Sebatang pohon termangu di gelap malam. Pikirannya menerawang pada bayang-bayang pekat himpunan awan yang menutupi cahaya bintang-bintang. Hatinya, digerogoti cemas, hingga perlahan-lahan rantingnya berpatahan. Begitu pula cabang-cabangnya yang lunglai. Adapun dedaunan, tak lagi tegak pada tangkainya. Warnanya muram.
Lalu, apa yang membuatnya demikian mengurungkan kesegaran daya hidup? Ricik air pada sungai kecil di sebelah pohon itu mengandung pertanyaan-pertanyaan. Mereka berhimpun, berbisik-bisik lirih, membicarakan kemurungan sebatang pohon tua di tepi sungai. Saling menanya, apakah gerangan yang memurungkan wajah pohon tua itu.
Datanglah air, mendekat pada pohon itu. Menumpu pada ujung daun rumput yang segar. Menopangkan badannya, lalu bertanya, "Tidak biasanya aku melihatmu semurung ini, hingga kehilangan kegagahan batangmu. Ada apa, sahabatku?"
Lekas-lekas pohon tua itu membenahi diri. Menegakkan batangnya. Menegakkan daun-daunnya. Tetapi, tetap saja kemurungan itu tak sanggup ia sembunyikan.
"Hei, apakah aku mengganggumu?" tegur air.
"Ah tidak," balas pohon tua itu.
"Lalu, mengapa kau tampak gusar begitu?" sergah air.
"Tak apa-apa. Aku baik-baik saja," jawab pohon tua.
"Sudahlah, jangan kau berusaha membohongi. Aku bisa menangkap kemuraman pada dirimu. Lihatlah, wajahmu di permukaan air. Kau tampak kehilangan daya, sahabatku," ucap air.
Kali ini pohon tua itu tak sanggup mengelak lagi. Apa yang disangkakan air padanya, semua benar belaka. Tetapi, untuk menceritakannya, ia belum benar-benar mau. Ia masih berusaha menyembunyikan semua rahasia itu dari air. Banyak pertimbangan yang mesti ia perhitungkan akibatnya, jika apa yang sempat ia dengar itu dikatakannya pada air.
Sementara, air masih setia menemani. Walau susah payah ia bergayutan pada ujung daun rumput.Â