Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ditampar oleh Tulisan Radhar Panca Dahana

27 Desember 2023   21:57 Diperbarui: 27 Desember 2023   22:45 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan adalah sebuah ruang gelap yang menawarkan sekian banyak kemungkinan. Peran makna tidak lagi ditentukan oleh teks, melainkan oleh pembaca. Dengan begitu, setiap orang boleh-boleh saja memaknai tulisan itu sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya. Disesuaikan dengan pengetahuan dan pengalaman tiap-tiap individu.

Berangkat dari itu, ketika aku berhadapan dengan tulisan Radhar Panca Dahana, tepatnya sebuah pengantar untuk buku kumpulan esainya Dalam Sebotol Coklat Cair, aku merasa dibelalakkan. Tulisan itu seolah-olah menarikku untuk memasuki kedalamannya. Lalu, ketika aku masuk, tiba-tiba sebuah energi yang besar datang dari arah belakang. Melemparkanku dengan hentakan yang dahsyat. Aku terpelanting. Masuk ke dalam lorong. Menembus ruang-waktu. Aku dikembalikan pada suatu masa jauh sebelum hari ini.

Aku ingat ketika dulu bekerja menyusuri jalanan. Berbekal alat perekam, pulpen, dan buku kecil aku mencatat setiap kejadian dan setiap pernyataan orang-orang yang kutemui. Kemudian sesegera mungkin aku olah semua itu menjadi sebuah tulisan pendek. Lalu, dengan telepon genggam, segera kulaporkan peristiwa dalam catatanku itu. Dipancarkan lewat gelombang radio, suaraku bisa terdengar sampai seluruh pelosok negeri ini.

Betapa waktu itu aku sangat menyenangi pekerjaan itu. Sebuah petualangan yang nyaris tak mengenal waktu. Sebuah pengembaraan yang mengasyikkan. Karena kupikir, aku diberi kesempatan untuk memelajari kehidupan dengan beragam bentuknya. Dari yang paling tak mengenakkan sampai pada hal-hal yang tampak mewah. Dari tangisan yang menguras airmata sampai mobil mewah yang dihiasi tawa renyah. Dari kesetiaan pada kehidupan sampai pada perselingkuhan moral. Semua aku saksikan.

Tetapi, apa yang kuanggap sebagai sebuah kesenangan itu tiba-tiba dihancurkan oleh Dahana. Dalam sekelumit pengantarnya itu, Dahana menuturkan gambaran lain dari seorang juru warta. Ada kegelisahan yang sangat mengerikan. Terutama saat ia harus berhadapan dengan kenelangsaan yang mesti ia tulis sebagai "berita". Ada semacam derita batin yang begitu dalam dan penuh luka. Dahana mengisahkan bagaimana tangannya tak mampu menuliskan berita tentang kematian seseorang karena menjumpai istri korban yang ketakutan pada kesepiannya. Lalu, memutuskan untuk tak menuliskan peristiwa itu. Ia memilih pulang ke kantor dengan tangan kosong. Tak ada berita.

Mungkin sebagian orang akan menganggap tindakan Dahana sebagai tindakan yang mulia, karena ia masih memiliki kesanggupan untuk mendengar keheningan dan setia pada hati nurani yang menjadi pilihannya. Tetapi, pasti ada juga yang beranggapan itu sebagai tindakan bodoh. Tak mencerminkan profesionalitas seorang juru warta. Juga pasti ada yang menganggap itu sebagai tindakan yang sia-sia. Peluang di depan mata, mengapa harus dilepas? Andai ia dengan bekal yang memang sangat mantap itu mampu dan sanggup menuliskan peristiwa itu sebagai "berita" sudah pasti akan menjadi headline. Mungkin pula menjadi trending topic. Dan itu artinya, akan sedikit mengangkat popularitasnya sebagai seorang juru warta surat kabar terkemuka.

Tetapi bagiku, tindakan Dahana adalah tindakan yang berani. Ia muncul dari kejernihan penglihatan batin, juga dari beningnya nada keheningan. Kesanggupan semacam ini yang membuatku serasa dipukul. Telak!

Kini, deretan huruf-huruf itu tampak mengejekku. Merayakan kekalahanku. Ah, rasanya seperti jatuh dan tertimpa tangga. Apes dobel!

Bagaimana tidak, sosok Dahana dengan segala kehebatannya saja mampu dan sanggup mengambil risiko berat itu tanpa keraguan. Tanpa pertimbangan praksis. Sementara aku? Oh! Betapa tololnya!

Pernah pada sebuah pagi, di sebuah kampung pinggiran kota Semarang, kampung yang nyaris ditelan laut Jawa bulat-bulat, aku dapati di sana seorang perempuan tua tengah duduk di teras gubuk reyot yang digenangi luapan air laut. Kuhampiri. Kutanya ia, apa gerangan yang ia lakukan? Siapa saja yang hidup serumah? Dan segudang pertanyaan lainnya. Pertanyaan-pertanyaan itupun terjawab. Tak ada yang meleset.

Perempuan tua itu rupanya tinggal sebatangkara. Tak ada sanak keluarga. Anak-anak beserta cucu-cucunya telah pergi meninggalkannya, entah kemana. Suaminya telah lama meninggal. Lalu, mengapa ia duduk termangu di teras rumahnya, di atas sebuah bangku panjang yang terbikin dari kayu? Itu karena ia tak punya sepeserpun uang untuk ongkos becak ke kantor Pos besar. Terlalu mahal baginya. Ia putuskan untuk duduk diam saja di rumah ketimbang harus mengambil jatah dana bantuan yang mestinya ia terima. Apalagi dalam kerentaan usia, ia merasa tak mungkin bisa berlama-lama di kantor Pos. Bisa-bisa ia akan menjadi sakit. Kena angin, udara panas, dan antrean yang memanjang. Kalaupun ia ambil jatahnya itu, toh tak cukup untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhannya. Ya, perempuan tua ini sudah terlalu uzur untuk bekerja. Tubuhnya yang renta mana mungkin bisa diajak bekerja.

Baca juga: Membaca Gus Dur

Sungguh pemandangan yang begitu nelangsa. Tetapi, aku tega mencatat kisah-kisahnya dengan segala keluh kesahnya. Aku tega menjual kenelangsaan ini kepada ruang redaksi. Sesaat pula aku menjadi tega mengisahkannya dalam sebuah laporan singkat lewat telepon yang dipancarluaskan melalui gelombang radio. Oh, betapa kejam nian. Aku telah menempatkan kenelangsaan itu sebagai barang dagangan. Mengejar apa yang dinamakan sebagai karir dari seorang juru warta. Menggapai apa yang dianggap sebagai profesionalitas, yang ujung-ujungnya popularitas dan ah... duit!

Memang, mula-mula aku pikir apa yang ada di hadapanku kala itu adalah peristiwa yang harus disebarluaskan dengan alasan demi kemanusiaan. Tetapi, apakah ini kemanusiaan namanya jika apa yang aku beritakan ternyata hanya menjadi barang dagangan? Sedang berita itu tak cukup menolongnya dan mampu mengangkatnya dari penderitaan. Atau, berita itu hanya menjadi bagian cara-cara untuk semakin memperlemah dan memiskinkan mental orang-orang di luar sana. Menjebak mereka untuk memasuki lorong gelap tanpa cahaya. Kehilangan daya hidup. Tak tahu lagi arah tujuan. Hidup bagi mereka semacam bangunan tua di tengah keramaian kota. Bangunan yang dihuni hantu-hantu. Menyeramkan!

Dalam kecemasan mereka, hantu-hantu itu seolah terus mengintai mereka dan bersiap menyergap setiap saat. Lalu, muncul dalam pikiran mereka, gambaran yang sangat menakutkan. Mereka diterkam lalu dibawa ke alam lain. Di alam itu, mereka hanya dijadikan mainan. Oh! Perasaan apa ini? Semua menjadi serba menegangkan.

Jika demikian, apakah tak ada ruang di muka bumi ini yang menghadirkan kebagahiaan, kedamaian, kenyamanan, dan ketenteraman? Tentu ada. Tetapi, dimana? Mengapa ruang itu sepertinya tersembunyi dan sulit ditemukan? Ataukah ini memang sebagai bagian dari dunia permainan media? Lalu, apa sebenarnya yang dikehendaki dari berita-berita itu? Fakta atau teror?

Di sinilah kemudian aku berpikir. Jika memang teror itu menjadi produk olahan media lewat bahasa dan citra yang dihadirkan, maka bukan tidak mungkin bahwa ketakutan yang dirasakan oleh banyak orang tiada lain adalah hasil yang hendak dicapai. Bukan sekadar dampak. Sebab, teror yang demikian telah diproduksi secara mekanis dan terolah dengan canggih. Mula-mula ia hadir sebagai sensasi. Tampak lezat, tampak menyenangkan dan seolah penuh kesegaran. Aku menggambarkannya seperti sambal terasi yang bertengger di atas cobek. Menggiurkan. Rasa pedasnya menjadi sensasi yang sungguh sangat menggiurkan. Bahkan mampu meningkatkan selera makan ketika itu. Tetapi, sehabis semuanya dilahap, tinggal rasa sensasi itu membuahkan derita pada organ cerna. Bisa saja kena diare, mungkin juga radang usus, atau bahkan sampai pada penyakit-penyakit pencernaan lain yang dampaknya sangat membahayakan bagi keselamatan jiwa.

Ya... ya... ya! Akhirnya aku menemukan sedikit titik terang sekarang. Kegelisahan Dahana adalah kegelisahan yang mestinya tak ia rasakan sendiri. Kegelisahan ini mestinya menjadi kegelisahan bersama, agar semua yang tergelisahkan segera mampu mencapai pada sebuah pilihan-pilihan logis yang tepat. Kemudian, diformulasikan ke dalam upaya bersama mengubah paradigma jurnalisme.

Jurnalisme mestinya memihak pada usaha untuk membangkitkan gairah hidup, meningkatkan vitalitas dan daya hidup. Bukan sebaliknya. Sekadar medan tempur yang hanya memampang nasib orang-orang yang dikalahkan oleh keadaan. Sehingga, tampak seolah-olah jurnalisme kehilangan semangat cinta. Oh!

Butuh rasa yang mendalam. Tidak sekadar slogan. Atau sebatas bahasa iklan.

Tetapi, bagaimanapun, aku salut dan menaruh hormat pada pengalaman Dahana, seorang budayawan yang tangguh ini. Pemihakannya pada rasa sudah pasti tidak tiba-tiba datang. Pemihakan itu sudah pasti melalui proses panjang. Mungkin pula mengikutsertakan potensi alam bawah sadarnya yang memompakan kenangan masa lalu yang terbiasa memasuki gua-gua pertapaan yang ia bangun sendiri dalam sanubarinya. Terbangun pula kesetiaannya pada darma. Kesetiaan ini sendiri sudah barang tentu merupakan keistimewaan yang diberikan Tuhan kepadanya. Menjadi berkah baginya dan juga lingkungan sekitarnya. Ah, betapa aku cemburu sekarang.

Perjalananku tak sedahsyat dia. Sampai-sampai aku berpikir, Tuhan teramat menyayanginya daripada aku. Entahlah mengapa ia mampu menentukan pilihan dan sanggup menerima segala konsekuensi. Sementara aku memilih jalan aman. Ya, aku membaca tanda-tanda keistimewaan itu. Dan aku iri.

Mengapa iri?

Karena aku tak mampu bahkan tak sanggup melawan. Baru setelah berpikir ulang atas apa saja yang pernah aku alami, aku merasa perlu mengubah haluan. Berbelok arah atau melawan arah. Mencari jalur lain atau menerabas jalur yang ada.

Dan... ah! Rupanya aku tak cukup kuap membalikkan arah laju perahuku. Arus yang terlalu deras tak bisa aku atasi. Rasa takutku mengalahkan nyala api dalam dada. Aku terlalu takut tenggelam, lalu mati, dan tubuhku tak diketemukan. Hilang dan sia-sia. Lalu, kupilih jalur lain. Mengikuti laju arus anak sungai, menelusuri percabangan, kemudian berbelok ke arah sungai yang tampak tenang.

Ya, di sini tak ada gelombang besar yang mampu membuat perahuku oleng. Arusnya tak cukup deras. Aku pun cukup leluasa untuk bergerak atau sekadar menambatkan jangkar. Tak ada batu-batu besar atau pula batang-batang pohon yang menjulur ke permukaan air. Tak perlu menunduk atau pula bersusah payang mendayung. Cukup tenang di sini.

Di tengah-tengah ketenangan itu, di atas perahu, aku rebah. Menatap langit yang membiru, pokok-pokok pohon yang menjulang di kiri-kanan bantaran kali, juga kawanan burung yang terbang membelah langit. Kicaunya begitu merdu. Sampai-sampai sempat kugambarkan dalam puisi-puisiku, kicau mereka bagai nyanyian surga. Nyanyian yang dihadirkan Tuhan hanya untukku. Aku dibuatnya terbang melintasi awan putih. Lalu, aku bayangkan pula tetesan embun yang jatuh dari ujung dedaunan. Dalam gerak lambat, tetesan embun itu tampak bening, jernih, menyegarkan. Kutangkap dengan lidahku. Ah... segar!

Ini embun surga! Seru batinku.

Seketika kemudian bunyi kecipak air tertangkap oleh telinga. Kupalingkan muka, mencari sumber suara itu berasal. Dan benar, suara itu berasal dari sisi kiri perahuku. Meninggalkan jejak yang sekejap. Ada riang kecil berbentuk dua buah lingkaran. Sempurna. Lalu, muncul lagi ke permukaan tubuh yang meliuk. Meloncati permukaan air. Mencipratkan air ke muka.

Akupun makin merasa yakin dan mantap. Bahwa sungai yang kupilih ini adalah sungai yang diturunkan Tuhan dari surga untukku. Sungai yang dihadiahkan untukku. Tak perlu susah payah, ikan-ikan itu mudah kutangkap dengan pancing atau jala.

Ku segerakan diri mengambil jala. Tetapi, aku urungkan niat menjaring ikan-ikan itu. Bagiku, cukup dengan sebilah pancing saja. Umpan aku pasang. Sambil menikmati pergeseran matahari yang berangsur ke ufuk barat. Berharap ikan Salmon atau ikan Tuna yang melahap umpanku. Namun, tampaknya aku lebih beruntung. Ikan Arwana yang kudapat. Oh, betapa gembiranya aku.

Kuraih ember, kuisi air, dan kumasukkan ikan Arwana itu ke dalamnya. Sekadar mempertahankan napasnya. Sementara nasib, tentu ada dalam genggamanku. Pikirku saat itu.

Aku pun bersegera membawa ikan Arwana itu ke pasar ikan. Aku yakin, ikan inilah yang akan membawa perubahan nasib pada diriku. Tentu, harganya pun tak murah. Ya, ikan Arwana memang dikenal mahal harganya.

Kutambatkan perahuku ke tepi. Mengikatnya pada sebatang pokok. Lalu, dengan langkah yang mantap aku panggul ember itu. Kubawa ke pasar ikan.

Ada kerumunan di sana. Orang-orang mengerubuti sebuah akuarium. Tampak seekor di dalamnya. Berenang dan melayang di antara senyawa H2O. Tanpa peduli, aku berseru dari kejauhan. Kutawarkan ikan Arwana hasil tangkapanku itu kepada mereka. Seketika mereka memalingkan muka ke arahku. Memandangi apa yang aku bawa. Sebuah ember berisi ikan Arwana.

Sejurus kemudian, beragam tanya pun datang. Tetapi, pertanyaan itu sebenarnya nyaris sama. "Apa yang kau bawa?", "Berapa kau tawarkan?". Karena saking semangatnya, akupun menjawab pertanyaan itu dengan lantang. Bahwa yang kubawa adalah ikan Arwana. Kusebut pula harga yang kuminta. Tetapi, mereka tak percaya. Mereka kembali mengerubuti akuarium itu. Ya sudah, aku tinggalkan saja ember beserta isinya, seekor ikan Arwana. Toh ikan itu bukan milikku. Aku kembali ke perahuku, kembali ke sungai yang tenang itu. Tetapi, baru beberapa langkah saja aku tinggalkan pasar ikan itu, dari arah belakang aku dengar suara gaduh. Kupalingkan muka sejenak. Kulihat mereka yang mula-mula mengerubuti akuarium itu saling berebut ember yang kubawa. Memandang itu, awalnya ingin aku kembali dan merebut ember itu. Tetapi, apalah gunanya. Kulanjutkan saja langkahku menuju sungai yang tenang itu. Menuju perahuku.

Kini, di atas perahu aku nikmati taburan cahaya rembulan yang dihiasi kerlip bintang gemintang. Indah nian pemandangan malam. Sampai-sampai aku lelap dibuatnya. Tidur di atas perahu kecilku.

Esok pagi, aku dikejutkan oleh sebuah pemandangan yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Wajah asli sungai itu tampak lebih menyeramkan. Kawanan binatang predator bertengger di tepian sungai. Mulut mereka menganga dengan gigi-gigi taringnya yang tajam. Kulit mereka tampak keras dan menyeramkan. Beberapa di antara mereka memandangiku. Tatapan matanya tajam. Bersiap memangsaku. Oh!

Sialan! Buaya-buaya itu mulai mendekati perahuku. Aku yang semula berusaha tetap tenang kini mulai sedikit gugup. Kukayuh perahu. Berusaha menghindari terkaman buaya-buaya ganas itu.

Ya, dunia adalah rimba. Setiap tempat adalah medan risiko. Tak bisa terelakkan. Tak bisa menghindar. Kini tinggal sebuah keputusan pasti. Tetap bertahan hidup dengan melawan, atau sekadar mencari jalan selamat dengan mengubah diri menjadi sama persis dengan mereka. Menjadi buaya.

Dan lagi-lagi, aku dihajar oleh tulisan Dahana, seorang lelaki yang hidup di tengah-tengah kawanan buaya. Tetapi, tetap menyetiai diri sebagai manusia. Aku terpukul oleh tulisan itu. Terpukul hingga tersungkur. Terpental ke sudut kesunyian yang begitu rupa. Tersudut di ruang gelapku sendiri.

Pekalongan, 5 Juni 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun