menempel. Lupa melihat kedirian kita sebagai manusia."

Spontan, kami tertawa. Tetapi, di balik tawa itu hati saya rawan membatin, jangan-jangan pengagungan terhadap cara pandang maupun sudut pandang itulah yang membuat setiap orang menjadi berjarak. Jika itu benar, maka sesungguhnya permasalahan utama yang dihadapi manusia bukanlah soal bajunya, atributnya, atau apapun yang disematkan pada diri mereka. Akan tetapi, kegagalan kita menempatkan cara pandang dan sudut pandang itu. Dengan kata lain, ada kemungkinan bahwa kegagalan itu berarti pula sebagai ketidakberhasilan kita menangkap pemahaman-pemahaman mendalam yang diajarkan oleh para pendahulu. Hanya karena kita merasa belajar di ruang yang berbeda, dengan guru yang berbeda, lantas kita menganggap diri kita juga berbeda. Padahal, para guru itu mungkin saja sedang mengajarkan ilmu yang berbeda agar murid-muridnya bisa saling belajar dari guru-guru yang lain. Tujuannya, untuk saling melengkapi satu sama lain.

Dan memang, faktanya demikian. Dalam dunia pendidikan misalnya, cara pandang kebanyakan orang akan membeda-bedakan antara sekolah satu dengan yang lain. Entah itu sekolah negeri, entah sekolah partikelir. Kita akan membedakan antara lulusan universitas negeri dengan swasta pula. Dan masih panjang deret kemungkinan-kemungkinan itu. Lantas, kita hanya memandang sisi luarnya tetapi lupa pada pemahaman bahwa hakikat hidup sebagai tempat untuk saling belajar. Kita malah sibuk untuk saling memperbandingkan hal-hal yang sesungguhnya tidak layak diperbandingkan. Dan, tanpa sadar kita telah mereduksi etika dan moral juga mentalitas anak-anak bangsa. Tak mengherankan jika di kemudian hari erosi etika dan moral terjadi, mental anak-anak pun terkorosi. Sebab, sejak mula kita telah keliru mendidik. Atau jangan-jangan, ini yang sebenarnya diwariskan oleh kolonialisme kepada bangsa ini? Entahlah.

Kalau itu benar, maka patut kita memetik pelajaran dari perjuangan rakyat Palestina. Sebab, secara rohaniah, bisa saja nasib bangsa ini sesungguhnya tidak lebih baik dari mereka. Terpenjara oleh kemerdekaan semu yang melanggengkan penjajahan mental. Maka, tak cukup kita mendoakan keselamatan bagi bangsa Palestina. Akan tetapi, kita juga perlu merefleksi diri dan mendoakan untuk jiwa kita agar sepenuhnya merdeka dari cengkeraman pikiran yang diam-diam membelenggu kemerdekaan jiwa kita.

Pekalongan, 23 Juni 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun