"Air, apa kau tak punya pekerjaan malam ini?" tanya pohon tua mengalihkan perhatian.
"Pertanyaan yang aneh. Tidak biasanya kau menanyakan itu padaku. Bukankah, apa yang aku lakukan tak pernah luput dari perhatianmu? Kami tak mengenal hari libur, sobat? Sedetik pun tak ada. Lalu, mengapa tiba-tiba kau tanyakan? Ada apa sesungguhnya?" ucap air menyelidik. Ia makin curiga dengan tingkah aneh pohon tua di hadapannya itu.
"Ah, maafkan. Aku ngelantur," kilah pohon tua.
Nyaris pecah tawa air, saat itu. Tingkah pohon tua itu makin lucu. Tetapi, air cukup tahu diri. Ia menahan tawanya agar tak membuat hati sang pohon tua itu rantas dan patah.Â
Dan, diam-diam, air sebenarnya telah mengetahui perihal apa yang membuat pohon tua itu kehilangan pesonanya. Siang tadi, tanah menyiarkan kabar kepadanya. Bahwa, besok, begitu matahari naik sepenggal, seluruh pohon yang berdiri tegak di atas tanah itu akan mengakhiri hidupnya. Konon, sekelompok manusia yang berkuasa merencanakan sebuah pembangunan gedung mewah berlantai 30. Konon lagi, gedung itu akan dijadikan semacam kondominium. Tempat tinggal para konglomerat di kota ini.
"Aku sudah mendengar semuanya, sahabatku. Aku maklum. Tetapi, aku pikir, tidak ada jalan lain bagi makhluk seperti kita ini, selain menuruti kodrat hukum alam. Sudahlah, jangan terlalu membebani dirimu dengan apa-apa yang tak perlu kau pikirkan," bujuk air.
"Jadi, kau sudah mendengar?"
"Ya!"
"Lalu, bagaimana menurutmu?"
"Kita punya Tuhan. Serahkan saja semua keputusan pada-Nya," jawab air.
Pohon terdiam. Menunduk. Ucapan air benar adanya. Tak terbantah. Tetapi, benak pohon tua itu masih dihinggapi rasa khawatir yang lain. Ia bimbang, apakah perlu atau tidak, untuk menyampaikan kekhawatirannya itu pada sahabat karibnya, air.