"Maaf, kalau agak meledak tadi. Aku kesal. Karena sejak tadi aku hanya bisa menahan. Karena, sesungguhnya ada sesuatu yang ingin sangat aku katakan padamu," ucap pohon terbata-bata.
Air hanya melongo. Lalu, dengan tampanya yang tampak polos itu ia berkata, "Katakanlah!"
"Sahabat, ini bukan soal kehilangan daya hidup. Bukan itu, sahabatku. Sebagai makhluk yang oleh sebagian manusia dipandang remeh, kami tak kuasa melawan takdir. Apalagi setelah penguasa bangsa manusia itu memutuskan, bahwa kami akan dihabisi besok pagi demi proyek mereka.Â
"Aku tak bisa membayangkan, bagaimana kematian kami akan sangat menyakitkan dan memedihkan hati. Tubuh kami dipotong dengan gergaji mesin, akar kami dicabut, dan batang, cabang, juga ranting-ranting kami akan mereka cincang menjadi potongan-potongan kecil. Tak hanya itu, nasib kami juga akan dihabiskan dalam nyala api.Â
"Sementara, kau tahu sendiri, bahwa selama ini, kami hanya menjalankan apa yang dititahkan Yang Maha Pencipta. Bahwa kami harus melindungi manusia dari segala mara bahaya yang mengancam. Membendungmu, menahan gerak tanah, mengalirkan kesegaran udara di saat hawa panas, dan menjadi peneduh bagi pandang mata dan tubuh manusia.Â
"Tetapi, tugas itu akan segera diakhiri. Kami semua akan binasa, setelah matahari terbit di langit timur. Kami tak bisa membela diri. Tak ada pengacara yang membela kami. Tak ada hakim yang mau mendengar kami. Padahal, palu yang mereka gunakan adalah potongan kecil kami.
"Pun tak sanggup kami menyatakan keberatan kepada Sang Pencipta. Kami tak mampu. Maka, aku mohon kau dengar baik-baik permintaanku ini, wahai air.Â
"Setelah semua lenyap dari tanah ini, aku mohon agar kau selalu menahan diri. Jangan sampai kau luapkan semua amarahmu kepada manusia dengan banjir atau tanah longsor, atau apapun itu. Kasihan manusia, mereka tidak cukup mampu mengatasi amarahmu, air. Aku mohon, kasihani mereka. Dan, perlu kau tahu. Permintaanku ini juga telah aku sampaikan kepada tanah dan angin. Agar mereka selalu bersabar melayani keinginan manusia," ucap pohon.
Mendadak air termangu-mangu. Ia tak percaya akan perkataan pohon. Aliran yang semula menderas, melamban dan nyaris tak bergerak. Membuat sungai kecil itu penuh.
"Hei, kenapa kau malah membanjiri tanah tempat kami berdiri? Sudahlah, kalian berjalan saja sewajarnya. Lupakan perkataanku tadi. Anggaplah, besok hanyalah perpisahan sementara. Mungkin, kelak Tuhan menempatkan kita di surga yang sama. Sekarang, aku ingin tidur sejenak. Dan kau, jangan basahi tanahku," ucap pohon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H