Karena aku tak mampu bahkan tak sanggup melawan. Baru setelah berpikir ulang atas apa saja yang pernah aku alami, aku merasa perlu mengubah haluan. Berbelok arah atau melawan arah. Mencari jalur lain atau menerabas jalur yang ada.
Dan... ah! Rupanya aku tak cukup kuap membalikkan arah laju perahuku. Arus yang terlalu deras tak bisa aku atasi. Rasa takutku mengalahkan nyala api dalam dada. Aku terlalu takut tenggelam, lalu mati, dan tubuhku tak diketemukan. Hilang dan sia-sia. Lalu, kupilih jalur lain. Mengikuti laju arus anak sungai, menelusuri percabangan, kemudian berbelok ke arah sungai yang tampak tenang.
Ya, di sini tak ada gelombang besar yang mampu membuat perahuku oleng. Arusnya tak cukup deras. Aku pun cukup leluasa untuk bergerak atau sekadar menambatkan jangkar. Tak ada batu-batu besar atau pula batang-batang pohon yang menjulur ke permukaan air. Tak perlu menunduk atau pula bersusah payang mendayung. Cukup tenang di sini.
Di tengah-tengah ketenangan itu, di atas perahu, aku rebah. Menatap langit yang membiru, pokok-pokok pohon yang menjulang di kiri-kanan bantaran kali, juga kawanan burung yang terbang membelah langit. Kicaunya begitu merdu. Sampai-sampai sempat kugambarkan dalam puisi-puisiku, kicau mereka bagai nyanyian surga. Nyanyian yang dihadirkan Tuhan hanya untukku. Aku dibuatnya terbang melintasi awan putih. Lalu, aku bayangkan pula tetesan embun yang jatuh dari ujung dedaunan. Dalam gerak lambat, tetesan embun itu tampak bening, jernih, menyegarkan. Kutangkap dengan lidahku. Ah... segar!
Ini embun surga! Seru batinku.
Seketika kemudian bunyi kecipak air tertangkap oleh telinga. Kupalingkan muka, mencari sumber suara itu berasal. Dan benar, suara itu berasal dari sisi kiri perahuku. Meninggalkan jejak yang sekejap. Ada riang kecil berbentuk dua buah lingkaran. Sempurna. Lalu, muncul lagi ke permukaan tubuh yang meliuk. Meloncati permukaan air. Mencipratkan air ke muka.
Akupun makin merasa yakin dan mantap. Bahwa sungai yang kupilih ini adalah sungai yang diturunkan Tuhan dari surga untukku. Sungai yang dihadiahkan untukku. Tak perlu susah payah, ikan-ikan itu mudah kutangkap dengan pancing atau jala.
Ku segerakan diri mengambil jala. Tetapi, aku urungkan niat menjaring ikan-ikan itu. Bagiku, cukup dengan sebilah pancing saja. Umpan aku pasang. Sambil menikmati pergeseran matahari yang berangsur ke ufuk barat. Berharap ikan Salmon atau ikan Tuna yang melahap umpanku. Namun, tampaknya aku lebih beruntung. Ikan Arwana yang kudapat. Oh, betapa gembiranya aku.
Kuraih ember, kuisi air, dan kumasukkan ikan Arwana itu ke dalamnya. Sekadar mempertahankan napasnya. Sementara nasib, tentu ada dalam genggamanku. Pikirku saat itu.
Aku pun bersegera membawa ikan Arwana itu ke pasar ikan. Aku yakin, ikan inilah yang akan membawa perubahan nasib pada diriku. Tentu, harganya pun tak murah. Ya, ikan Arwana memang dikenal mahal harganya.
Kutambatkan perahuku ke tepi. Mengikatnya pada sebatang pokok. Lalu, dengan langkah yang mantap aku panggul ember itu. Kubawa ke pasar ikan.