Sabtu malam, tanggal 8 Juni 2024, Monumen Juang 3 Oktober 1945 dipadati orang-orang berbaju serba putih. Pria wanita, anak-anak sampai dewasa, semuanya berbaju serba putih. Tampak pula berbatang-batang bambu ditegakkan di antara kerumunan. Pada bagian ujungnya terpasang bendera negara Palestina, negara yang belakangan ini kembali menjadi sorotan dunia. Perang yang berkecamuk di tanah para Nabi itu telah benar-benar menyebabkan kehancuran di mana-mana. Bencana kemanusiaan tak terelakkan.
Di tengah-tengah kondisi yang memrihatinkan itu, gerombolan orang-orang berseragam ala militer Israel terus melancarkan agresi militernya. Membuat pelanggaran berat atas Hak Asasi Manusia yang dilakukan Israel tak bisa disebut sekadar pelanggaran. Akan tetapi, sudah benar-benar kelewat batas kemanusiaan.
Sayang, mata dunia yang katanya turut berkaca-kaca atas keadaan yang menimpa rakyat Palestina itu pun tak sanggup berbuat banyak. Kecaman yang ditujukan kepada Israel tak cukup mampu membuat lembaga sekelas PBB menekan dan menjatuhkan sanksi kepada Israel. Pun pengakuan-pengakuan dari sejumlah negara merdeka atas kemerdekaan Palestina, rupa-rupanya tak mampu membuka mata PBB untuk turut menghormati kedaulatan Palestina.
Ini pula yang menjadi alasan kerumunan manusia itu berkumpul di Monumen Juang 3 Oktober 1945, monumen yang menjadi saksi bisu atas peristiwa gerakan rakyat Pekalongan yang menuntut perwakilan pemerintah Pendudukan Jepang di Kota Pekalongan angkat kaki. Lebih-lebih setelah Indonesia memroklamirkan sebagai negara merdeka. Tentu, pemilihan lokasi untuk aksi dukungan terhadap negara yang mengakui kedaulatan negara Indonesia satu tahun sebelum diproklamasikan.
Mungkin saja, panitia aksi bermaksud mengambil spirit perjuangan rakyat Pekalongan pada waktu itu sebagai motivasi aksi. Mungkin juga sebagai upaya untuk menyalakan dan menghidupkan kembali memori masa lalu yang kadung redup pada generasi sekarang, karena disibukkan dengan berita-berita yang tak jelas dan makin menunjukkan kerunyaman sebagai ekses dari sejumlah oknum yang tidak becus mengurusi negara. Dari situ, harapannya akan muncul semangat baru untuk membangun Kota Pekalongan ini jauh lebih baik dengan mengambil semangat juang rakyat Pekalongan kala itu, dipadupadankan dengan perjuangan rakyat Palestina di dalam usaha melawan tirani. Mungkin saja begitu.
Dari aksi itu, sejumlah tokoh penting---sebut saja Ahlis Sulton (salah seorang anggota Banser), ustaz Abu Ayash (FPI Kota Pekalongan), dan ustaz Said Sungkar (FPI Kota Pekalongan)---secara bergantian menyampaikan orasi. Mereka menyerukan kecaman kepada Israel dan dukungan kepada rakyat Palestina. Tak sekadar itu, para orator juga mengajak seluruh yang hadir untuk tidak lagi menggunakan produk-produk yang mendukung Israel. Alasannya, untuk memotong mata rantai aliran dana dari para konglomerat kepada tentara Israel.
Selain para orator, tampak pula sejumlah tokoh penting lain. Mas Ahmad Tubagus Sadarudin (tokoh Muhammadiyah Kota Pekalongan), Mas Aji Suryo (politisi PKS), dan sejumlah tokoh lain yang saya kurang tahu nama-namanya, turut hadir dalam aksi Doa Bersama untuk Palestina itu. Tidak kalah pentingnya, kehadiran Wali Kota Pekalongan, Mas Aaf (Ahmad Afzan Arslan Djunaid) dalam aksi itu yang sekaligus memberikan sambutan singkat.
Terlepas dari agenda malam itu, ketika acara yang diinisiasi oleh anak-anak muda lintas ormas itu selesai, salah seorang inisiator aksi ini menghampiri. Muhammad Andi Uwais Alqorni, namanya. Ia dulu mahasiswa. Sekarang sibuk menjadi seorang pengusaha. Seperti galibnya sebuah perjumpaan, kami bersalaman dan saling menyapa. Kemudian, dibumbui sedikit obrolan kecil. Tentu, tidak jauh-jauh dari aksi yang digelar malam itu.
Ia menggandeng beberapa kawan dari Pengurus Daerah Pemuda Muhammadiyah Kota Pekalongan. Di hadapan mereka saya sampaikan, jika aksi tersebut mesti dijadikan sebagai momentum untuk menggali nilai esensi dari makna perjuangan rakyat Palestina. Sebab, yang dilawan bukan sekadar siapa, melainkan apa.
Bahwa, jika hari-hari ini semua mata menyaksikan, erosi etika dan moral menjadi persoalan yang menjelma sebagai hantu peradaban masa depan, maka persoalan itu tak boleh diabaikan, sehingga luput dari perhatian. Bahwa, jika mentalitas anak-anak muda saat ini secara perlahan dilemahkan, maka hal itu patut disikapi. Jangan sampai permasalahan-permasalahan itu lolos begitu saja lalu menerobos dan mengeroposkan sendi-sendi kehidupan masa depan. Jangan sampai pula agenda-agenda lain yang tidak terlalu penting menyerobot dan menguras perhatian, sehingga kerja-kerja yang dilakukan oleh semua pihak terganggu.
Peristiwa malam itu, saya katakan pada mereka, mesti dimaknai sebagai upaya untuk membaca secara ulang-alik. Membaca masa lampau dan kini yang secara terus-menerus dan makin intens. Setidaknya, untuk mengurai benang kusut yang selama ini kerap menghambat upaya-upaya apapun di dalam merumuskan masa depan. Maka, momentum malam itu mesti menjadi pintu untuk bisa saling membuka diri satu sama lain.