Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Raga Merdeka, Jiwa Terjajah, Refleksi Aksi Doa Bersama untuk Palestina

22 Juni 2024   22:45 Diperbarui: 22 Juni 2024   23:06 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di sela-sela obrolan itu, Mas Aji Suryo menyusul. Lalu, menanggapi. Ia katakan, "Ternyata indah ya, Kang, ketika semuanya berbaur dan menyatu. NU, Muhammadiyah, Rifa'iyah, FPI, LDII, dan lain-lain bisa bareng gini."

Celatukan Mas Aji Suryo itu saya balas, "Lho bukannya dari dulu kita ini manunggal, Mas? Sebagai manusia, kita ini kan sama. Yang bikin kita terkesan beda itu hanya perspektif kita. Saya memandang njenengan sebagai sosok yang berbeda dari saya. Begitu pula njenengan, tentunya akan memandang saya sebagai sosok yang berbeda dari njenengan. Karena yang kita lihat adalah bentuk wadak, baju, atau atribut-atribut yang menempel. Lupa melihat kedirian kita sebagai manusia."

Spontan, kami tertawa. Tetapi, di balik tawa itu hati saya rawan membatin, jangan-jangan pengagungan terhadap cara pandang maupun sudut pandang itulah yang membuat setiap orang menjadi berjarak. Jika itu benar, maka sesungguhnya permasalahan utama yang dihadapi manusia bukanlah soal bajunya, atributnya, atau apapun yang disematkan pada diri mereka. Akan tetapi, kegagalan kita menempatkan cara pandang dan sudut pandang itu. Dengan kata lain, ada kemungkinan bahwa kegagalan itu berarti pula sebagai ketidakberhasilan kita menangkap pemahaman-pemahaman mendalam yang diajarkan oleh para pendahulu. Hanya karena kita merasa belajar di ruang yang berbeda, dengan guru yang berbeda, lantas kita menganggap diri kita juga berbeda. Padahal, para guru itu mungkin saja sedang mengajarkan ilmu yang berbeda agar murid-muridnya bisa saling belajar dari guru-guru yang lain. Tujuannya, untuk saling melengkapi satu sama lain.

Dan memang, faktanya demikian. Dalam dunia pendidikan misalnya, cara pandang kebanyakan orang akan membeda-bedakan antara sekolah satu dengan yang lain. Entah itu sekolah negeri, entah sekolah partikelir. Kita akan membedakan antara lulusan universitas negeri dengan swasta pula. Dan masih panjang deret kemungkinan-kemungkinan itu. Lantas, kita hanya memandang sisi luarnya tetapi lupa pada pemahaman bahwa hakikat hidup sebagai tempat untuk saling belajar. Kita malah sibuk untuk saling memperbandingkan hal-hal yang sesungguhnya tidak layak diperbandingkan. Dan, tanpa sadar kita telah mereduksi etika dan moral juga mentalitas anak-anak bangsa. Tak mengherankan jika di kemudian hari erosi etika dan moral terjadi, mental anak-anak pun terkorosi. Sebab, sejak mula kita telah keliru mendidik. Atau jangan-jangan, ini yang sebenarnya diwariskan oleh kolonialisme kepada bangsa ini? Entahlah.

Kalau itu benar, maka patut kita memetik pelajaran dari perjuangan rakyat Palestina. Sebab, secara rohaniah, bisa saja nasib bangsa ini sesungguhnya tidak lebih baik dari mereka. Terpenjara oleh kemerdekaan semu yang melanggengkan penjajahan mental. Maka, tak cukup kita mendoakan keselamatan bagi bangsa Palestina. Akan tetapi, kita juga perlu merefleksi diri dan mendoakan untuk jiwa kita agar sepenuhnya merdeka dari cengkeraman pikiran yang diam-diam membelenggu kemerdekaan jiwa kita.

Pekalongan, 23 Juni 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun